Kulon Progo - Kekeringan air bersih di Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta, semakin meluas akibat terpaan kemarau berkepanjangan. Utamanya daerah yang terdampak paling parah berada di sisi utara Kulon Progo.
Tidak hanya pada warga, sekolah yang berada di wilayah pegunungan di Kulon Progo juga merasakan dampak dari kekeringan krisis air bersih.
Salah satu sekolah yang paling parah terdampak kekeringan adalah SD Negeri Jatiroto di Desa Purwosari, Kecamatan Girimulyo, Kulon Progo.
Karyawan SD Negeri Jatiroto Sutikno mengatakan persediaan air sempat habis sejak 27 September-30 September 2019 kemarin.
"Nek entek karek wadahe mas (kalau habis hanya tinggal wadahnya saja)," ujar Sutikno kepada Tagar di Kulon Progo, Selasa, 1 Oktober 2019.
Pihak sekolah, kata dia, kebingungan dengan kondisi air yang benar-benar habis, karena hingga kini belum menemukan solusi atas kondisi kekeringan di sana.
Imbasnya, kegiatan di sekolah pun dibatasi, hanya sekadar belajar tanpa melakukan salat berjamaah.
"Salat berjamaah ditiadakan dan siswa beribadah di rumah masing-masing," ujar Sutikno.
Pihak sekolah, lanjutnya, sudah mengajukan permintaan air bersih ke sejumlah pihak seperti Tagana Kulon Progo. Bahkan harus menanggung malu karena setiap kali kehabisan air bersih selalu meminta bala bantuan.
Namun, demi kelangsungan kegiatan di sekolah, maka rasa malu, menurut Sutikno, harus dikesampingkan.
"Cara lain untuk memperoleh air adalah dengan mengambil air di sungai," kata dia.
Selain itu, cara lain yang bisa dilakukan untuk mendapatkan air dengan mengambil di sungai Dlingseng yang berjarak 1,5 kilometer dari sekolah. Pihak sekolah mampu mengambil 2.000 liter air dengan cara menimba dua kali.
"Itu tidak lama, paling beberapa hari sudah habis," ujarnya.
Warga Kulon Progo Terdampak Parah
Krisis air bersih selama musim kemarau juga dialami masyarakat di Dusun Plampang II, Desa Kalirejo, Kecamatan Kokap yang hanya mengandalkan air dari belik (mata air).
Belik dengan bentuk lubang hingga 10 meter yang digali di sekitaran sungai saat ini sudah mulai mengering. Dari lubang ini, warga mendapatkan air untuk memenuhi kebutuhan harian. Namun, jika debit air dari belik menipis bahkan mengering, warga akan membuat belik baru.
Selain belik, warga juga biasa menampung air di toren. Karena hujan tidak kunjung turun dalam beberapa bulan terakhir ini, air ditoren pun kosong. Akhirnya warga memilih mengambil dari sumber mata air yang jaraknya lebih dari 2 kilometer dari permukiman.
Salah satu warga yang rela blusukan menimba air adalah Karmi. Pria berusia 60 tahun ini harus berjalan kaki naik turun gunung untuk mendapatkan air.
"Dalam sehari mungkin hanya satu sampai dua jeriken, yang bergantung antrean di mata air," ujar dia.
Karmi memandang, kemarau tahun ini waktunya lebih panjang ketimbang tahun-tahun sebelumnya.
Menurut dia, akibat krisis air yang melanda Dusun Plampang II sejak enam bulan ini. Total ada 19 kepala keluarga di dusun ini yang kesulitan mendapat air bersih.
Sebenarnya, kata Karmi, sudah ada bantuan air bersih dari pemerintah dan swasta. Namun hal tersebut tidak menyelesaikan masalah.
"Warga berharap Pemerintah Kabupaten Kulon Progo membantu agar Dusun Plampang II bisa segera teraliri air bersih, baik melalui pipa PDAM atau sumur bor untuk Pamsimas," ujarnya. []