Jakarta - Pengamat politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Adi Prayitno menilai kinerja Wakil Presiden Ma'ruf Amin tak terlihat sepanjang 100 hari pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Utamanya menyebarkan pesan Islam yang moderat dan toleran.
Peran Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) nonaktif itu juga tak menonjol dalam menjalankan isu yang digemborkannya saat kampanye Pemilihan Umum (Pemilu) 2019, yaitu soal pengembangan ekonomi syariah dan pemberdayaan pesantren.
"Peran Kyai Ma'ruf sebagai wapres nyaris tak terlihat, terutama menebar Islam moderat," kata Adi kepada Tagar, Minggu, 2 Februari 2020.
Tak terlihatnya kapasitas tersebut menjadikan Menteri Agama Fachrul Razi menjadi terdompleng dalam sejumlah isu Islam moderat dan toleran. Misalnya, dalam beberapa kesempatan Fachrul menghimbau agar masyarakat Indonesia yang heterogen dapat hidup rukun dalam keberagaman sehingga dapat mengundang perhatian investor.
Malah isu Islam diserobot menteri agama dan menteri Nadiem.
Ketika pembangunan sejumlah tempat ibadah, salah satunya gereja di Kota Tanjungbalai, Karimun ditolak warga, bukan Ma'ruf tetapi Fachrul maju ke depan publik untuk menengahi persoalan tersebut dengan pernyataannya.
Kolaborasi antara Fachrul dengan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim soal mempertahankan konten agama Islam dari sekolah-sekolah dan mengangkat upaya pengikisan kadar keekstreman juga menjadikan Ma'ruf tak terlihat keberadaannya.
"Malah isu Islam diserobot menteri agama dan menteri Nadiem," ujar Adi.
Di sisi lain, Adi memberikan catatan negatif soal kebijakan Jokowi menghapus jabatan eselon III dan IV di lingkungan kementerian/lembaga. Alih-alih memerintah Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Tjahjo Kumolo untuk mengganti jabatan tersebut dengan artificial intelligence (AI), tetapi Jokowi malah menggemukan eksekutif dengan mengangkat deretan wakil menteri dan staf khusus.
Hal senada juga dilontarkan Pengamat Komunikasi Politik Emrus Sihombing. Menurutnya, tidak ada kejutan atau gebrakan baru terkait kinerja pemerintahan Jokowi jilid II selama 100 hari. "Dibanding dengan 100 hari periode pertama," kata Emrus kepada Tagar.
Emrus memandang kemungkinan tak adanya gebrakan baru lantaran program yang diusung Jokowi meneruskan periode sebelumnya. Namun, sepatutnya selama kurun waktu tertentu pemerintah Jokowi memberikan catatan kemajuan dari program yang tengah dijalankan.
"Misalnya saya (menjelaskan) tahun pertama melakukan hal ini di bidang ekonomi, politik, hukum, pendidikan, dan lain-lain. Setelah itu dibuat lagi di tahun kedua, ketiga, keempat, dan kelima, sebagai suatu program yang terukur," ujarnya.
Upaya itu, lanjut Emrus, dapat dilakukan agar masyarakat dapat memantau dengan transparan dan memberi masukan sehingga program yang sedang dijalankan menjadi terukur. Dia menilai hal itu dapat menjadi tolok ukur masyarakat untuk menilai kinerja pemerintahan Jokowi-Ma'ruf.
"Nantinya masyarakat akan merasa senang kalau itu sesuai, atau bisa memberikan kritikan atau masukan kalau ada program yang harus dikritisisasi," tutur dia. []
Baca juga: