Kisah Inspiratif Haji Cendol di Sulawesi Selatan

Hajah Capo, 60 tahun, seorang penjual es cendol di Bantaeng, Sulawesi Selatan. Dari usaha kecilnya itu, ia mampu naik haji dan umroh.
Hajah Capo, perempuan gigih di Bantaeng, Sulawesi Selatan yang bisa naik haji dan membesarkan anak-anak dengan berjualan cendol. (Foto: Tagar/Fitriani Aulia Rizka)

Bantaeng - Mendung menggantung di langit kawasan Jalan Andi Mannappiang, Kelurahan Lamalaka, Kecamatan Bantaeng, Kabupaten Bantaeng, Provinsi Sulawesi Selatan, sore itu. Tidak panas tapi rasa gerah menyelimuti tubuh. Keringat tumpah membasahi badan hingga nampak jelas bagian pakaian yang basah.

Di salah satu sudut Stadion Lamalaka, di pinggir jalan penghubung Lamalaka dan pusat kota Bantaeng, terlihat warung mungil nan menarik perhatian. Posisinya tak jauh dari taman depan Pantai Lamalaka, taman yang jadi salah satu titik swafoto terkenal di Bantaeng. 

Warung sederhana itu terbuat dari triplek dan bambu yang dicat warna merah menyala berpadu kuning. Bangunan warung bisa dibilang kecil lantaran tak lebih 2 x 2 meter persegi. Di bagian atas, atap seng jadi peneduh sengatan mentari. Sementara lantai warung dibuat dari papan berlapis karpet plastik hingga nampak bersih dan rapi, membuat siapa saja yang datang jadi betah duduk berlama-lama.

Suasana gerah ditambah mulut yang mulai terasa kering menuntun Tagar ke warung bertuliskan Kios Mandiri tersebut. Belakangan diketahui si pemilik kedai kuliner bernama Hajah Capo, berusia sekitar 60 tahun. Hari itu, Jumat 1 November 2019, menjadi pengalaman pertama menginjakkan kaki di kedai yang menawarkan es cendol sebagai menu andalan. 

Kehangatan sikap Hajah Capo menyambut, beriring penawaran menu warungnya. Es Cendol, itu yang terlontar mengingat dahaga sudah harus segera diguyur dengan sesuatu yang menyegarkan. Perempuan berbusana hitam tersebut lantas bergegas menyiapkan pesanan. Tak lama ia kembali ke hadapan Tagar dengan segelas minuman dingin berwarna kombinasi hijau, putih dan cokelat. 

Seteguk demi seteguk, guyuran es cendol membasahi tenggorokan. Terasa nikmat dan segar. Cendolnya sendiri bisa dibilang punya cita rasa unik. Terbuat dari campuran beras ketan dan telur bebek. Terasa lembut, halus tatkala menyusuri ruang kerongkongan. Alhasil, minuman yang memadukan rasa gurih cendol dan manis gula merah ini tak butuh waktu lama untuk berkurang setengah gelas. 

Kalau orang-orang panggil saya Haji Cendol ya karena memang saya penjual cendol, tidak ada yang salah.

Warung CendolWarung Hajah Capo di tepi jalan poros Lamalaka depan Stadion Lamalaka, Lamalaka, Bantaeng, Sulawesi Selatan. (Foto: Tagar/Fitriani Aulia Rizka)

Di sela menikmati es cendol ini lah, obrolan dengan Hajah Capo mulai mengalir. Mulai dari ragam menu, harga makanan hingga sapaan akrabnya. Ternyata, orang sekitar warung dan pelanggan banyak yang memanggilnya dengan sebutan Haji Cendol.  

Ia tidak menampik bila dikata demikian. Tidak pula marah atau risi dengan sapaan yang disematkan. Malah ia mengaku sangat senang sebutan itu. Karena memang gelar hajah diperoleh dari hasil berjualan es cendol. 

"Kalau orang-orang panggil saya Haji Cendol ya karena memang saya penjual cendol, tidak ada yang salah," katanya diiringi tawa renyah. 

Dari gaya bicara di obrolan awal ini, terlihat jelas kepribadian ramah Hajah Capo. Dalam bahasa daerah setempat, pribadi seperti itu disebut somberek atau ramah dan selalu tersenyum. Obrolan sempat terhenti karena ada pembeli datang. Menunggu, Tagar kembali menyendok minuman seharga Rp 5.000 segelas ini. 

Balik lagi, Hajah Capo membawa piring berisi makanan bernama gogos. Kudapan khas Sulawesi Selatan yang terbuat dari beras ketan dimasak kemudian dibakar. Jika di Jawa mirip lontong atau lemper. Harganya juga murah, Rp 2.000 per gogos.

Obrolan makin gayeng, berbicara seputar kisah hidupnya. Seolah tak kehabisan bahan cerita, perempuan dengan keriput di sudut dua mata itu berbagi ragam pengalaman hidup. Membuat Tagar hanya bisa menyimak dengan mulut terbuka, bengong karena kagum. 

Kekuatan Doa

Semua kesulitan ia hadapi dengan senyum, sikap sabar dan tak henti bermunajat ke Maha Kuasa. Bagaimana ia harus melakoni lika-liku dan rintangan hidup diceritakan sembari sesekali tersenyum, menyapa warga yang lewat depan kedainya. 

Seperti perjuangan menghidupi enam anak, jatuh bangun merintis usaha, dianggap sebelah mata oleh orang lain hingga bertahan sendiri usai suaminya, Tata, dipanggil Sang Illahi pada 2011. Sabar dan tak henti bermunajat ke Maha Kuasa menjadi kunci hidup Hajah Capo.

"Doa nak, itu kekuatan saya. Siang malam saya sujud, menangis, jatuh air mataku mengeluh sama Allah, kuserahkan hidupku sama Allah," katanya. Wajahnya tiba-tiba sendu, seakan teringat masa pahit lalunya. Memantik rasa trenyuh bagi siapa saja yang memandang. 

Kisahnya dimulai sekitar tahun 1973, bermula dari ajakan suami pindah dari Malakaji, Kabupaten Gowa ke Bantaeng. Dengan membawa serta empat anak mereka yang saat itu masih kecil-kecil. Hajah Capo tidak menceritakan detail ada atau tidaknya sanak saudara yang bisa dimintai bantuan saat berpindah tempat tingga kala itu. 

Ia mengatakan harta yang dibawa saat pindah ke bumi Butta Toa hanya berupa dua panci ukuran kecil, satu alas tikar untuk tidur berenam dan beberapa keping piring plastik. Belum punya uang untuk menyewa rumah, mereka tinggal di sebuah bangunan kosong di kompleks pabrik beras. Cukup lumayan sebagai tempat berlindung dari panasnya mentari dan guyuran hujan. 

Tagar tak bisa membayangkan kesulitannya pada waktu itu. Tapi semua dihadapi dengan tabah. Berjalannya waktu, di Stadion Lamalaka kerap diadakan tontonan sirkus yang ramai pengunjung. Situasi itu dimanfaatkan Hajah Capo untuk membantu suami mencari nafkah.

Doa nak, itu kekuatan saya. Siang malam saya sujud, menangis, jatuh air mataku mengeluh sama Allah, kuserahkan hidupku sama Allah.

Es CendolEs Cendol, menu andalan di kedai milik Hajah Capo di Bantaeng, Sulawesi Selatan. (Foto: Fitriani Aulia Rizka)

Berjalannya waktu, di Stadion Lamalaka kerap diadakan tontonan sirkus yang ramai pengunjung. Situasi itu dimanfaatkan untuk membantu suami mencari nafkah."Saya coba nak bikin cendol. Modalku beras satu liter setengah, gula merah sebiji, kelapa sebutir," kenangnya. 

Ia benar-benar tak menyangka jika dengan modal yang tak habis Rp 10.000 itu mengantar pada aktivitas kehidupan penuh kejutan. Diawali untuk biasa menyisihkan keuntungan berjualan es cendol meski jumlahnya tak seberapa. Sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit. Peribahasa itu benar mengena di kehidupannya. 

"Kalau dapat Rp 100.000 simpan Rp 20.000. Kalau dapat Rp 200.000 simpan Rp 100.000, begitu nak, jangan dihabiskan kalau dapat uang," jelasnya.  

Dari berjualan es cendol itu pula ia mampu membeli tanah, membangun rumah, menyekolahkan dan menikahkan anak-anaknya serta melaksanakan akikah cucunya. Kisah yang dapat menampar siapapun yang merasa selalu kurang dalam hidup. Karena dibalik penampilan yang sederhana ternyata menyimpan sejarah perjalanan luar biasa.

Naik Haji

Hari demi hari hingga berganti tahun. Ekonomi keluarga Hajah Capo mulai membaik. Hasil menyisihkan keuntungan usaha mampu dimanfaatkan untuk mewujudkan mimpi pergi ke Mekkah. Tidak hanya sekali, dalam kurun waktu berurutan dua tahun, 2012 dan 2013 ia bisa ke Tanah Suci guna berhaji dan umrah.

Sayang, setahun sebelum berangkat haji, suaminya meninggal.  Saat itulah kekuatan iman Hajah Capo benar-benar diuji. Ia tidak ada lagi bahu yang bisa disandari tatkala lelah. Karena itu, saat menjalankan rukun Islam ke lima di Mekkah, ia merintih menuangkan seluruh isi hati. Berserah diri, hidup dan mati, kepadaNYA. 

Kalau berdagang jangan pernah mau mengutang. Biar sedikit asal uang sendiri.

Soal kebiasaan menyimpan sebagian uang hasil berjualan, Hajah Capo mengaku sang suami tidak begitu mengetahui. Pernah suatu kali, Tata heran ketika diminta pergi membeli dua kaveling tanah untuk keluarga mereka. Tata bertanya dari mana istrinya bisa punya uang Rp 30 juta untuk beli tanah

"Saya kasi pegang uang Tata, kusuruh pergi cari tanah akhirnya beli dua kaveling di Sungguminasa. Alhamdulillah bisa dibangun enam rumah untuk anak-anak. Jadi saat pindah ke sini ada empat anak, kemudian lahir dua anak lagi," bebernya. 

Sesekali Tagar menyendok es cendol yang tersisa seperempat gelas. Tak lupa mengunyah gogos untuk mengganjal lapar di perut. Sambil menikmati hidangan tersebut, Hajah Capo terus bercerita. Dan kali ini berkembang ke status hajah yang disandang. Ternyata, kehajiannya pernah diragukan orang lain. 

"Waktu itu di Pasar Lambocca, saya dibikin malu. Ditanyakan berapa harga songkok haji yang kupakai ini, ditertawakan sampai beberapa meter saya jalan tapi saya sabar saja. Memang begitu nasib orang kecil," ucapnya tersenyum lebar. 

Kesabaran berbuah manis pada waktunya. Mereka yang sebelumnya pernah mencibir menjadi tercengang ketika melihat langsung foto-foto yang terpajang di dinding rumah. Mereka meminta maaf demi melihat rekam gambar aktivitasnya di Mekkah.

Kini, Haji Cendol menikmati hasil perjuangan masa lalunya. Ia sudah banyak pelanggan lintas kabupaten. Letaknya yang berada di poros jalan memudahkan masyarakat mampir setiap kali lewat. 

Terlebih jika Ramadan tiba. Banyak pengurus masjid dan warga menggunakan jasanya untuk membuat cendol dan gogos dengan budget jutaan rupiah. Tentu saja, waktu itu menjadi momen yang pas untuk meraup banyak untung.

"Kalau berdagang jangan pernah mau mengutang. Biar sedikit asal uang sendiri. Kadang orang tanya kenapa rasa cendolku tidak berubah meski sudah puluhan tahun. Saya bilang, saya berjualan bukan cari uang tapi cari pelanggan," tuturnya yang lagi-lagi diikuti suara tawa renyah menyenangkan. 

Sayang, sunset telah nampak di sebelah selatan Pantai Lamalaka. Tagar bersiap untuk pulang ke rumah meski sebenarnya masih banyak yang ingin didengar dari cerita hidupnya. Namun dari Hajah Capo didapat banyak petuah dan hikmah cerita yang bisa jadi panutan. Salah satunya kaya tak harus memiliki harta banyak. Tapi membuat orang senang, sabar dan tekun pasti akan kaya. []

Baca juga cerita Bantaeng lain:

Berita terkait
Kisah Tunanetra Aceh Penembus Batas Mimpi
Tunanetra di Aceh Barat Daya diberikan keterampilan memijat demi mengubah nasib, agar tidak lagi terjun di jalan menjadi pengemis.
Riani, Anak Buruh Sawit Makassar Lulus dengan IPK 3,99
Riani, mahasiswi yang berhasil lulus kuliah menggapai predikat cum laude dengan IPK 3,99. Putri buruh sawit di Makassar ini akan kuliah di Jepang.
Hari-hari Penjahit Sepatu di Madura
Seorang penjahit sepatu dan sandal di Pamekasan, Madura, sudah 20 tahun hidup berwirausaha, mengandalkan keterampilan dan bakat dari orang tua.
0
JARI 98 Perjuangkan Grasi untuk Ustadz Ruhiman ke Presiden Jokowi
Diskusi digelar sebagai ikhtiar menyikapi persoalan kasus hukum yang menimpa ustaz Ruhiman alias Maman.