Lokalisasi Gambilangu Semarang, Dulu dan Sekarang

Tak terasa perjalanan di kompleks Lokalisasi Gambilangu, Kota Semarang, Jawa Tengah, membawa Tagar ke sebuah warung makan.
Jalan yang menjadi pembatas wilayah Lokalisasi Gambilangu di perbatasan Kota Semarang-Kabupaten Kendal, Jawa Tengah. (Foto: Tagar/Agus Joko Mulyono)

Semarang - Azan Zuhur baru saja rampung berkumandang. Angka jam di ponsel menunjukkan waktu 12.07 WIB. Tak terasa, perjalanan singkat di kompleks Lokalisasi Gambilangu, Kota Semarang, Jawa Tengah pada Selasa, 25 Juni 2019 membawa Tagar ke sebuah warung makan.

Warung makan tersebut terbilang sederhana, bercampur sejumlah barang kelontong, milik keluarga Pak Subhan. Warung di rumah yang ia tinggali itu berada di Kampung Rowosari Atas RT 3 RW 6, Kelurahan Mangkang Kulon, Kecamatan Tugu, Semarang.

Berlokasi di perempatan jalan kampung, membuat warung Subhan jadi rujukan kuliner warga maupun wanita pekerja seks (WPS) yang tinggal di sekitarnya. Dan siang itu, warung Subhan kedatangan sejumlah perempuan berpenampilan seksi.

Perempuan pertama kisaran umur 35 tahun. Penampilannya biasa saja, berkaos putih motif mirip batik dikombinasi rok sepanjang betis. Yang membedakan dari kebanyakan tampilan perempuan kampung adalah lukisan tato di betis kanannya.

Sedangkan tiga perempuan lain berpenampilan mengundang syahwat. Mereka memakai kaos ketat dan celana jeans pendek sebatas paha, sangat jelas memperlihatkan bentuk dan lekuk tubuh yang padat berisi.

“Mbak, tadi hasil pertemuannya bagaimana?” kata perempuan berkaos coklat ke perempuan bertato di betis.

“Wah saya tidak tahu, saya tadi tidak datang karena lagi sibuk, ada kerjaan tadi,” jawab yang ditanya.

Obrolan mengalir dari empat perempuan tersebut. Tagar yang tengah menikmati dinginnya es teh menjadi tertarik untuk menyimak. Ternyata yang dimaksud dalam perbincangan mereka adalah sosialisasi Pemkot Semarang soal rencana penutupan aktivitas prostitusi di Lokalisasi Gambilangu.

Rencana penutupan memang sudah santer terdengar di kalangan penghuni Gambilangu. 

“Katanya kita akan dapat pesangon sekitar Rp 10 juta. Kalau yang di Kendal hanya dapat sekitar Rp 5,5 juta,” kata salah satu perempuan saat Tagar nimbrung dalam obrolan itu.

Obrolan berakhir saat pesanan makanan sudah selesai dibungkus. Di akhir pembicaraan, para perempuan itu mengaku pasrah dengan keputusan pemerintah.

“Kalaupun mau ditutup yang ditutup apanya, Mas? wong sekarang saja sepi tamu,” kata di antara mereka.

Dulu dan Sekarang

Subhan sang pemilik warung membenarkan ucapan para WPS. “Sudah dua tahun terakhir ya seperti ini. Kalau malam sepi, tamu ada tapi kondisinya tidak seramai dulu,” kata dia.

Ia mengaku sudah tinggal di Gambilangu selama 25 tahun. “Saya ini termasuk pendatang, ke sini sejak 1994,” ujar dia. Dibanding lima tahun awal tinggal di Gambilangu, kondisi prostitusinya jauh beda.

Dulu, lanjut Subhan, kegiatan prositusi di Gambilangu hanya ada selingan dangdut keliling dari pengamen jalanan. Belum ada hingar bingar dari tempat karaoke yang menjamur seperti sekarang. Meski begitu jumlah pria hidung belang yang datang terbilang banyak.

“Dulu waktu awal-awal saya masuk ke sini, setiap akhir pekan penuh sesak seperti pasar malam. Padahal saat itu belum ada usaha karaoke,” katanya.

