Sedotan Bambu Yogyakarta Tembus 4 Negara

Lembaran daun bambu berserak di halaman sebuah rumah di Dusun Gesik, Kasongan Bangunjiwo, Kecamatan Kasihan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Tumpukan sedotan dari bambu yang sudah dibersihkan dan dipanasi dalam oven. (Foto: Istimewa/Dok Rumah Inspirasi Jogja)

Yogyakarta - Lembaran daun bambu berserak di halaman sebuah rumah di Dusun Gesik, Kasongan Bangunjiwo, Kecamatan Kasihan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Pemandangan sekitar sangat asri dengan pohon-pohon besar meredam cahaya matahari sore yang masih menyengat.

Pemilik rumah itu adalah Josh Handani dan istrinya, Fili. Mereka dengan bendera usaha Rumah Inspirasi Jogja (RIJ) menjadikan bagian depan rumah untuk memproduksi sedotan bambu. Sedangkan bagian belakang dijadikan penginapan yang dinamai Filistay Homestay.

Hari itu Rabu, 16 Oktober 2019, di pekarangan rumah Josh, angin sepoi berembus semilir meniup dedaunan. Sesekali tiupannya melenakan, membuat beberapa daun melepaskan genggamannya pada ranting, lalu melayang jatuh ke tanah.

Di ruangan di depan homestay, seorang perempuan berkacamata dengan kulit sawo matang, sedang menjahit. Jemarinya lincah mengatur kain. Dengan senyum bersahabat ia berhenti menjahit, mempersilakan Tagar untuk masuk, untuk bertemu Josh Handani.

Masih di area itu, sepasang wisatawan asing yang menginap di Filistay, duduk sambil menikmati hidangan yang disajikan. Keduanya berasal dari Belanda. Si pria bernama Sergie, sedangkan yang wanita, Irene. 

Sergie menghadap laptop sambil menikmati minuman. Sementara Irene membaca buku. Uniknya, mereka sama-sama menggunakan sedotan yang terbuat dari bambu, untuk menikmati minumannya.

Mereka merasa keren kalau menggunakan itu.

Sedotan YogyakartaJosh Handani pendiri Rumah Inspirasi Jogja, produsen sedotan bambu di Yogyakarta. (Foto: Dok Josh Handani)

***

Josh Handani mengatakan ide membuat dan memasarkan sedotan dari bambu berawal dari niat untuk memberikan social education atau pendidikan sosial kepada masyarakat.

"Itu kita jual sekarang. Awalnya kami sekeluarga menggunakan lebih dulu. Kita jual juga ada unsur edukasi sosial, terutama di bidang lingkungan," ujar Josh.

Ia mengatakan berdasarkan data penelitian, jika disambung-sambung, sampah dari sedotan plastik di Indonesia, panjangnya sama dengan jarak dari Jakarta ke Meksiko.

Sampah-sampah tersebut hanya bisa terurai setelah ratusan tahun. Selain itu saat menggunakan sedotan plastik, penggunanya juga menelan mikroplastik, yang dampaknya baru akan dirasakan setelah terakumulasi selama 20 hingga 30 tahun.

Josh yang juga Ketua Forum Komunikasi Komunitas Peduli Lingkungan Daerah Istimewa Yogyakarta, mengatakan membuang sampah pada tempatnya adalah langkah pertama terkait kepedulian terhadap lingkungan.

Kemudian, diikuti dengan memilah sampah dan mengolahnya. Tapi level tertinggi dalam mengatasi masalah sampah adalah holistic minimum waste lifestyle, atau meminimalkan produksi sampah, seperti yang dilakukan pihaknya.

"Kita ubah gaya hidup kita, agar tidak memproduksi sampah. Jawabannya, sebenarnya, jangan produksi sampah," ujarnya.

Gaya hidup tersebut, kata Josh, disampaikannya pula pada wisatawan mancanegara, khususnya yang datang ke tempat itu, dan mereka mau mengerti, untuk tidak memproduksi sampah, khususnya plastik.

Hanya saja, lanjut Josh, wisatawan lokal justru masih sulit untuk mengerti edukasi yang disampaikan tersebut. Bahkan menurutnya, pada tataran pemerintah pun masih percaya sampah itu selesai dengan teknologi dan infrastruktur.

Padahal teknologi dan infrastruktur itu hanya untuk mengatasi sampah yang sudah terlanjur diproduksi. Sedangkan sampah yang belum diproduksi, masih banyak sekali.

"Bisa selesai cuma dengan mengubah gaya hidup kita. Salah satunya, mengganti sedotan plastik dengan sedotan bambu. Kami percaya, ciptaan sang energi utama (Tuhan) lebih bagus daripada ciptaan manusia. Bambu kan dari alam, dan gampang ditemui. Kalau rusak, dibuang saja dan bumi menerima," tuturnya.

Pembeli masih suka menggunakan sedotan plastik sekali pakai.

Sedotan YogyakartaSedotan dari bambu, hasil produksi Rumah Inspirasi Jogja (RIJ). (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

***

Josh menceritakan pada awal penggunaan sedotan bambu, dia menggunakan bambu kering yang ada di sekitar rumah.

Tapi saat dipakai, ternyata bambu itu terlalu tebal, tidak sesuai yang diharapkan. Hingga Josh bertemu seorang petani, menanyakan jenis bambu yang dimaksud.

"Katanya yang bisa dipakai adalah bambu wuluh, banyak di pegunungan, di Wonosari, Salaman Borobudur, pokoknya daerah pegunungan, lebih bagus kalau dari pegunungan karst," kenang Josh.

Bambu wuluh selain tidak terlalu tebal, juga memiliki ruas yang cukup panjang, yakni 80 sentimeter.

Saat ini pihaknya tidak mematok atau memberi target produksi pada petani, karena dibutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk memotong dan membersihkan bambu-bambu itu. Terlebih jika pesanan mencapai puluhan atau ratusan ribu batang.

Jika pesanan yang masuk hanya mencapai ribuan, dan tenggat waktu tidak terlalu mepet, biasanya para petani itu mampu memenuhi.

"Pernah dapat pesanan banyak, tapi karena waktunya mepet, kita tolak. Karena kita juga kasihan sama petaninya," kata Josh.

Untuk proses pengolahan batang bambu menjadi sedotan, dimulai sejak dari tangan petani. Setelah dipotong sepanjang 22 sentimeter, sedotan itu dicuci dan dibersihkan.

Setibanya di RIJ, sedotan-sedotan tersebut kembali dicuci dan diberi desinfektan, berupa cuka dapur atau serei, kemudian dimasukkan dalam oven untuk pengeringan. Setelah itu, baru diberi label dengan menggunakan laser.

Sedotan bambu itu dipasarkan dengan beberapa cara, yakni melalui toko online, penjualan langsung di tempat tim dari Rumah Inspirasi Jogja membawakan materi tentang lingkungan, serta pengiriman melalui perusahaan pengiriman. 

"Memang lebih banyak langsung, karena saya sering diundang ke kampus, sekolahan, komunitas, desa, puskesmas juga. Jadi kita edukasi sekaligus kita promokan ini," ujar Josh.

Saat ini sedotan bambu buatannya telah diekspor ke sedikitnya empat negara, yakni Belanda, Polandia, Inggris, dan Luxemburg. Sebagian sedotan bambu itu dibawa sendiri oleh wisatawan, sebagian lainnya dikirim.

"Bahkan ada dari Belanda yang punya spa, terus spanya itu pesan sedotan dari kami. Memang sudah mulai keluar. Mereka merasa keren kalau menggunakan itu," kata Josh.

Sedotan YogyakartaIrene dan Sergie, wisatawan asal Belanda, memunjukkan sedotan bambu produksi Rumah Inspirasi Jogja (RIJ), Rabu, 16 Oktober 2019. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

***

Setiap batang sedotan bambu polos atau tanpa tulisan, dibanderol seharga Rp 2.000 untuk lokal dan Rp 5.000 untuk wisatawan mancanegara. Sedangkan untuk sedotan bambu yang sudah diberi label dengan laser, dijual seharga Rp 8.000 hingga Rp 10.000, tergantung kerumitannya.

Josh menuturkan penjualan sedotan bambu tersebut untuk fund raising atau penggalangan dana. Sebab RIJ yang merupakan lembaga nonprofit memiliki beragam kegiatan sosial. Mulai dari edukasi tentang lingkungan hingga les atau kursus bahasa Inggris secara gratis.

Agar semua kegiatan itu bisa terus berjalan, dibutuhkan dana termasuk untuk membeli kertas, membayar listrik dan sebagainya. Sementara, hingga saat ini RIJ belum memiliki donatur.

"Sedotan bambu ini untuk fund raising, karena kita enggak punya donor," kata Josh.

***

Josh menyindir banyaknya kafe besar yang menggunakan sedotan sekali pakai, yang terbuat dari kertas.

Memang sedotan itu mudah terurai, tapi penggunaan sedotan dari kertas, yang notabene bahan dasarnya adalah pohon, bukan merupakan upaya menjaga kelestarian lingkungan.

"Sedotan itu sekali pakai, dan dia dari kertas, man. Itu kan dari pohon. Harganya juga lebih mahal, itu kan yang didukung adalah pabrik besar, sedangkan kami ke petani," kata Josh.

Josh mengaku sudah 13 tahun tidak menggunakan kantong plastik.

Kata dia, saat ini pola pikir masyarakat tentang kelestarian lingkungan harus diubah. Termasuk slogan tentang menyelamatkan bumi, diganti menjadi menyelamatkan diri sendiri.

***

Dua wisatawan asal Belanda, Irene dan Sergie, yang ada di lokasi itu, mengaku tertarik dengan konsep meminimalkan produksi sampah plastik. Keduanya juga sepakat menggunakan sedotan dari bambu.

"Kami sangat setuju dengan konsep ini. Kami sudah mulai menggunakan sedotan bambu, dan akan membawanya ke negara kami," kata Irene. 

***

Sedotan dari bambu tersebut juga sudah digunakan Diyah, pemilik warung angkringan di Banyuraden, yakni Angkringan Van Kekandhangan.

Diyah yang ditemui di Angkringan Van Kekandhangan, mengatakan Josh memberikan beberapa batang sedotan bambu untuk warungnya. Tujuannya untuk mengedukasi dan membiasakan warga, khususnya pelanggan Angkringan Van Kekandhangan.

Hanya saja, kata Diyah, banyak pelanggan warungnya yang tidak berkenan menggunakan sedotan dari bambu, karena belum terbiasa. "Pembeli masih suka menggunakan sedotan plastik sekali pakai." []

Baca cerita menarik lain:

Berita terkait
Pengrajin Gamelan Tiga Generasi di Sleman
Jemari kedua tangannya mengatur letak kulit kerbau yang akan dipasang pada tabung kayu, untuk dijadikan gendang. Kesibukan di Bondho Gongso Sleman.
Ketika Jalan Jadi Taman Bermain Anak
Seorang anak laki-laki menggiring bola di jalanan. Dua anak lelaki lain yang lebih kecil, berusaha merebut bola itu.
Mitos Dusun Kasuran Sleman, Pantang Tidur di Kasur
Angin siang bertiup sepoi-sepoi menggoyangkan dedaunan di sekitar pemakaman di Dusun Kasuran, Margo Mulyo, Kecamatan Seyegan, Kabupaten Sleman.
0
Anak Elon Musk Mau Mengganti Nama
Anak CEO Tesla dan SpaceX, Elon Musk, telah mengajukan permintaan untuk mengubah namanya sesuai dengan identitas gender barunya