MCW: Omnibus Law Buka Ruang Potensi Korupsi Korporasi

Malang Corruption Watch menilai Omnibus Law membuka ruang semakin bebasnya tindak pidana korupsi korporasi atau perusahaan.
Demo penolakan Omnibus Law di Alun-alun Kota Malang. (Foto: Tagar/Moh Badar Risqullah)

Malang – Malang Corruption Watch (MCW) memberikan catatan keras usai disahkannya Rancangan Undang-undang (RUU) Omnibus Law oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Senin, 5 Oktober 2020. Mereka menilai UU sapu jagat tersebut berpotensi besar menciptakan ruang semakin bebasnya tindak pidana korupsi korporasi atau perusahaan.

Wakil Koordinator MCW, Ibnu Syamsu menyampaikan terciptanya ruang tersebut terlihat dari sanksi-sanksi kepada korporasi nakal melakukan pelanggaran dalam berinvestasi di Indonesia. Dia menyebutkan sanksi hanya sebatas administratif berupa denda uang saja. Bukan langsung berupa sanksi pidana penjara.

Di sanalah potensi tindak pidana korupsi oleh korporasi itu. Karena, ketika sudah bayar denda urusannya selesai.

Dia menjelaskan sanksi administratif tersebut terlalu lembek untuk menindak korporasi nakal. Sehingga, dia mengungkapkan tidak salah jika peraturan dalam dokumen 905 lembar itu seakan ikut memperparah kondisi lembaga penegak hukum seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.

Anggapan tersebut, kata dia, dikarenakan sanksi administratif tidak akan pernah membuat jera pelakunya. Sebaliknya, bukan tidak mungkin akan terus menerus berulang-ulang tindakan serupa. Selama pelanggaran oleh korporasi nakal itu tidak diketahui.

”Di sanalah potensi tindak pidana korupsi oleh korporasi itu. Karena, ketika sudah bayar denda urusannya selesai. Selanjutnya, mereka (korporasi) bisa leluasa melakukan tindakan serupa ke depannya,” kata Ibnu dalam wawancaranya dengan Tagar, Kamis, 8 Oktober 2020.

Dia mencontohkan dalam Pasal 17 Undang-undang Cipta Kerja terkait beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Pasal 1 menyebutkan Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya.

Kemudian, tujuan peraturan tersebut, Ibnu mengatakan Pasal 70 ayat 1 menyebutkan setiap orang yang memanfaatkan ruang tidak sesuai dengan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang dari pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 huruf b, dikenai sanksi administratif berupa denda paling banyak Rp2 miliar.

Tidak jauh berbeda dalam Pasal 18 terkait beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Sebagaimana dalam Pasal 71, disebutkan bahwa Pemanfaatan ruang perairan dan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil yang tidak memenuhi Perizinan Berusaha terkait Pemanfaatan di Laut yang diberikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) dikenai sanksi administratif.

Sedangkan untuk tindakan tegas berupa pidana penjara. Dia menyampaikan baru dilakukan ketika sanksi administratif tersebut tidak bisa dilakukan oleh korporasi-korporasi nakal tersebut.

”Ketika seperti itu, omnibus law ini tidak jauh beda dengan KPK saat ini. Konsepnya hanya pencegahan, bukan penindakan. Itu yang paling kelihatan dalam peraturan ini,” kata dia.

Seharusnya, kata Ibnu, ketika pemerintah eksekutif maupun legislatif mau ikut memberantas tindak pidana korupsi. Dia menyebutkan sanksi kepada korporasi nakal jangan hanya sebatas administratif, melainkan langsung pidana penjara.

”Paling utama, tegakkan pidana korporasi itu. Jadi, ketika ada perusahaan nakal. Bukan sanksi administrasi. Tetapi langsung penegakan hukum pidana penjara,” tuturnya.

Kondisi tersebut, kata Ibnu, diperparah dengan hadirnya Pasal 114 Undang-undang Omnibus Law terkait Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Dia menyebutkan pasal titipan tersebut menyebabkan otonomi daerah terganggu dan hanya menguntungkan korporasi serta orang dibaliknya.

Sehingga, ketika dulu pajak daerah dan retribusi daerah murni bisa dikelola oleh pemerintah daerah. Ibnu menyampaikan Pemerintah Daerah sudah tidak bisa seenaknya mengelola ketika adanya Omnibus Law ini.

Dia menyebutkan karena ada peraturan bahwa pemerintah pusat dapat mengintervensi terhadap kebijakan Pajak dan Retribusi yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah.

”Ketika itu ada intervensi. Otonomi daerah akan terganggu. Karena sudah ada cawe-cawe (campur tangan) dari pusat soal PAD (Pendapatan Asli Daerah) dan lain-lain. Jadi, tidak bebas lagi mengeksplor pendapatannya sendiri,” ucap dia.

Sementara, dia menyampaikan terkait dipermudahnya izin investasi dalam Undang-undang Omnibus Law memang meminimalisir terjadinya korupsi perizinan. Dikarenakan perizinannya sudah dipercepat dan tidak susah atau dipersulit sebagaimana peraturan sebelumnya.

Namun, dibalik percepatan dan mudahnya perizinan tersebut. Ibnu menyebutkan malah dibayangi tindak pidana korupsi lain oleh korporasi terkait pengemplangan pajak.

”Ketika izin dipermudah, tapi efek jeranya gak ada. Hanya sanksi administrasi. Ya diakali sama perusahaan dengan tidak melaporkan secara real pajaknya ke negara,” kata dia.

