Kemarau Paksa Warga Tegal Konsumsi Air Kotor

Walim, pria berusia 66 tahun itu mendorong gerobak bermuatan enam jeriken menuju Sungai Cacaban di Kabupaten Tegal, Jawa Tengah.
Warga di Desa Sigentong, Kecamatan Warureja, Kabupaten Tegal, mengambil air di sungai untuk mandi, mencuci, dan dikonsumsi. Mereka terpaksa menggunakan air yang kondisinya keruh dan kotor itu karena sumber air yang digunakan sehari-hari mengering akibat kemarau. (Foto: Tagar/Farid Firdaus)

Tegal - Pria berusia 66 tahun itu mendorong gerobak bermuatan enam jeriken menuju Sungai Cacaban yang berjarak 700 meter dari rumahnya di Desa Sigentong, Kecamatan Warureja, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah.

Walim namanya. Ia mengisi jeriken dengan air sungai yang kondisinya berwarna keruh dan kotor. Setiap jerikan berisi lima liter air. Setelah semua jeriken terisi, Walim membawanya pulang ke rumah.

Kesibukan baru itu dilakoni Walim sebulan belakangan ini karena air ‎yang bersumber dari Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat ‎(Pamsimas) tidak keluar pada musim kemarau. 

Air yang diambil dari sungai digunakan Walim untuk mandi, mencuci, dan juga dikonsumsi.

‎"Air untuk minum diendapkan terlebih dahulu semalam biar tidak keruh, setelah itu baru dimasak," kata Walim, Senin, 24 Juni 2019.

Kemarau di TegalWarga mengambil air keruh dari sungai, memasukkannya ke jeriken untuk kebutuhan di rumah. (Foto: Tagar/Farid Firdaus)

‎Walim tahu seharusnya air yang diambil dari sungai tidak dikonsumsi karena kondisinya keruh dan kotor. Namun ia terpaksa melakukannya karena sungai menjadi satu-satunya sumber air yang masih tersedia. 

"Tidak ada pilihan lain," tutur pria yang sehari-hari bekerja sebagai petani itu.

Selain untuk mandi, mencuci, dan konsumsi, air dari anak Sungai Cacaban juga digunakan petani setempat untuk mengairi sawah. 

Aliran sungai yang kondisi debitnya sudah menyusut itu terlebih dahulu dibendung baru kemudian dialirkan menggunakan pompa ke sawah yang berjarak sekitar 200 meter dari sungai.

"Hujan sudah satu bulan lebih tidak pernah turun lagi.‎ Padahal di sini semua sawah tadah hujan. Jadi harus cari sumber air lain untuk pengairan," kata Warja (52) seorang petani.

Kemarau di TegalMereka mengatakan tak ada pilihan lain selain menggunakan air keruh sungai itu. (Foto: Tagar/Farid Firdaus)

Menurut Warja, mesin pompa dioperasikan oleh para petani bersama-sama. Tiap petani ‎mengeluarkan iuran Rp 35.000 per orang per hari. "Kalau tidak pakai air sungai susah. Tidak ada air lagi," ucapnya.

Air untuk minum diendapkan terlebih dahulu semalam biar tidak keruh, setelah itu baru dimasak.

Beli Air Kemasan

Di Desa Semedo, Kecamatan Kedungbanteng, Kabupaten Tegal, warga harus membeli air dalam kemasan galon untuk memenuhi keperluan sehari-hari karena air sumur di rumah mereka kondisinya tidak layak dikonsumsi.‎ Sementara air dari Pamsimas lebih sering tak keluar sejak memasuki kemarau.

"Kami harus beli air galon untuk minum dan memasak,” kata seorang warga, Tanti (28), Senin, 24 Juni 2019.

Tanti mengaku setiap hari harus membeli air sedikitnya dua galon.‎ Satu galon dengan kapasitas 19 liter harganya berkisar Rp 10.000-20.000. 

Kemarau di TegalPetani di Desa Sigentong, Kecamatan Warureja, Kabupaten Tegal, dengan menggunakan mesin pompa mengalirkan air sungai ke sawah yang dilanda kekeringan. (Foto: Tagar/Farid Firdaus)

"Terpaksa harus beli karena air sumur asin. Kalau air dari Pamsimas juga kadang mati kadang hidup," katanya.

Sementara untuk keperluan mandi dan memasak, Tanti harus ke rumah mertuanya di Desa Jatibogor, Kecamatan Suradadi. Jarak Semedo ke Jatibogor sekitar tujuh kilometer.

"Kalau untuk mandi dan memasak, saya numpang di rumah mertua, di sana air masih ada dan bisa digunakan," ujarnya.

98.324 Jiwa Terdampak Kekeringan

Kepala Badan Penganggulanan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Tegal Tedjo Kisworo mengatakan, terdapat 98.324 jiwa dari 24.581 keluarga di empat kecamatan yang diperkirakan akan terdampak kekeringan pada musim kemarau pada tahun ini. Empat kecamatan itu yakni Suradadi, Warureja, Kedungbanteng dan Jatinegara.‎

Kemarau di TegalWarga Desa Semedo, Kecamatan Kedungbanteng, Kabupaten Tegal mengambil air dari sumur di rumah mereka. Kondisi air sumur tersebut tidak layak konsumsi sehingga warga harus membeli air kemasan untuk keperluan sehari-hari. (Foto: Tagar/Farid Firdaus)

Menurutnya, jumlah wilayah yang terdampak kekeringan tersebut masih mungkin bertambah. 

"Saat ini dampak kekeringan memang sudah mulai dirasakan warga di beberapa kecamatan," kata Tedjo saat dihubungi, Senin, 24 Juni 2019.

‎Tedjo memperkirakan kemarau akan terjadi hingga September mendatang dengan puncaknya terjadi pada Agustus. Untuk mengantisipasinya, anggaran sebesar Rp 50 juta disiapkan.

"Anggaran ‎itu untuk dropping bantuan air bersih bagi warga di desa-desa yang mengalami kekeringan. Kami juga kerja sama dengan instansi lain kalau misalnya perlu tambahan bantuan," terang Tedjo.

‎Ia mengungkapkan selama bulan Juni sudah ada dua desa yang meminta bantuan air bersih yakni Desa Kertayasa, Kecamatan Kramat dan Desa Kertasari, Kecamatan Suradadi. Di kedua desa, sudah disalurkan bantuan air bersih masing-masing 5.000 liter.

‎"Saya sudah mengimbau semua camat dan lurah untuk segera mengajukan bantuan air bersih jika wilayahnya kekeringan. Sehingga, bantuan air bersih untuk warga bisa langsung dikirim. Tidak harus lewat surat resmi, telepon atau WhatsApp saja cukup," kata Tedjo. []

Tulisan feature lain:

Berita terkait
0
Aung San Suu Kyi Dipindahkan ke Penjara di Naypyitaw
Kasus pengadilan Suu Kyi yang sedang berlangsung akan dilakukan di sebuah fasilitas baru yang dibangun di kompleks penjara