Melatih Jemari Terampil di Sentra Gerabah Bantul

Quina Fatima, siswi asal Jakarta tampak serius membuat gerabah di Kasongan, Bantul. Di tempat ini, jemarinya dilatih terampil mengolah tanah liat.
Quina Fatima, seorang siswi kelas XII SMA Edudio Indonesia Jakarta sedang menyelesaikan gerabah buatannya, Minggu, 15 Desember 2019. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

Bantul - Raut wajah gadis itu, Quina Fatima 17 tahun, tampak serius. Tatapannya tajam memandang gerabah tanah liat di genggaman tangan kanan. Bibirnya terkatup rapat seperti sedang memikirkan sesuatu.

Jemari tangan kanannya yang menggenggam kuas cat berukuran sedang, bergerak perlahan seperti menari. Ujung kuas sudah berlumur cat berwarna putih, melenggok genit di permukaan gerabah hasil karyanya sendiri.

Sesekali gerakan kuas terhenti, saat Quina memperhatikan dan mengubah letak gerabah di tangan kirinya. Atau, saat ujung ibu jarinya menyelipkan sebagian rambut belakang telinga.

Angin sore yang ramah, tak jarang berembus masuk ke teras rumah itu, di Kasongan, Desa Bangunjiwo, Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul, Minggu 15 Desember 2019.

Tirai bambu di bagian luar teras, cukup mampu menghalangi sinar matahari sore yang menyilaukan. Quina duduk di lantai, beralas tikar, membelakangi arah matahari.

Beberapa jenis gerabah hasil cetakan mal dan hasil buatan tangan tanpa cetakan, terpajang di sekeliling Quina. Sebagian sudah siap jual, sementara beberapa lainnya masih dalam tahap pengeringan.

Hari itu merupakan hari ketiga Quina belajar memroduksi gerabah di tempat tersebut, Nangsib Keramik. Siswi kelas XII SMA Edudio Indonesia Jakarta itu datang bersama ayahnya. Dia sengaja belajar membuat gerabah untuk menyelesaikan tugas akhirnya di sekolah.

Quina belajar membuat gerabah sejak tahap awal. Mulai dari pengenalan lokasi, pembuatan tanah liat untuk gerabah, membentuk tanah liat menjadi pot, menjemur, membakar, hingga proses finishing berupa pewarnaan.

"Saya sudah pertemuan ketiga. Mulai dari pengenalan tanah liat. Ditunjukin di belakang ada beberapa proses pembuatan tanah liatnya, sampai pembakarannya, diajak ikut jalan. Habis itu mulai bikin gerabahnya, muternya diarahin," kata Quina sambil terus mengecat pot bunga buatannya.

Kata Quina, nantinya pot bunga hasil buatannya akan dipamerkan di sekolah, sekaligus sebagai penilaian untuk tugas akhir. "Saya kan SMA kelas 3, sekolah seni, ini project akhir saya. Saya bikin pot tanaman dengan desain saya sendiri. Nanti dipamerkan untuk tugas akhir sekolah," lanjut gadis itu.

Quina jauh-jauh belajar membuat gerabah di Kasongan, karena menurutnya di Jakarta tidak ada perajin gerabah yang memberikan pelatihan. Di sana yang ada hanya perajin keramik.

"Ya seneng sih, dapat ilmu dan pengalaman. Di tempat saya nggak ada pelatihan gerabah, yang ada di sana (perajin) keramik. Di sini biaya pas pelatihan awal Rp 150 ribu, tapi setelah pembakaran ini, nanti bayar lagi," ucapnya.

Saya bikin pot tanaman dengan desain saya sendiri. Nanti dipamerkan untuk tugas akhir sekolah.

Seorang pemuda beberapa kali keluar masuk ke teras itu. Dia menyiapkan peralatan yang mungkin akan dibutuhkan oleh Quina. Pemuda itu adalah pemilik tempat pelatihan pembuatan gerabah, Dicky Bisma Saputra, yang juga menjadi pelatih.

gerabah3Quina Fatima bersama pelatih pembuatan gerabah, Dicky Bisma Saputra, saat membuat gerabah, Minggu, 15 Desember 2019. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana).

Setelah menyerahkan peralatan yang dibutuhkan, seperti pengalas gerabah dari tripleks dan beberapa kuas beraneka ukuran, Bisma sapaan akrabnya, kembali keluar ke halaman dan berjongkok di depan keran air.

Dia membawa empat gelas plastik berisi cat, warnanya biru, merah dan kuning. Tangannya lincah mengaduk dan mencampur cat hingga mencapai kekentalan tertentu.

Setelah kekentalan cat itu sesuai dengan yang diharapkan, Bisma masuk dan menyerahkannya pada Quina. Lalu, dia duduk di kursi yang terletak hanya sekitar dua meter dari tempat Quina duduk.

Pelatihan untuk Segala Usia

Bisma kemudian mengisahkan awal dibukanya pelatihan membuat gerabah tersebut. Kata Bisma, ide untuk membuat tempat pelatihan produksi gerabah itu, muncul pada 2016 lalu. Tapi baru bisa diwujudkan pada 2017.

Dia menerima peserta pelatihan dari semua kalangan dan semua usia, mulai dari siswa Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) hingga orang lanjut usia. Mulai dari kelompok perorangan hingga instansi maupun wisatawan.

Bisma menyiapkan beberapa paket pelatihan, dengan waktu pelatihan yang beragam. "Tergantung dia mau ambil paket apa. Misalnya dari awal sampai akhir, dari belum mahir sampai mahir, dari membuat hingga mewarnai gerabah, atau cuma mewarnai gerabah saja, atau cuma mau finishing beberapa jenis gerabah, misal telur, kaca dan lainnya," jelasnya.

Tahapan pelatihan pun beragam, tergantung pada paket yang dipilih oleh peserta. Dia mencontohkan paket pengenalan gerabah, yang biasanya diminati oleh sekolah-sekolah PAUD. Pada paket itu, peserta diajak berkeliling Dusun Kasongan, untuk melihat lokasi pengambilan tanah liat hingga proses pembuatan.

"Peserta diajak keliling di Desa Kasongan, dari A sampai Z, termasuk proses pembuatan tanah liat, proses pembuatam gerabahnya. Ada dua cara, yaitu menggunakan alat putar dan cetakan, lalu pengeringan, dan terakhir proses pembakaran," urainya.

Untuk proses pembakaran, para peserta hanya diajak untuk melihat proses pembakaran di tungku atau disebut tobong. Setelah itu, mereka diajak untuk melihat proses finishing atau penyelesaian, berupa pewarnaan atau penambahan ornamen.

Peserta diajak keliling di Desa Kasongan, dari A sampai Z, termasuk proses pembuatan tanah liat, proses pembuatam gerabahnya.

Peserta yang memiliki cukup waktu, bisa mengambil paket pelatihan lain, seperti pembuatan gerabah berukuran kecil dengan bentuk sederhana, misalnya asbak rokok dan lain-lain, mulai dari proses awal hingga finishing.

gerabah2Seorang warga Kasongan, Bangunjiwo, Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul, menjemur gerabah, Minggu, 15 Desember 2019. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

Namun, jika pesertanya adalah wisatawan atau berasal dari luar kota, biasanya mereka hanya sampai tahap penjemuran. Karena proses penjemuran membutuhkan waktu hingga beberapa hari.

Setelah gerabah selesai dijemur, nantinya Bisma yang akan melakukan proses selanjutnya, yakni pembakaran dan finishing Setelah itu, gerabah hasil karya peserta akan dikirim ke daerah asal mereka. Tentu saja para peserta diwajibkan menyiapkan dana tambahan untuk ongkos kirim.

Biaya hingga Puluhan Juta Rupiah

Pelatihan dilaksanakan minimum selama dua jam. Biasanya itu untuk pelatihan sebelum pembuatan atau paket pengenalan. Sementara, waktu paling lama yang diperlukan untuk pelatihan, sekitar dua bulan.

"Ada juga yang sampai satu minggu, ada juga yang sampai dua bulan full. Mulai dari mereka belum bisa sama sekali sampai mereka bisa bikin guci setinggi satu meter. Biayanya sampai puluhan juta rupiah," lanjutnya.

Selain paket pelatihan lengkap yang biayanya mencapai puluhan juta rupiah, biaya pelatihan untuk paket lain, cukup terjangkau. Mulai dari Rp 15 ribu hingga Rp 20 ribu per orang, tergantung pada jumlah peserta.

"Paket anak-anak harganya Rp 15-20 ribu per anak, tergantung jumlah peserta. Biasanya mereka paket buat gerabah dan keliling melihat pembuatan tanah liat, produksi gerabah, mengenal sejarah gerabah, sejarah Desa Kasongan, itu kena biaya Rp 20 ribu, dengan minimal peserta 100 orang," bebernya.

Paket lain yang disiapkan adalah paket keluarga, dengan biaya Rp 250 ribu. Paket keluarga bisa diikuti oleh satu hingga lima peserta. Mereka akan diajari membuat gerabah dengan menggunakan tangan atau alat putar, bukan dengan cetakan mal.

Selain membuat gerabah dan menyaksikan proses pengambilan tanah liat hingga proses finishing, para peserta pelatihan yang mengikuti paket pelatihan keluarga, akan mendapatkan souvenir dan sertifikat pelatihan.

Selain memberikan pelatihan membuat gerabah, Bisma juga menyiapkan gerabah jadi untuk dijual, termasuk souvenir untuk wisatawan yang datang. Untuk pemasaran, gerabah buatannya dipasarkan di lokasi pembuatan, yang juga merupakan tempat tinggalnya.

95 Persen Warga Perajin Gerabah

Kasongan mendapat dukungan penuh dari Kepala Pedukuhan Kasongan, Nangsib, baik sebagai sentra kerajinan gerabah, maupun untuk pelatihan memroduksi gerabah.

Nangsib menjelaskan, di Dukuh Kasongan terdapat 454 kepala keluarga (KK), dengan jumlah jiwa sebanyak 1.345 jiwa. Sebesar 95 persen dari jumlah tersebut merupakan perajin gerabah. Sementara lima persen sisanya berprofesi sebagai PNS dan petani.

gerabah4Seorang perajin gerabah sedang menghaluskan gerabah buatannya, di Kasongan, Bangunjiwo, Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul, Minggu, 15 Desember 2019. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

"Tidak ada yang menganggur. Kalau dilihat dari skala pengangguran, sedikit sekali, karena di sini ada ide semacam pekerjaan, seperti pelatihan. Yang nganggur kita pekerjakan di koperasi," jelasnya.

Wanita yang berstatus sebagai janda pun, kata dia, diberdayakan untuk bekerja di sektor kerajinan gerabah tersebut.

Salah satu upaya yang dilakukan oleh dia, adalah memberikan syarat pada pengusaha atau pelaku industri yang ingin membuka usaha di wilayah Pedukuhan Kasongan. Para pelaku usaha itu wajib memberdayakan penduduk setempat.

"Misalnya ada industri baru yang masuk, saya minta agar mereka memberdayakan warga kami. Kalau hanya pakai tenaga dari Anda sendiri, mohon maaf, saya nggak tanda tangan," tegasnya.

Syarat tersebut sekaligus menjadi wujud nyata keberpihakan pemerintah pedukuhan pada warganya. Salah satu industri yang dibangun dan menggunakan tenaga kerja warga setempat adalah pabrik kertas.

"Saya harus ngomong dulu dari awal bahwa warga kami dimanfaatkan (berdayakan). Sudah ada beberapa industri kecil yang masuk, seperti industri kertas, untuk kerajinan kita sendiri ada PT Timbul," imbuhnya.

Selain memberikan syarat tersebut pada pelaku usaha di wilayahnya, pedukuhan juga mendukung berdirinya koperasi perajin gerabah, yang anggotanya terdiri dari perajin di kasongan.

Tidak ada yang menganggur. Kalau dilihat dari skala pengangguran, sedikit sekali, karena di sini ada ide semacam pekerjaan, seperti pelatihan.

Para perajin, kata dia, diperbolehkan menjual hasil produksinya melalui koperasi, selain menjual sendiri di workshop masing-masing atau melalui sistem online atau daring.

gerabah5Berjejer gerabah yang dijual di koperasi perajin gerabah di Kasongan, Bangunjiwo, Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul, Minggu, 15 Desember 2019. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

Mengenai keberlangsungan produksi gerabah di daerah itu, Nangsib mengaku tidak kawatir. Alasannya karena stok bahan baku yang melimpah.

Banyaknya bahan baku di wilayah itu, membuat pihaknya tidak membatasi para perajin untuk menggunakan tanah liat. Apalagi selain di wilayah tersebut, tabah liat juga banyak ditemukan di daerah Mangunan, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul.

"Sampai saat ini (stok) masih aman, kita gunakan dari daerah Bangunjiwo. Kalau kurang kita masih punya cadangan di daerah Mangunan. Kalau habis, kita sudah melirik daerah lain, mungkin di daerah Klereng, Kebumen dan kedua di Karangjati, Jawa Tengah," paparnya. []

Baca Juga:

Berita terkait
Bantu Menjual Gerabah, Janji Kampanye Kang Emil..
Bantu Menjual Gerabah, Janji Kampanye Kang Emil..
Kerajinan Limbah Kayu Jepara Laris di Benua Biru
Pengembangan kerajinan limbah akar kayu berkembang sesuai dengan pangsa pasar yang tumbuh pesat, terutama dari kawasan Eropa.
Mereka Belajar Kerajinan Kain Flanel, Perca dan Batik di Surabaya
Para ibu membuat tempat tisu hias dengan bahan kain flanel. Tempat tisu dibuat sedemikian rupa agar menjadi indah sehingga punya nilai ekonomi lebih.
0
Banyak Kepala Daerah Mau Jadi Kader Banteng, Siapa Aja?
Namun, lanjut Hasto Kritiyanto, partainya lebih mengutamakan dari independen dibandingkan politikus dari parpol lain.