Dengan begitu, kata Ibnu, peraturan tersebut bisa memuluskan praktik kongkalikong antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Dia mencontohkan ketika ada proyek titipan dengan dalih investasi dari salah satu orang berpengaruh di pemerintah pusat.

Dia mengatakan pemerintah daerah tidak bisa berbuat sesuatu dan mau tidak mau harus mengikuti permintaanya. Dikarenakan sudah diintervensi oleh pemerintah pusat tersebut.

”Sudah tidak bisa melakukan sesuatu. Mau menolak tidak bisa. Jadi, yang akan dapat karpet merah bukan di pemerintah daerah. Melainkan cukong besar dengan backing-nya dari pusat itu,” ujarnya.

Dia mencontohkan seperti industri batubara yaitu pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batang di Jawa Tengah. PLTU itu dikatakannya milik konsorsium perusahaan Indonesia dan Jepang.

Dari Indonesia yaitu PT Adaro Power, anak perusahaan PT Adaro Energy. Perusahaan tersebut diketahui pendirinya adalah Sandiaga Uno bersama Edwin Soeryadjaya, Teddy Rachmat, Benny Subianto serta Garibaldo Tohir.

”Nah, aku melihat potensinya disana. Hanya orang-orang mereka yang diuntungkan dengan mendapatkan karpet merah,” tuturnya.

Disebutkannya seperti ada sebuah tambang dengan potensi pendapatan Rp 5 triliaun. Karena prosesnya mudah dan cepat. Perusahaan tidak perlu mengeluarkan uang besar. Sehingga, dia menyebutkan perusahaan bisa bermain dengan tidak memberikan secara utuh pajaknya.

”Potensi besar tindak pidana korupsinya adalah tindak pidana korupsi pendapatan. Pendapatan yang seharusnya masuk ke negara. Tetapi, hanya masuk ke swasta atau korporasi itu,” ujarnya.

Oleh karena itulah, Ibnu menilai Omnibus Law ini kebaikan berisi keburukan. Kebaikan tersebut, kata dia, berupa mudahnya ijin berinvestasi di Indonesia. Tetapi, kemudahan itu menimbulkan masalah baru berupa korupsi pendapatan oleh korporasi itu tadi.

”Jadi, yang akan menikmati Omnibus Law ini lingkaran-lingkaran korporasi itu saja. Bukan lingkaran negara secara formal. Tapi, lingkaran secara non formal. Makanya, isu bahwa ada pasal titipan itu bisa dibenarkan,” tuturnya.

Dalam hal ini, dia juga melogikan dengan terburu-burunya pengesahan Omnibus Law. Sekalipun harapannya agar banyak investor masuk ke Indonesia dan ada pendapatan masuk ke negara. Namun, tidak ada proteksi berupa sanksi tegas untuk memastikan pendapatan benar-benar masuk dan disetor ke negara.

”Dalam peraturan itu, pendekatannya masih lentur banget. Nggak ada penegasan jelas seperti dipidana ketika suatu korporasi melakukan tindak korupsi dan merugikan negara. Disana hanya sanksi administratif berupa denda uang saja,” kata Ibnu.

”Berarti, ketika ada perusahaan nakal. Kemudian sudah membayar. Artinya kan sudah selesai. Nah, potensi korupsinya itu disana. Kalau suap-suap perizinan itu bisa dikatakan sudah sangat minim,” tuturnya.

Oleh sebab itulah, Ibnu menyebutkan solusi mengatasi permasalahan sejak hadirnya undang-undang kontroversial ini. Dia menyebut solusinya yaitu mendesak Presiden Joko Widodo agar mengeluarkan Peraturan Pemerintah (Perpu) bahwa Omnibus Law tersebut tidak berlaku.

Kemudian, dia menambahkan Omnibus Law dikembalikan ke undang-undang sebelumnya. Seperti UU Ketenagakerjaan, Kelautan hingga Perpajakan.

Dia mengungkapkan bahwa solusi berupa judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) sudah tidak memungkinkan. Dia beranggapan karena kombinasi di tubuh Mahkamah Konstitusi (MK) tidak cukup baik setelah adanya revisi Undang-undang MK tersebut.

”Solusinya sekarang Perpu, kalau secara formal. Kalau mau lebih keras atau bar-barnya. Turun ke jalan itu sampai benar-benar dibatalkan,” ucapnya.[](PEN)

Baca juga:

Berita terkait
Tolak Omnibus Law, Demo Mahasiswa di Cikupa Tangerang Rusuh
Puluhan mahasiswa yang tergabung dalam Ampera menggelar aksi unjuk rasa menuntut dibatalkan Omnibus Law.
Ikut Demo Omnibus Law, 24 Pelajar Tangerang Diamankan
Kepolisian Kota Tangerang mengamankan sebanyak 24 pelajar yang hendak mengikuti demo Omnibis Law.
Omnibus Law Cipta Kerja Ditentang, KSP: Ajukan ke MK
Tenaga Ahli Kedeputian Kantor Staf Presiden Donny Gahral Adian menyatakan penentang Omnibus Law Cipta Kerja bisa sampaikan ke Mahkamah Konstitusi.
0
Tinjau Lapak Hewan Kurban, Pj Gubernur Banten: Hewan Kurban yang Dijual Dipastikan Sehat
Penjabat (Pj) Gubernur Banten Al Muktabar meninjau secara langsung lapak penjualan hewan kurban milik warga di Kawasan Puspiptek.