Solo – Keraton Kasunanan Surakarta menggelar ritual menanam kepala kerbau atau biasa disebut dengan Wilujengan Mahesa Lawung, Kamis 26 Desember 2019. Ritual ini sudah ada sejak era Mataram Hindu dan digelar setiap bulan Bakda Mulud pada hari Senin atau Kamis menurut perhitungan kalender Jawa.
Ketua Lembaga Dewan Adat (LDA) GKR Koes Murtiyah mengatakan, ritual menanam kepala kerbau merupakan upacara yang sudah sangat kuno. "Sebelum Mataram Islam ada, ritual ini sudah dilakukan. Setelah Mataram bercorak Islam, ritual ini tetap dipertahankan. Maka tadi kita dengar ada mantra Jawa tapi juga ada doa-doa, dan selawat nabi dalam Bahasa Arab," ucapnya Kamis 26 Desember 2019.
Prosesi upacara adat ini, dimulai dengan kirab kepala kerbau yang dibawa oleh para sentana dalem dan abdi dalem ke atas Sitihinggil Keraton Kasunanan Surakarta. Di lokasi tersebut, kepala kerbau disemayamkan dan kemudian didoakan secara bersama-sama.
Usai didoakan di Sitihinggil Keraton Kasunanan Surakarta, kepala kerbau tersebut dibawa ke Alas Kerendowahono yang berjarak 15 kilometer (Km) dari Kota Solo. Penanaman kepala kerbau tersebut merupakan inti dari ritual Mahesa Lawung.
Sebelum Mataram Islam ada, ritual ini sudah dilakukan. Setelah Mataram bercorak Islam, ritual ini tetap dipertahankan.
Penanaman kepala kerbau dalam ritual Wilujengan Mahesa Lawung sarat makna. Di mana, hewan kerbau bagi masyarakat Jawa disimbolkan sebagai lambang kebodohan. Dengan memendam kepala kerbau beserta jerohan kerbau tersebut, memiliki makna bahkan orang Jawa harus bisa memendam kebodohannya.
"Maka di Jawa ada unen-unen (peribahasa) bodho longa-longo koyo kebo (bodoh geleng-geleng seperti kerbau). Yang bodoh tentunya kan kepala. Kalau jerohannya melambangkan nafsu. Makanya kepala dan jerohan yang kita kubur," jelasnya.
Ketua Eksekutif Lembaga Hukum LDA, KP Eddy Wirabhumi mengaatakan masyarakat Jawa tradisional meyakini bahwa kepala kerbau yang ditanam di Alas Krendawahono merupakan sesaji yang ditujukan untuk Betari Durga.
Namun pemberian sesaji bukan berarti mereka menyembah makhluk gaib. Namun sebagai bentuk penyeimbang manusia dengan alam yang harus dijaga.
Betari Durga atau disebut dengan Dewi Durga adalah Dewi yang sangat cantik dan pemberani. Ia juga dikenal sebagai Dewi yang memberikan perlindungan kepada para pengikutnya.
“Dalam kehidupan tentu ada tata krama. Di masyarakat Jawa, tata krama tidak hanya dengan yang nampak. Hubungan sesama manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan yang tidak tampak semua harus dijaga,” ungkap dia. []
Baca Juga:
- Keraton Solo Gelar Tahlil Wafatnya Sultan Agung
- Menilik Kapi-Kapi, Wayang Kreasi Keraton Yogyakarta
- Isra Mi'raj, Ada Burung Buraq Kendaraan Nabi Muhammad SAW di Keraton Yogyakarta