Jakarta – Indonesia dijuluki sebagai negara maritim karena kekayaan bawah laut yang dimilikinya. Meski mendapat julukan tersebut, nampaknya tidak semua masyarakat mengetahui dan merasa “dekat” dengan laut.
Hal ini sempat disinggung oleh CO, produser, sekaligus artistic director Papermoon Puppet Theater Maria Tri Sulistyani dalam acara webinar zoom Manusia dan Laut Series #2 pada Kamis, 23 September 2021.
Dalam webinar bertema “Menelisik Folklor Kebaharian Indonesia Melalui Ragam Ahli Wahana”, Maria membagikan cerita dan pengalaman komunitas teaternya dalam mengangkat tema laut di pementasan.
Salah satu karya bertema laut yang berhasil digelar di Art Jog pada 2013 adalah “Laki-laki Laut”. Maria mengungkapkan bahwa sebelum melakukan pementasan, mereka melakukan riset ke sebuah daerah yang bernama Lasem.
Rasanya saya ingin menjawab pertanyaan bapak-bapak kemarin bahwa seni sangat mungkin untuk bisa dilakukan di tempat seperti ini.
“Kami melakukan perjalanan panjang ke Lasem untuk mengenal, meraba, dan merasakan bagaimana kultur pesisir daerah yang telah mati meski dulunya merupakan pelabuhan terbesar,” ujar Maria.
Maria mengungkapkan alasan Lasem dipilih sebagai daerah risetnya sebab tempat tersebut kaya akan kultur dan kisah yang dapat dijadikan beragam ide bagi seorang seniman.
- Baca Juga: 7 Film Tentang Makhluk Laut yang Wajib Kamu Tonton
- Baca Juga: Sederet Fakta Menakjubkan Laut yang Jarang Diketahui
Berkat risetnya di Lasem, Papermoon Puppet Theater juga berhasil melakukan pameran seni bertema air atau laut yang ditampilkan selama 3 bulan di Singapore Art Museum pada 2016 lalu. Berjudul “Suara Muara”, Pepermoon Puppet Theater mengusung konsep kultur daerah yang berada di Jawa Tengah tersebut.
Maria menjelaskan bahwa 3 hari sebelum penutupan, ia dan kawan-kawan melakukan sebuah pertunjukkan yang mengusung tema harapan. Inspirasi ini didapat dari kisah Wayang Bengkong yang nyata adanya.
“Teman-teman Lasem pernah bercerita bahwa ada Wayang Bengkong atau Mbah Bengkong. Cukup mistis dan hanya mau pentas di depan orang-orang tertentu. Namun, ternyata ia mau pentas di depan kita. Akhirnya kami membuat sebuah cerita tentang bagaimana laut itu bisa menjadi harapan, bukan ancaman. Kami ingin membawa sudut pandang baru tentang harapan dan laut,” katanya.
Kecamatan Lasem menjadi sebuah hidden gem yang memiliki begitu banyak cerita baginya. Tak hanya melakukan riset, setelah beberapa kali mengunjungi daerah tersebut, Maria dan kawan-kawan pun ikut membangun relasi secara dalam dengan warga sekitar.
Pappermoon Puppet Theater bersama komunitas teater asal Australia, Polyglot Theatre pernah melakukan kolaborasi dengan menciptakan cerita bertema kapal. Bersama-sama, mereka melakukan riset selama dua minggu di Lasem untuk mencari tahu mengapa kultur bahari yang ada di daerah tersebut hilang.
“Meskipun anak-anak Lasem ada yang dekat dan tinggal di desa nelayan, ternyata mereka masih asing dengan lautnya sendiri. Kupikir ini agak fatal karena mereka yang dekat dengan air saja tidak melihat itu sebagai bentuk sentral,” ujar wanita lulusan UGM ini.
Berkat relasi panjangnya ini, Pappermoon Puppet Theater berhasil mengabadikan pengalamannya dalam bentuk karya pementasan berjudul “Cerita Anak” yang pertama kali launching di Melbourne Festival.
Diantara berbagai pementasan yang pernah diselenggarakannya, Ria merasa penampilannya di sebuah desa di Kepulauan Natuna pada 2018 lalu merupakan pengalaman yang tak terlupakan.
Bermaksud sekadar mampir untuk minum kopi, pengalamannya di desa tersebut mampu menohok dirinya saat ada seorang warga yang menyatakan bahwa seni tidak pernah sampai ke daerah tersebut.
- Baca Juga: Biden Dukung Penolakan Klaim Beijing Atas Laut China Selatan
- Baca Juga: Drone Pengintai Bawah Laut Ditemukan di Selayar
“Rasanya saya ingin menjawab pertanyaan bapak-bapak kemarin bahwa seni sangat mungkin untuk bisa dilakukan di tempat seperti ini,” ujarnya.
Akhirnya, pada hari itu Peppermoon Puppet Theater memutuskan untuk melakukan pementasan di desa tersebut pada esok hari. Walau hanya beralaskan terpal, ia merasa pertunjukannya tersebut merupakan pengalaman yang luar biasa.
“Membuat karya dengan narasi masyarakat bahari adalah upaya untuk mewujudkan masa depan yang lebih baik. Penting untuk mengangkat suara dan memberi kesempatan pada mereka untuk membicarakan narasi mereka sendiri. Karena dari situlah, kita belajar untuk menjadi masyarakat yang lebih baik di masa depan,” ujarnya.
(Eka Cahyani)