Mendagri Tito Karnavian Penuhi Hak Pemeluk Agama Nusantara

Putusan MK berikan hak pemeluk agama Nusantara untuk mengisi kolom agama di KTP-el tapi dalam prakteknya berbeda, ini tantangan untuk Mendagri Tito
Ilustrasi (Sumber: news.liverpool.ac.uk)

Oleh: Syaiful W. Harahap*

TAGAR.id - Pemerintah hanya mengakui enam agama, yaitu (menurut abjad): Buddha, Hindu, Islam, Kristen, Katolik, dan Konghucu. Padahal, banyak komunitas di Nusantara yang memeluk kepercayaan melalui berbagai aliran yang tidak bertentangan dengan undang-undang (UU) dan tidak termasuk aliran sesat berdasarkan aturan keenam agama yang diakui pemerintah.

Animisme

UU Nomor 24 Tahun 2013 memberikan hak kepada warga negara yang tidak memeluk salah satu dari enam agama mengosongkan kolom agama di Kartu Keluarga (KK) dan KTP-el (Kartu Tanda Penduduk Elektronik) serta surat-surat keterangan lain, yaitu dalam Pasal 61 ayat 2: "Keterangan mengenai kolom agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan."

Dalam KBBI agama disebutkan sebagai ajaran, sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta manusia dan lingkungannya. Dikenal agama samawi yaitu agama yang ‘turun’ dari langit melalui nabi dan rasul.

Tapi, dalam masyarakat Indonesia sebelum agama samawi masuk sudah ada agama asli Nusantara yaitu kepercayaan atau religi [KBBI: kepercayaan kepada Tuhan; kepercayaan akan adanya kekuatan adikodrati di atas manusia; kepercayaan (animisme, dinamisme)]. Animisme berbeda dengan ateisme (KBBI: paham yang tidak mengakui adanya Tuhan).

Agama-agama Nusantara jadi pegangan hidup banyak komunitas di Indonesia, seperti Sunda Wiwitan di Kenekes, Baduy, Banten, dan bebarapa daerah di Jawa Barat. Ada pula Kejawen di Jateng dan Jatim. Parmalim di Sumut. Di Kalimanan ada Kaharingan. Tonaas Walian di Sulut. Tolotang di Sulsel dan Aluk Todolo di Toraja. Hampir di semua daerah ada agama Nusantara.

Mereka menjalankan ritual religi yang tidak termasuk aliran sesat karena tidak memakai agama samawi sebagai pijakan. Ritual mereka sudah ada jauh sebelum agama samawi datang ke Nusantara. Hak untuk menganut agama atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dalam hal ini agama Nusantara, merupakan hak konstitusional (constitutional rights) warga negara sehingga tidak termasuk sebagai pemberian negara.

Biar pun UU sudah memberikan hak kepada pemeluk agama Nusantara, tapi di beberapa daerah diterbitkan peraturan daerah (Perda) yang justru melawan UU. Semua penduduk diwajibkan mencantumkan agama di kolom agama KK dan KTP-el. Persoalan muncul karena agama yang mereka anut bukan salah satu dari enam agama yang diakui negara.

Perda Bermasalah

Penduduk yang kolom agamanya kosong mendapat perlakuan diskriminatif, misalnya, ketika hendak dimakamkan ditolak karena tidak ada agama di kolom agama KTP-el. Begitu juga dengan pemeluk agama Nusantara sering disebut sebagai ateis, padahal mereka mengakui Tuhan melalui cara-cara yang mereka yakini.

Tentu saja aturan yang memaksa penduduk mencantumkan salah satu dari enam agama yang diakui pemerintah melawan hukum karena ada hirarki UU di Indonesia sehingga peraturan di bawah tidak bisa mengalahkan peraturan yang lebih tinggi. Otonomi daerah (Otda) jadi pegangan pemerintah-pemerintah daerah menerbitkan Perda biar pun bertentangan dengan UU.

Ketika Mendagri mencabut 3.143 perda yang dinilai pemerintah bermasalah, al. menghambat investasi. Persatuan pemerintah kabupaten/kota mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK). MK kemudian memutuskan pemerintah, dalam hal ini Mendagri, tidak bisa membatalkan atau mencabut Perda kabupaten dan kota yang disebutkan dalam Putusan MK Nomor 137/PUU-XIII/2015 yang diterbitkan pada April 2017.

Putusan MK itu jadi batu sandungan dalam memberikan hak kepada pemeluk agama Nusantara untuk memperoleh KK dan KTP-el karena ada daerah yang mewajibkan penduduk mengisi kolom agama di KK dan KTP-el. Jika kolom agama tidak diisi dengan salah satu dari enam agama yang diakui negara, maka KK dan KTP tidak diterbitkan.

Berdasarkan putusan MK kolom agama di KK dan KTP-el boleh diisi dengan nama atau jenis agama Nusantara yang mereka anut. Tapi, masih saja ada batu sandungan di beberapa daerah. Inilah pekerjaan rumah besar untuk Mendagri Tito Karnavian. Kita berharap langkah Tito akan memberikan hak sebagai warga negara dengan mempunyai KK dan KTP-el kepada pemeluk agama Nusantara (dari berbagai sumber). (Artikel ini pertama kali ditayangkan di Tagar.id pada 24 Oktober 2019). []

* Syaiful W. Harahap adalah Redaktur di Tagar.id

Berita terkait
Kolom Agama di E-KTP Bisa Diisi Aliran Kepercayaan bagi Penganutnya
"Di kolom agama, bagi mereka diganti menjadi kepercayaan itu saja." - Menteri Agama Lukman Hakim Saefuddin
Warga Badui Harapkan Agama Selam Sunda Wiwitan Tertera di Kolom E-KTP
Sejumlah warga Badui berharap, PAK-HAM Papua dapat memperjuangkan identitas agama Selam Sunda Wiwitan pada kolom E-KTP.
Masyarakat Badui: Cantumkan Agama Selam Sunda Wiwitan di KTP-El
Ayah Mursid meminta agama "Selam Sunda Wiwitan" yang dianut warga Badui dicantumkan pada kolom Kartu Tanda Penduduk (KTP) Elektronik.
0
Tips dan Trik Traveling Seru Bareng Anak, Dijamin Gak Bakal Rewel
Mengajak anak-anak bepergian atau melancong menjadi kesenangan dan kepuasan sendiri bagi para orangtua.