Lokalisasi SemarangSuasana lengang di perkampungan Lokalisasi Gambilangu, Semarang, Jawa Tengah. Aktivitas prostitusi tidak lagi mencolok seperti tahun 2000-an. (Foto: Tagar/Agus Joko Mulyono)

Usaha karaoke mulai bermunculan di era tahun 2000-an. “Tahun 90-an, sekitar tahun 1995-an memang sudah muncul karaoke, tapi hanya satu dua. Puncaknya sekitar 10 tahun lalu, karaoke mulai menjamur,” katanya.

Kemunculan usaha karaoke ini menggeser dominasi dangdut keliling dari kelompok pengamen. Di masa itu, Gambilangu mengalami kejayaan. Dari awal hanya bisa dihitunga dengan jari, bertambah menjadi puluhan dan akhirnya mencapai ratusan.

Katanya kita akan dapat pesangon sekitar Rp 10 juta. Kalau yang di Kendal hanya dapat sekitar Rp 5,5 juta.

Ketua Resosialisasi Gambilangu Kusnaningsih dalam sebuah kesempatan kepada Tagar mengatakan, “Kalau zaman jayanya Gambilangu, sekitar 10 tahun lalu, ada 400-an anak asuh (sebutan WPS) di sini. Ini karena yang datang ke sini juga banyak. Tapi makin ke sini jumlahnya makin sedikit karena banyak yang sudah mentas, alih profesi, tinggal ada 140-an anak asuh.”

AL 50 tahun, warga Semarang, mantan pelanggan Gambilangu mengakui kondisi lokalisasi di ujung barat Kota Semarang ini memang tidak seramai dulu. 

“Dulu belum ada fasilitas karaoke seperti sekarang, hanya ada pengamen keliling tapi sudah terlihat banyak pengunjung. Dan ramai pengunjung saat bermunculan bangunan karaoke di kisaran tahun 2000,” kenang dia.

Pria flamboyan berkepala pelontos ini bercerita di zaman lajang kerap menyambangi Gambilangu untuk menuntaskan nafsu setannya. Kali pertama berwisata syahwat di Gambilangu sekitar tahun 90-an.

“Pertama kali ke Gambilangu saat pertama kali kerja, usai lulus sekolah dapat kerja, habis gajian langsung ke sana. Pernah jajan di sana mulai harga Rp 3.500 sampai Rp 50 ribu per sekali main,” ucapnya tersenyum.

Sejak itu, ia menjadi pelanggan tetap di Gambilangu meski terbilang juga jadi anggota di lokalisasi lain di Semarang, Sunan Kuning di kawasan Kalibanteng. Membandingkan Gambilangu dengan Sunan Kuning, mata Al langsung menerawang.

“Bisa dibilang Gambilangu dan Sunan Kuning itu sama-sama tenar. Pelanggan Gambilangu rata-rata banyak yang datang dari mereka yang tinggal di wilayah barat Semarang, kalau Sunan Kuning lebih banyak dari warga lokal Semarang,” kata dia.

Hanya saja, ada stigma pembeda yang sudah terbentuk di kalangan pelanggan. Bahwa para WPS di Gambilangu kebanyakan dari mereka yang sebelumnya mangkal di Sunan Kuning.

“Sudah ada penilaian kelas, bahwa mereka yang tidak banyak tamu di Sunan Kuning pindah ke Gambilangu untuk cari peruntungan yang lebih baik. Padahal harga di Gambilangu lebih murah ketimbang saat di Sunan Kuning,” tutur pria yang khas dengan tampilan kalung rantai di leher ini.

“Dibanding Sunan Kuning, kualitas WPS di SK memang lebih baik. Saat dulu di Gambilangu harganya hanya Rp 3.500, di Sunan Kuning tarifnya sudah Rp 7.500,” kata AL.

Asal Usul Gambilangu

Lokalisasi Gambilangu berada perbatasan antara Kota Semarang dan Kabupaten Kendal. Gambilangu terbagi menjadi dua wilayah perkampungan. Separuh masuk Kota Semarang, separuh lagi masuk Kabupaten Kendal.

Di wilayah Kota Semarang, Gambilangu secara administratif tercatat dengan nama Perkampungan Rowosari Atas. Perkampungan ini terdiri tiga rukun tetangga (RT), di RW 6, Kelurahan Mangkang Kulon, Kecamatan Tugu. Sedangkan yang masuk Kendal, ada empat RT yang masuk Dukuh Mlaten, Desa Sumberejo, Kecamatan Kaliwungu.

Ternyata tidak banyak orang yang tahu soal asal usul nama Gambilangu. Mayoritas orang tua di Gambilangu mengaku pendatang sehingga tidak tahu persis cerita sejarah nama Gambilangu. Bahkan saat dilacak di Google, tidak banyak referensi tulisan soal dari mana nama Gambilangu didapat.

Konon, dinamakan Gambilangu karena kawasan Gambilangu dulu banyak ditemukan pohon Gambir yang berbau langu. “Setahu saya, Gambilangu diambil dari kata Gambir dan Langu. Gambir itu pohon yang menghasilkan buah untuk kinang, sedangkan langu itu bau yang tidak enak,” tutur warga bernama Slamet.

Salah satu sesepuh Gambilangu, Halim, 66 tahun, bercerita dinamakan lokalisasi Gambilangu karena lokasinya berada di samping tempat penimbunan kayu (TPK) milik Perhutani Kendal. 

“Dinamakan Gambilangu karena di dekat tempat penimbunan kayu Gambilangu. Untuk memudahkan penyebutan nama sebuah tempat,” ujar dia.

Awalnya kawasan Gambilangu hanya berupa tanah kosong tak berpenghuni. Berupa gundukan-gundukan tanah yang dipenuhi tumbuhan liar semak belukar, termasuk pepohonan Gambir.

“Saya aslinya dari Kalibanteng, pindah ke sini di RT 3 RW 6 Rowosari Atas masih bujang pada tahun 1974. Saat datang ke sini jarang ada rumah, lebih banyak tanah kosong yang digunakan untuk pembuatan batu bata,” katanya.

Semula Gambilangu merupakan satu wilayah, tidak terpisah seperti sekarang, masuk Kabupaten Kendal dan tercatat sebagai nama perdukuhan. Pertama kali muncul praktik prostitusi dari sejumlah rumah bedeng yang didirikan beberapa pendatang antara tahun 1960 hingga 1970.

Rumah-rumah sederhana dari kayu papan dan seng itu, masuk wilayah Dukuh Mlaten Sumberejo, Kendal, banyak diisi wanita yang menawarkan jasa kehangatan tubuh. Aktivitas mereka dikoordinir oleh pemilik bedeng.

“Saat itu masih sedikit, tidak sampai 20 rumah bedeng. Mungkin sekitar 15-an. Jadi sebenarnya tidak ada warga asli Gambilangu. Semuanya yang ada di sini itu pendatang,” katanya.

Pelanggan dari WPS rumah bedeng datang dari kalangan sopir yang biasa mengangkut kayu di TPK Gambilangu. Banyak juga didatangi sopir angkutan atau truk lintas kota yang melintas Kendal-Semarang.

Seiring waktu rumah-rumah bedeng makin banyak hingga menyebar ke perkampungan yang ditinggal Halim saat ini. Dan saat pemekaran Kota Semarang pada sekitar tahun 1978, Gambilangu terbagi menjadi dua wilayah, aktivitas prostitusi sudah menyebar masif.

“Saat itu prostitusi tidak seperti sekarang. Orang ke sini ya tujuannya memang hanya untuk begituan. Tidak ada karaoke, belum ada dangdutan keliling. Murni pelayanan seks, tamu datang untuk ngamar,” tutur kakek delapan cucu ini.

Soal rencana penutupan lokalisasi, Halim hanya menyatakan rencana itu sudah ia dengar sejak tahun 1985. “Saat itu rencananya mau dipindah ke Pudakpayung, dijadikan satu dengan yang ada di Sunan Kuning. Tapi sampai sekarang tidak pernah terealisasi,” kata dia. []

Tulisan feature lain:

Berita terkait
0
Video Jokowi 'Menghadap' Megawati Sangat Tidak Elok Dipertontonkan
Tontonan video Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) yang sedang bertemu dengan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarno Putri, sangat tidak elok.