Sleman - Seorang anak laki-laki menggiring bola di jalanan. Dua anak lelaki lain yang lebih kecil, berusaha merebut bola itu. Tapi keduanya tidak berhasil merebut bola. Anak lelaki pertama kemudian mengambil bola dengan tangannya. Lalu ketiganya tertawa bersama.
Hanya beberapa meter dari ketiganya, masih di jalan itu, beberapa anak lain yang lebih kecil, bermain engklek. Beberapa perempuan muda, juga ada di lokasi itu, menemani anak-anaknya bermain.
Di ujung jalan, di sebelah selatan, tanda larangan masuk, yang dipasang pada semacam portal, berdiri menutupi jalanan.
Jalanan yang digunakan sebagai arena bermain oleh anak-anak itu, terletak di RW 18 Kampung Leles, Desa Condongcatur, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Warga setempat sepakat menutup jalan setiap hari, mulai pukul 15.30 hingga 17.00 WIB, kecuali hari Selasa dan Kamis. Mereka merelakan ruas jalan tersebut dijadikan ruang bermain anak, untuk memenuhi hak anak-anaknya.
Seorang warga setempat, Atun, yang ditemui Jumat, 4 Oktober 2019, mengatakan warga rela melalui jalan lain setiap sore, agar anak-anak mereka bisa bermain dengan leluasa, bersama teman-teman sebayanya.
"Anak-anak sudah tahu jamnya bermain. Mereka yang menutup jalanan. Kalau ada orang dewasa masuk mengendarai sepeda motor, mereka akan menegur. Nanti kalau menjelang magrib, setelah selesai bermain, mereka juga yang membuka kembali portalnya," kata Atun.
Anak-anak sudah tahu jamnya bermain. Mereka yang menutup jalanan.
Jalanan di Kampung Leles, Condongcatur, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, ditutup setiap pukul 15.30 hingga 17.00 untuk bermain anak. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)
Anak-anak itu, kata Atun, tidak akan ditemukan bermain di jalan itu pada hari Selasa dan Kamis, karena mereka, khususnya yang beragama Islam, ada di Masjid Baabul Jannah di kampung itu, untuk belajar mengaji di taman pendidikan Alquran (TPA). Sehingga jalanan itu tidak ditutup.
"Semua warga sudah paham itu dan sepakat," imbuhnya.
Dia menambahkan, warga kampung Leles, sudah memiliki satuan tugas (satgas) perlindungan perempuan dan anak (PPA). Sekretariatnya berada di pinggir jalan itu, tepatnya di depan lapangan voli.
Semakin sore, semakin banyak pula anak-anak yang bermain di ruas jalan itu. Sebagian bermain di lapangan voli Kampung Leles, yang dilengkapi dengan beragam alat permainan. Mulai dari ayunan hingga egrang.
Matahari sore yang beranjak pulang, masih memancarkan sinarnya yang hangat. Sehangat tawa dan canda anak-anak di tempat itu. Cahayanya sesekali mengintip dari sela daun pepohonan yang bergoyang tertiup angin.
Cahayanya berpendar oranye, menyinari anak-anak yang bermain. Sebagian anak laki-laki yang bermain bola, tampak berkeringat. Meski demikian, wajah-wajah mereka menunjukkan ekspresi gembira.
Dua anak perempuan, juga terlihat asyik bermain di dalam ayunan putar, berbentuk lingkaran. Anak perempuan yang lebih besar, berbaring di tengah lingkaran. Sementara yang kecil, duduk. Dia tampak tersenyum kecut, menahan takut, saat temannya memutar ayunan itu.
Tiga anak laki-laki yang tadi bermain bola, sudah berpindah tempat ke lapangan voli. Mereka mengganti permainannya dengan egrang.
Ketiganya dengan lincah berjalan menggunakan egrang. Salah satu di antaranya, bahkan menendang bola dengan bagian bawah egrangnya.
Beberapa balita yang ditemani ibunya, juga mulai muncul di tempat itu. Sebagian mereka bermain sambil disuap oleh ibunya.
Kalau ada orang dewasa masuk mengendarai sepeda motor, mereka akan menegur.
Tiga anak warga Kampung Leles, Condongcatur, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, bermain egrang di lapangan voli Kampung Leles, Jumat, 4 Oktober 2019. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)
Empat Hak Dasar Anak
Sekretaris Satgas PPA Kampung Leles, Indrayani Sutriharyanti, yang ditemui di sekretariat Satgas PPA Kampung Leles, mengatakan, sebagian besar warga sudah mulai paham dengan empat hak dasar anak, yakni hak hidup, hak berkembang, hak perlindungan, dan hak partisipatif.
Adanya kesadaran itu, sangat mendukung program-program perlindungan perempuan dan anak di kampung ramah anak tersebut.
"Hak hidup itu, anak-anak kan dilahirkan. Sejak dari kandungan sampai dewasa harus dijamin kesehatan yang prima. Sejak dalam kandungan juga diperiksakan. Setelah lahir, diberikan nama, diberikan akta kelahiran, itu adalah hak hidup," tuturnya.
Selain memenuhi hak hidup anak, warga juga terus memaksimalkan memenuhi hak tumbuh kembang anak serta hak mendapatkan perlindungan, sesuai usia anak.
Termasuk hak untuk bermain sesuai dengan kemauan anak dan usia anak. Serta, menjaga anak dari pengaruh negatif gawai, juga perlindungan dari orang yang hendak berbuat jahat atau lainnya.
Untuk memenuhi hak partisipatif, anak diberikan kesempatan untuk memberikan pendapat. Misalnya, dalam bermain dan memilih kegiatan.
"Pemenuhan hak anak dalam mengembangkan budayanya, kami berikan arena bermain anak," kata Indrayani.
Pembatasan Penggunaan Gawai
Di kampung Leles, warga sepakat membatasi penggunaan gawai pada anak di bawah usia 18 tahun. Mereka juga tidak diperbolehkan mengendarai sepeda motor.
Kata Indrayani, kesepakatan warga tersebut berawal dari banyaknya keluhan orang tua, yang anaknya kecanduan gawai.
Tapi, untuk membatasi penggunaan gawai pada anak-anak, bukan hal yang mudah. Karena, anak-anak membutuhkan kegiatan lain sebagai pengganti penggunaan gawai untuk permainan.
Warga kemudian sepakat membuka arena bermain untuk anak-anaknya, yakni di lapangan voli dan ruas jalan tersebut, yang dilengkapi dengan beragam alat permainan.
"Nah, untuk membatasi anak tidak menggunakan gadget, harus disediakan hal lain untuk menyalurkan itu, jadi kita bukalah arena bermain ini, agar anak-anak bisa bermain dengan teman seusianya, bermain dengan dunia nyata, tidak hanya dunia maya," ujarnya.
Dia menjelaskan, warga bukan melarang anak-anak itu bermain gawai, mengingat gawai juga memiliki nilai positif, apalagi, saat ini tugas sekolah untuk siswa SMP pun sudah dilakukan dengan sistem dalam jaringan (daring) atau online.
Untuk menyukseskan program yang merupakan kesepakatan warga, Satgas PPA Kampung Leles membuat jadwal piket. Para satgas akan mengawasi dan menjaga anak-anak itu bermain.
Para satgas itu, juga melakukan inspeksi mendadak (sidak) ke rumah-rumah warga, saat jam belajar, yakni mulai pukul 19.00 hingga 21.00 WIB, untuk memastikan bahwa warga menjalankan hal-hal yang telah disepakati.
Untuk membatasi anak menggunakan gadget, kita buka taman bermain.
Dua orang anak bermain ayunan putar di lapangan voli kampung Leles, Condongcatur, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, Jumat, 4 Oktober 2019. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)
"Saat belajar itu, tidak ada orang tua maupun anak yang menggunakan gadget. Kami dari satgas ini sidak, Mas. Keliling ke rumah-rumah, untuk bisa membuktikan bahwa kesepakatan itu kita jalankan bareng-bareng. Alhamdulilah, tanggapan dari warga itu positif," tuturnya.
Menurut dia, tidak ada warga yang keberatan saat dilakukan sidak. Bahkan mereka justru senang, karena mereka bisa berbagi pengalaman dalam membatasi penggunaan gawai oleh anak.
Kesadaran warga bukan hanya untuk mendidik dan melindungi anak sendiri. Mereka juga akan menegur, jika menemukan ada anak yang masih berada di luar rumah saat jam belajar.
Hal itu merupakan hasil dari sosialisasi yang gencar dilakukan, serta jargon yang dimiliki, yakni 'Bersama Lindungi Anak, Semua Anak Adalah Anak Kita', dan sistem yang digunakan oleh warga, berupa Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM).
Kata dia, itu membuat warga menyadari, bahwa perlindungan anak itu jadi tanggung jawab bersama, bukan hanya dari pengurus satgas atau RT/RW, atau orang tua si anak saja, tapi semua warga.
"Jadi, masyarakat ya peduli. Kalau ada anak yang sliweran (keluyuran) saat jam belajar, ya ditegur," ujarnya.
Namun, kata Indrayani, pihaknya juga membuka diri untuk warga yang merasa tidak enak untuk menegur. Warga boleh menghubungi satgas, agar satgas yang menegur.
"Tapi kalau kami, satgas, yang mengingatkan atau menegur, bukan dilihat sebagai pribadi tapi satgas. Nanti kita akan peringatkan dan antar anaknya, kenapa tidak mau belajar, misalnya," imbuh Indrayani.
Kalau ada anak yang sliweran (keluyuran) saat jam belajar, ya ditegur.
Indrayani, Sekretaris Satgas Perlindungan Perempuan dan Anak, Kampung Leles, Condongcatur, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)
Edukasi Perlindungan Anak
Hal lain yang dilakukan oleh Satgas PPA bersama warga adalah mengedukasi anak untuk menjaga diri sendiri. Termasuk sosialisasi tentang bagian tubuh yang tidak boleh disentuh orang lain.
Sosialisasi yang dilakukan menggunakan beragam cara. Mulai dari sosialisasi lisan saat pertemuan warga, hingga pembagian pamflet dan stiker dari rumah ke rumah, serta pementasan fragmen agar anak-anak lebih bisa memahami.
"Jadi kalau dipegang mulutnya, bagian dada, bagian pantat, dan kemaluan, harus berteriak atau menendang dan berlari ke keramaian agar bisa ditolong. Untuk menjelaskan pada anak, ada juga lagunya 'Sentuhan boleh dan sentuhan tidak boleh'," tuturnya.
Sosialisasi dan edukasi juga dilanjutkan di tempat bermain, dengan mural dan gambar-gambar yang ada. Anak diingatkan tentang bagian-bagian tubuh yang tidak boleh disentuh oleh orang lain.
"Hal kecil itu ternyata anak-anak sudah paham. Jadi peran orang tua dan keluarga sangat penting di sini," tambah Indrayani.
Saat ditanya dukungan pemerintah setempat terhadap program warga, Indrayani dengan tegas mengatakan pemerintah sangat mendukung. Bahkan pemerintah siap membantu mereka melaksanakan program perlindungan anak dan perempuan tersebut.
Pemerintah Bentuk UPTD PPPA
Beberapa waktu sebelumnya, Sekretaris Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Pribudiarta Nur Sitepu, yang ditemui dalam kegiatan Rapat Koordinasi Unit Pelayanan Teknis Daerah (UPTD) Perlindungan Perempuan dan Anak, di Hotel Royal Ambarukmo, Senin, 30 September 2019, mengatakan, peran keluarga sangat penting dalam mencegah kekerasan perempuan dan anak.
"Pencegahan pertama adalah di dalam keluarga itu tadi. Kalau kita lihat keluarga itu adalah bentuk terkecil dari masyarakat, maka pencegahan yang dilakukan di lingkup keluarga, menurut kami jauh lebih efisien karena bagaimana bapak dan ibu mampu memberikan pengasuhan yang baik pada anak," ujar Sitepu.
Keluarga, kata dia, harus mampu membangun disiplin yang sifatnya positif, karena seringkali kekerasan itu didasari label disiplin dalam keluarga.
Sehingga, memberikan pahaman pada orang tua, tentang cara membangun disiplin yang sifatnya positif, sebagai bagian pendidikan dalam keluarga, menjadi skill yang sangat strategis.
Sejak beberapa waktu lalu, Kementerian PPPA, menurutnya, telah melakukan upaya pencegahan kekerasan terhadap anak dan perempuan, termasuk dengan membentuk Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat.
"Kita juga melakukan proses mainstream ke isu atau program yang ditangani oleh BKKBN, untuk juga misalnya masuk di program Kampung KB. Kita masukkan isu itu secara mainstream," tuturnya.
Hal lain yang harus dilakukan adalah mulai mempersiapkan lelaki dan perempuan, sebelum membangun keluarga. Salah satunya adalah revisi Undang-undang Perkawinan, pasal 6 Undang-undang nomor 174 tentang Perkawinan.
"Kemarin sudah kita revisi, sehingga perkawinan itu minimal 19 tahun. Itu menjadi penting, karena lelaki dan perempuan harus punya kesiapan, dari sisi biologisnya si perempuan, sedangkan buat laki-laki, dari sisi sosial psikologis dan sosial budaya," ujarnya.
Dia berharap, dengan adanya revisi itu, nantinya, saat membentuk keluarga, mereka sudah memiliki ketahanan itu, termasuk ketahanan ekonomi, sehingga kekerasan, dan lain-lain, bisa dieliminasi. []
Baca cerita lain: