Kasus Reynhard Sinaga dan Pers Kita

Demi pengusutan kasus, Pengadilan memerintahkan media tidak memberitakan kasus Reynhard. Bagaimana dengan Indonesia. Opini Lestantya R. Baskoro
Reynhard Sinaga. (Foto: Facebook/Reynhard Sinaga)

Oleh: Lestantya R. Baskoro

SALAH satu yang mungkin harus kita puji atas kasus Reynhard Sinaga adalah sikap pers Inggris yang sama sekali tak memberitakan perkara itu -hingga pengadilan kemudian mengizinkannya.

Pengadilan Manchester, Inggris, memang mengeluarkan larangan media untuk memberitakan perkara Reynhard setelah kasusnya masuk pengadilan pada 2017. Pertimbangan hakim adalah agar juri bisa memutus perkara ini seadil-adilnya, menelusuri dan membongkar perkara ini seterang-terangnya, sekaligus melindungi para korban.

Tentu tidak mudah membongkar kejahatan seperti ini: perkosaan yang menimbulkan berbagai dampak, terutama psikhologis pada korban; dilakukan seorang terdidik yang cerdas dalam mengemas perbuatannya -mengajak baik-baik korban, memperkosa saat korban yang dibuat “mati” hingga delapan jam- dan menyiapkan sejumlah alibi setelah korban tersadar. Sebuah “Teknik” pendekatan untuk kejahatan yang sangat halus, date rape.

Para aparat hukum perlu waktu untuk menelusuri siapa korbannya, dan terutama membujuk mereka bersedia datang ke pengadilan dan memberi kesaksian -yang sejumlah di antaranya menyatakan depresi dan berniat bunuh diri setelah mengetahui mereka korban perkosaan.

Pengadilan Manchester, yang paham kasus ini pasti menggemparkan, segera mengambil tindakan: memerintahkan media tidak memberitakan sama sekali perkara ini, sampai hakim mencabut larangan itu, pada 1 Januari lalu, pada hari yang sama dengan hakim memvonis Reynhard Sinaga, mahasiswa asal Indonesia, 36 tahun itu, hukuman penjara 30 tahun.

Baru setelah itu publik gempar. Pemberitaan media Inggris langsung “ingar bingar.” Tidak hanya menyanyikan wajah Reynhard yang manis sebagai cover juga “menghajarnya” dengan serangkain diksi dan judul yang menyeramkan: Monster Seks Dipenjara; Berapa Banyak Lagi Korbannya? dll.

Kita tidak bisa membayangkan apa terjadi jika Pengadilan tidak memerintahkan media tak mengutak-utik perkara pelecehan seks yang disebut terbesar dalam sejarah di Inggris ini. Dengan pers Inggris yang demikian bebas itu -yang membuat Pangeran Harry trauma dan memilih mundur dari “keluarga kerajaan” karena sang istri selalu menjadi bulan-bulanan- pers di sana bisa menelusuri segala sepak terjang Reynhard. Dan ini berbahaya untuk sebuah penyelidikan tindak perkosaaan yang, di mana pun, selalu rumit pembuktiannya. Pers Inggris, yang juga memiliki aturan tidak memberitakan identitas korban kejahatan kesusilaan, mematuhi perintah hakim.

Pers memiliki tanggung jawab menegakkan hukum. UU Pers kita pun, UU No. 40/1999, dalam Pasal 6 menyatakan pers Indonesia memiliki peranan, “Menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum dan HAM serta menghormati kebhinekaan.

Kode Etik Jurnalistik juga menegaskan kewajiban pers dalam menegakkan hukum, misalnya, dilarang menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan kesusilaan dan tidak menyebut identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan. Ketentuan ini juga kemudian ditegaskan Dewan Pers melalui Peraturan No. 1/2019 tentang Pedoman Pemberitaan Ramah Anak.

Publik Indonesia juga pernah dihebohkan dengan kasus kejahatan seksual yang tak kalah seram dengan kasus Reynhard: kasus Baekuni alias Babe dan Siswanto alias Robot Gedek. Babe diseret ke pengadilan pada 1993 dengan dakwaan melakukan sodomi terhadap 14 anak jalanan yang empat diantaranya ia mutilasi. Demikian juga Robot Gedek, melakukan hal sama seperti Babe, terhadap 12 anak jalanan pada 2007 yang juga kemudian ia bunuh dan mutilasi. Sejak Babe dan Robot Gedek ditangkap, sejak itu pers kita mengulas habis-habisan keduanya -juga korban-korbannya. Tentu kita tak bisa menyalahkan wartawan karena aparat hukum, hakim, juga tak memberi larangan untuk itu. Ini berbeda dengan media Inggris yang dalam kasus semacam ini aparat hukumnya tak memberi secuil pun identitas korban kepada wartawan dan media sama sekali tak boleh mengungkapkan.

Belajar dari kasus Reynhard, pers memang sebaiknya sama sekali tidak memberitakan, mengejar, siapa korban kejahatan susila. Lebih jauh dari itu, bahkan aparat hukum bisa bekerja sama dengan Dewan Pers untuk meminta media untuk sementara tidak memberitakan kasus kejahatan seksual yang tengah diusut jika kasus ini dinilai sangat besar dan pemberitaan berpotensi mengganggu penyelidikan dan persidangan. Ini, mungkin belum terjadi di Indonesia. Tapi, siapa tahu, kelak permintaan itu diperlukan demi penegakkan hukum, demi pengusutan tuntas sebuah kasus kejahatan susila. []

Penulis: pengamat hukum

Berita terkait
Korban Perkosaan Reynhard Sinaga Alami Trauma Ganda
Korban pemerkosaan Reynhard Sinaga mengalami trauma ganda akibat kejahatan seksual yang menimpanya.
Reynhard Sinaga dalam Perbincangan Netizen Indonesia
Perspektif beragam netizen Indonesia di Facebook tentang Reynhard Sinaga, mahasiswa S3 di Manchester, pemerkosa 190 pria Inggris.
Istana: Reynhard Sinaga Mencoreng Wajah Indonesia
Pihak Istana buka suara menyikapi kasus Warga Negara Indonesia (WNI), bernama Reynhard Sinaga yang terbukti memperkosa ratusan pria di Inggris.
0
Pandemi dan Krisis Iklim Tingkatkan Buruh Anak di Dunia
Bencana alam, kelangkaan pangan dan perang memaksa jutaan anak-anak di dunia meninggalkan sekolah untuk bekerja