Tidak terasa sudah 100 hari Jokowi dilantik menjabat sebagai Presiden kedua kali. Gegap gempita pasca kampanye sudah selesai. Dan sekarang mari kita sama-sama menilai. Jujur dalam 100 hari ini saya harus memberi Jokowi rapor merah. Nilainya 5,5. Harapan saya sih di awal dengan jargon Indonesia maju, maka Jokowi sedang menekan gas sekancang-kencangnya dalam periode terakhirnya.
"Saya tidak punya beban," kata Jokowi pada waktu itu. Tapi apa yang terjadi sekarang? Kabinet baru Jokowi yang dinamakan Kabinet Indonesia Maju, nyatanya lebih mirip Kabinet Indonesia Layu. Menteri-menterinya banyak yang loyo, tidak sesuai harapan masyarakat yang ingin menonton balapan mobil Formula One yang mendebarkan.
Pada periode pertama, banyak Menteri Jokowi yang menjadi bahan pembicaraan orang. Ada Susi Pudjiastuti yang nyentrik dan mampu mencuri perhatian. Ada juga Sri Mulyani dengan cerita bagaimana Jokowi menariknya pulang. Meski ada juga Anies dan Rizal Ramli yang dipecat karena lebih banyak berkoar di media daripada bekerja, tapi setidaknya di periode pertama ada gairah dalam kerja kabinet.
Apalagi waktu Jokowi mencanangkan "Rebut Freeport", dan drama dalam perebutan itu menjadi tontonan yang menarik pemirsanya. Drama-drama itu membuat orang jatuh hati pada Jokowi sekaligus membencinya. Jokowi berhasil membangun panggung megah dan tampil utuh sebagai tokoh utama.
Kabinet yang baru ini tidak seperti itu. Layu sebelum bekerja. Entah apa-apa, kata orang Medan. Ada Menteri Agama yang awalnya menarik perhatian. "Saya Menteri semua agama, bukan hanya agama Islam," katanya. Eh baru saja rakyat bersorak sorai, tiba-tiba dia bilang, "Saya adalah pendukung FPI yang paling depan." Huuuuu habis itu lenyap dari peredaran. Enggak jelas pergi ke mana.
Jujur dalam 100 hari ini saya harus memberi Jokowi rapor merah. Nilainya 5,5.
Ada lagi Menkominfo dari NasDem, yang sama sekali enggak paham dunia internet. Masak sekelas Menkominfo bilang sudah meminta situs porno Pornhub supaya membloir netizen +62 yang mengakses lewat VPN? Saya malu membayangkan, orang-orang IT Pornhub ngakak tergelak-gelak sambil bilang, "Indonesia itu jadul amat ya?"
Pak Jokowi, kalau cari Menkominfo cari dong yang sekelas Nadiem Makarim. Generasi muda yang paham internet dan seluk-beluknya. Bukan orang yang lahir pada masa obat nyamuk masih melingkar-lingkar.
Nadiem Makarim, yang awalnya ditunggu gebrakannya dan diharapkan bisa mencuri panggung media, malah enggak kedengaran suaranya. Orang jadi ragu. Ini Nadiem bisa enggak mengurusi dunia pendidikan yang sedemikian luasnya? Atau sudah kalah dengan mafia-mafia yang sudah lama bercokol di sana? Harusnya Nadiem waktu awal menjabat dengan tegas bilang, "Saya akan berhadapan dengan mafia pendidikan." Wah, pasti kita akan bersorak sorai.
Percayalah, saat ini kita butuh hero untuk menyelesaikan banyak PR yang belum selesai.
Menteri-menteri yang lain ke mana ya?
Untunglah masih ada Pak Basuki Menteri PUPR dan Bu Sri Mulyani yang menyelamatkan wajah kabinet. Tapi kan mereka orang lama. Kita butuh yang baru-baru dan segar-segar.
Ada lagi Menteri Kesehatan Bapak Terawan, yang diharapkan bisa memberesi semua hal. Eh, baru menghadapi virus corona sudah komentar, "Hadapilah dengan doa." Pak, ini virus, bukan azab ilahi Indosiar. Harusnya dengan gagah konferensi pers dan menyatakan, "Indonesia siap dengan segala kemungkinan. Kita siaga satu." Baru keren menterinya.
Eh, ke mana ya staf khusus Jokowi yang muda-muda kemarin itu? Muncul sekali waktu perkenalan, habis itu hilang enggak ada suaranya. Padahal saya berharap, dari yang muda-muda ada gebrakan, ternyata loyo juga.
Yang lumayan masih Erick Thohir dengan drama BUMN-nya. Mungkin karena dia orang media, Erick mampu memanfaatkan media sebagai aksi panggungnya.
Saya juga belum melihat Pak Jokowi greget seperti periode pertama. Dulu Pak Jokowi gagah banget dan mencuri perhatian, waktu ingin merebut Freeport. Sekarang sibuk mengunggah foto meeting di lokasi wisata. Supaya Instagramable ya, Pak? Jargon Indonesia Maju jadi mirip jargon-jargon masa Orde Baru. Jargonnya saja yang gagah, tapi pelaksanaannya, aduh bikin malu.
Kekosongan narasi dari para Menteri inilah yang membuat Anies Baswedan dengan leluasa memanfaatkan panggung untuknya di Pilpres ke depan. Anies royal memanfaatkan buzzer-buzzernya supaya menaikkan namanya meski ia dihadang banyak masalah.
Seharusnya, menteri-menteri baru Jokowi yang muda-muda bisa menghadang dan membangun narasi supaya perhatian publik tidak dicuri. Sebagai catatan, mau seberapa besarpun pemerintah membangun negeri, narasi itu akan hilang dengan cepat karena ingatan orang pendek sekali. Masyarakat kita adalah pemilih emosional, bukan rasional. Mainkan emosi mereka dengan menampilkan para pahlawan di bidangnya. Kita butuh hero, seseorang yang ditampilkan ke depan .
Pak Jokowi, ini baru 100 hari tapi bisa dijadikan sebagai catatan. Bolehlah start-nya lambat, tapi semoga di depan bisa menyalip di banyak tikungan. Semoga ya. Kalau tidak, jangan salahkan orang yang tidak kita kehendaki akan memimpin negeri ini hanya karena ia menguasai narasi dan hancurlah semua apa yang pernah dikerjakan dengan peluh dan keringat bercucuran.
*Penulis buku Tuhan dalam Secangkir Kopi
Tulisan ini sebelumnya sudah di-publish di akun YouTube Cokro TV dengan judul Denny Siregar: Pak Jokowi, Kabinetmu Layu
Baca juga: