MA Putuskan Mantan Koruptor Boleh Nyaleg, Abdullah Puteh: Alhamdulillah

“Saya meminta KPU segera merevisi Peraturan KPU (PKPU) yang melarang mantan napi korupsi menjadi caleg,” kata Fahri Hamzah.
Peneliti Senior NETGRIT Hadar Nafis Gumay menunjukkan sebaran caleg mantan napi korupsi yang diloloskan Bawaslu dalam diskusi di kantor ICW, Jakarta, Minggu (9/9/2018). Diskusi tersebut mengambil tema Polemik Pencalonan Napi Korupsi: Antara Komitmen Partai dan Penuntasan di Mahkamah Agung. (Foto: Ant/Sigid Kurniawan)

Jakarta, (Tagar 15/9/2018) – Putusan Mahkamah Agung (MA) yang menyatakan mantan narapidana kasus tindak pidana korupsi diperbolehkan untuk mencalonkan diri sebagai anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten-kota mendapat apresiasi dari Fahri Hamzah, Arsul Sani, dan Abdullah Puteh.

Putusan itu, menurut Fahri telah mengembalikan pengertian dan kesadaran tentang sesuatu yang benar bahwa KPU tidak boleh membuat norma.

"Karena itu bukan merupakan tugas KPU. Pembuatan norma hanya dilakukan oleh DPR bersama presiden dalam pembuatan UU," kata Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah di Jakarta, Jumat (14/9).

Fahri menilai, KPU sebagai pelaksana teknis UU hanya membuat aturan yang sesuai dengan UU dan tidak boleh membuat aturan tambahan yang membuat norma dan lain-lainnya.

“Karena itu, saya meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) segera merevisi Peraturan KPU (PKPU) yang melarang mantan napi korupsi menjadi caleg agar sesuai dengan UU dan Putusan MA serta putusan MK,” kata Fahri.

Hal senada diungkapkan Sekretaris Jenderal DPP PPP Arsul Sani. Dia menilai Putusan MA yang memperbolehkan mantan napi kasus korupsi menjadi calon anggota legislatif, tidak ada implikasinya apa pun terkait pencalegan.

"Hal itu karena PPP meskipun melihat bahwa materi muatan PKPU bermasalah dari segi hukum dan tertib peraturan perundangan, namun sejak awal kami telah menetapkan kebijakan untuk tidak mendaftarkan para mantan terpidana beberapa jenis kejahatan termasuk korupsi sebagai caleg," kata Arsul di Jakata, Jumat malam.

PPP berpendapat, secara hukum pelarangan mantan terpidana kasus korupsi atas dasar PKPU, keliru secara hukum. Menurut Arsul, langkah KPU membuat PKPU tersebut "menabrak" UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang secara hirarki lebih tinggi.

"Selain itu juga menabrak beberapa Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang telah membuka ruang bagi mereka itu dicalegkan dengan syarat tertentu seperti mengumumkan statusnya kepada masyarakat," ujarnya.

Selain itu, menurut Arsul, PPP juga tidak sepakat kalau menyalahkan Bawaslu maupun MA karena keputusan kedua lembaga itu dari sisi hukum tidak salah.

Hukum Masih Ada

Mantan Gubernur Aceh Abdullah Puteh juga mengapresiasi keputusan Mahkamah Agung yang membolehkan mantan narapidana koruptor maju sebagai calon anggota legislatif dengan membatalkan pasal dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU).

"Alhamdulillah, Mahkamah Agung telah melakukan pengujian dan membatalkan PKPU yang membatasi hak mantan narapidana korupsi menjadi calon anggota legislatif. Putusan MA tersebut membuktikan bahwa hukum masih ada di negara ini," kata Puteh melalui pengacaranya Zulfikar Sawang dalam pesan singkatnya, Jumat.

Mantan Gubernur Aceh Abdullah Puteh merupakan salah satu mantan terpidana kasus korupsi yang terganjal akibat Peraturan KPU tersebut.

Puteh yang maju mencalonkan diri untuk posisi Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari Aceh dinyatakan KPU tidak memenuhi syarat, sehingga namanya dicoret dari daftar calon anggota DPD sementara.

Puteh mengajukan sengketa ke Panwaslih Aceh (Bawaslu setempat), dan memenangkan kasus itu, sehingga ia menjadi memenuhi syarat.

Namun, KPU tetap menunda keputusan Panwaslih tersebut, sembari menunggu uji materi terkait pasal yang menghambat mantan napi koruptor menjadi caleg.

Sebelumnya, MA melalui putusan uji materi Peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2018 menyatakan mantan narapidana kasus tindak pidana korupsi diperbolehkan untuk mencalonkan diri sebagai anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten-kota.

"Uji materi tersebut sudah diputus dan dikabulkan oleh MA," ujar Juru Bicara MA Suhadi seperti dikutip Antaranews.

Uji materi terkait larangan mantan narapidana kasus korupsi, bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak untuk menjadi bakal calon anggota legislatif (bacaleg) dalam Pemilu 2019 sudah diputus oleh MA pada Kamis (13/9).

"Jadi, pasal yang diujikan itu sekarang sudah tidak berlaku lagi," kata Suhadi.

Dalam pertimbangannya, MA menyatakan, ketentuan yang digugat oleh para pemohon bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi, yaitu UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Dalam undang-undang tersebut dijelaskan bahwa mantan terpidana kasus korupsi diperbolehkan mencalonkan diri sebagai anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten-kota asalkan memenuhi beberapa persyaratan. []

Berita terkait
0
Kesengsaraan dalam Kehidupan Pekerja Migran di Arab Saudi
Puluhan ribu migran Ethiopia proses dideportasi dari Arab Saudi, mereka cerita tentang penahanan berbulan-bulan dalam kondisi menyedihkan