Jika Benar, Guru Sejarah di Aceh Cemas Generasi Ahistoris

Meyakini Candi Borobudur itu dibuat oleh Nabi Sulaiman atau cocokologi nyeleneh lainnya.
Para peserta tapak tilas mencoba lawatan seputar peristiwa Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia di Aceh dimulai dari gedung PDIA menuju kebeberapa lokasi bersejarah seperti Gedung Baperis (Gedung Juang), Tugu Proklamasi Kemerdekaan, Hotel Aceh, Atjeh Bioskop (Garuda Theater), Lapangan Blang Padang dan Lapangan Terbang Lhoknga, Sabtu 24 Agustus 2019. (Foto: Tagar/Fahzian Aldevan)

Aceh - Sejak beredarnya dokumen digital dengan sampul Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Pusat Kurikulum dan Perbukuan. Berjudul, Sosialisasi Penyederhanaan Kurikulum dan Asesmen Nasional, tertanggal 25 Agustus 2020 lalu, banyak menyulut berbagai reaksi dari masyarakat dari penjuru pelosok negeri, termasuk Aceh.

Sebab, ada disebutkan salah satu bentuk penyederhanaan itu adalah rencana penghapusan mata pelajaran sejarah bagi siswa-siswi Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), serta menjadikannya hanya sebagai mata pelajaran pilihan bagi siswa-siswi Sekolah Menegah Atas (SMA).

Penolakan wacana Kemendikbud itu datang dari salah satu guru Sekolah Menengah Umum Negeri di Takengon, Kabupaten Aceh Tengah, Aceh, Nanda Winar Sagita. Ia mengaku tidak akan pernah mendukung jika mata pelajaran sejarah itu dihapus di sekolah maupun sebagai mata pelajaran pilihan.

Misalnya meyakini Candi Borobudur itu dibuat oleh nabi Sulaiman atau cocokologi nyeleneh lainnya.

Sebab, menurutnya hal itu tentu melanggar salah satu aturan terpenting dalam bernegara, yaitu untuk mengetahui peristiwa-peristiwa penting yang melatarbelakangi lahirnya sebuah bangsa.

Selain itu, penghapusan tersebut juga membuka peluang bagi peserta didik untuk mempercayai hal-hal yang bersifat Ahistoris. "Misalnya meyakini Candi Borobudur itu dibuat oleh nabi Sulaiman atau cocokologi nyeleneh lainnya," kata Nanda kepada Tagar belum lama ini.

Penolakan lainnya juga disampaikan seorang guru sejarah di Banda Aceh, Widia Munira. Menurutnya, jika wacana Kemendikbud itu nantinya benar - benar terealisasi, maka hal itu akan melahirkan generasi bangsa yang amnesia.

"Sah lah penerus bangsa dibuat amnesia, dan yang membuat keputusan itupun akan menjadi catatan sejarah yang paling penting yang pernah ada di negeri ini," kata Widia.

Menurutnya, perubahan kurikulum mestinya harus melihat keseluruhan wilayah, apalagi yang menyangkut dengan sejarah. Karena menurut Widia sejarah merupakan sebuah identitas. Sehingga jika ingin memutuskan sesuatu, harus memang dilihat secara keseluruhan, jangan setengah-setengah. "Dan apa jadinya jika sebuah identitas sampai dihilangkan. Sudah tentu akan menjadi sebuah olok-olokan besar," katanya.

Terkait dengan guru sejarah di Aceh tidak penting, Widia menyebut itu adalah hal yang konyol dan buta literasi. Sebab, untuk saat ini literasi sangat harus diutamakan dalam proses pembelajaran, karena sejarah menjadi tonggak utama dalam meningkatkan literasi.

Selain itu, kata dia, Indonesia merupakan salah satu negara terendah literasi. Jadi, jika mata pelajaran sejarah benar-benar akan dihilangkan, maka sudah pasti literasi penerus bangsa nantinya lupa. "Sebenarnya yang harus diingat sebagai guru atau pendidik adalah, sudah sejauh mana mengupgrade diri untuk stop menjadikan mata pelajaran sejarah hanya sebatas ajang penghafalan angka lampau?" ujarnya.

Untuk itu, kata Widia, mulailah untuk memahami sejarah sebagai rasional dan faktual yang harus kita transfer ke siswa agar pencapaian dari suatu ilmu bukan hanya sekedar nilai tapi berbagai proses untuk mencapai tujuan pembelajaran.

Hal senada juga disampaikan guru sejarah di salah satu SMU Negeri di Kabupaten Aceh Tamiang, Gusmawan Amir. Menurutnya, penghapusan mata pelajaran sejarah dari kurikulum wajib merupakan bentuk pendangkalan terhadap regenerasi penerus bangsa, dan dapat membahayakan mereka akibat tidak mengetahui sejarah dan latarbelakang bangsa.

Sah lah penerus bangsa dibuat amnesia, dan yang membuat keputusan itupun akan menjadi catatan sejarah yang paling penting yang pernah ada di negeri ini.

"Kebijakan tersebut secara tidak langsung dapat mengikis rasa nasionalisme. Yang dengan sendirinya estafed kehidupan berbangsa dan bernegara akan terhenti," ujarnya.

Gusmawan mengisahkan, saat ini masih banyak generasi muda yang minim pengetahuannya terhadap sejarah bangsa. Sedangkan, saat ini mata pelajaran sejarah masih diajarkan di sekolah.

"Konon lagi mata pelajaran sejarah dihapus. Mau jadi apa generasi bangsa Indonesia ke depan," katanya.

Baca juga: 

Ia khawatir, jika mata pelajaran sejarah sampai benar-benar dihapus di sekolah, para pelajar tidak tahu lagi tentang sejarah bangsa ini, misalnya tentang siapa tokoh pendiri bangsa ini, yang harusnya menjadi contoh teladan bagi generasi muda.

Tapak TilasIlustrasi - Para peserta tapak tilas mencoba lawatan seputar peristiwa Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia di Aceh dimulai dari gedung PDIA menuju kebeberapa lokasi bersejarah seperti Gedung Baperis (Gedung Juang), Tugu Proklamasi Kemerdekaan, Hotel Aceh, Atjeh Bioskop (Garuda Theater), Lapangan Blang Padang dan Lapangan Terbang Lhoknga, Sabtu 24 Agustus 2019. (Foto: Tagar/Fahzian Aldevan)

Maka dengan begitu, Gusmawan mengatakan sudah merupakan hal wajar jika dirinya dan beberapa pihak lainnya merasa khawatir dan menolak serta menentang apabila ada pihak yang mencoba menghapus mata pelajaran sejarah di setiap sekolah.

"Hal itu bisa saja ada upaya segelintir kelompok yang mencoba untuk mengikis idologi bangsa ini yang pada umumnya di pelajari di dalam sejarah, dengan begitu kebijakan ini juga dapat mengancam ideolgi bangsa kita yang sudah final, yaitu Pancasila," ujarnya.

Baca juga:

Sedikit berbeda sudut pandang dengan guru sejarah di Aceh Tamiang lainnya, Hadrial. Ia menilai Kemendikbud tidak akan berani untuk menghapuskan pelajaran sejarah dari mata pelajaran wajib.

"Di negara-negara maju, sejarah menjadi mata pelajaran wajib. Dan mereka menerapkan itu. Saya pikir, Kemendikbud tidak akan berani mengambil keputusan menghilangkan sejarah dari mata pelajaran wajib di sekolah," katanya.

Namun, jika untuk mengurangi jumlah jam pembelajaran sejarah kemungkinan bisa saja terjadi, dan Hadrial mengaku setuju jika itu yang akan dilakukan. Sebab, saat ini mata pelajaran sejarah untuk tingkat SMU sederajat ada dua, yakni sejarah Indonesia dan sejarah.

"Untuk jumlah jam tatap muka per minggu mata pelajar sejarah Indonesia sebanyak 2 jam, sedangkan mata pelajaran sejarah 3 jam per minggu, bahkan ada yang 4 jam per minggu," katanya.

Jadi, kata dia, kalau pengurangan jumlah jam dari jumlah sebelumnya itu dilakukan, Hadrial sangat mendukung, apa lagi penggabungan dua mata pelajaran itu menjadi satu.

"Yang pastinya, hal mustahil jika Kemendikbud berani hapuskan sejarah. Dan mereka tidak akan pernah berani," ujarnya.

Proklamasi AcehIlustrasi - Peserta tapak tilas beristirahat disamping Teks monument pesawat Replika RI 001 yang masih dirawat dilapangan Blang Padang, Banda Aceh. (Foto: Tagar/Fahzian Aldevan)

Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) cabang Provinsi Aceh beberapa waktu yang lalu juga menyatakan sikap secara tertulis, tepatnya pada Minggu, 20 September 2020. Mereka menolak wacana penyederhanaan kurikulum oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang akan menghapus mata pelajaran sejarah Indonesia sebagai mata pelajaran wajib dalam draft sosialisasi kurikulum SMA/SMK/MA.

MSI menganggap, pelajaran sejarah mempunyai arti penting untuk pembentukan identitas dan karakter bangsa dalam merawat integrasi bangsa dan persatuan nasional.

Selain itu, MSI menilai, mata pelajaran sejarah Indonesia berperan penting dalam memberikan arah dan inspirasi bagi penyelesaian masalah kebangsaan, memberikan rujukan nyata dan teladan bagi generasi muda.

"Juga meningkatkan apresiasi terhadap karya pendahulu, dan juga memberikan perspektif dan ukuran untuk menilai perjalanan bangsa," tulis MSI dalam pernyataan itu yang diterima Tagar, Selasa, 22 September 2020.

Sebab, menurut MSI, mata pelajaran sejarah Indonesia telah menjadi mata pelajaran wajib sejak Indonesia merdeka sampai sekarang.

Untuk itu, Masyarakat Sejarawan Indonesia Provinsi Aceh, mendukung sepenuhnya keputusan pengurus pusat Masyarakat Sejarawan Indonesia dalam menanggapi isu penghapusan pelajaran sejarah di Sekolah Menengah, dan menyatakan sikap menolak rencana penghapusan mata pelajaran sejarah Indonesia sebagai mata pelajaran wajib dalam kurikulum SMA/SMK/MA.

Selain itu, MSI juga meminta agar pelajaran sejarah Indonesia harus dipertahankan sebagai pelajaran wajib di sekolah, karena merupakan instrumen strategis untuk membentuk identitas dan karakter siswa untuk merawat integrasi bangsa dan persatuan nasional.

Selanjutnya, meminta agar setiap siswa di setiap jenjang pendidikan, baik yang bersifat umum maupun kejuruan, mendapatkan pendidikan sejarah Indonesia dengan kualitas yang sama.

Kemudian, MSI meminta kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI jika ingin melakukan penyederhanaan kurikulum hendaknya dilakukan dengan orientasi peningkatan kualitas pembelajaran dan disertai dengan peningkatan kompetensi guru.

Baca juga:

MSI Aceh Tolak Mapel Sejarah Dihapuskan dari Kurikulum Wajib

Sebelumnya, muncul petisi daring (online) yang mengusung isu soal mata pelajaran sejarah untuk SMA dan sederajat. Petisi di change.org atas nama Asosiasi Guru Sejarah Indonesia (AGSI) berjudul 'Kembalikan posisi mata pelajaran sejarah sebagai mata pelajaran wajib bagi seluruh anak bangsa'.

Petisi muncul saat beredarnya dokumen digital dengan sampul Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Pusat Kurikulum dan Perbukuan. Berjudul, ''Sosialisasi Penyederhanaan Kurikulum dan Asesmen Nasional", dalam dokumen tertulis tanggal 25 Agustus 2020 lalu. Dan sejak itulah muncul reaksi dari berbagi kalangan masyarakat Indonesia, dari masyarakat biasa hingga elit politik. []

Berita terkait
Pembangunan Hotel Dekat Makam Sejarah Aceh Berlanjut
Peusaba Aceh mempertanyakan komitmen Pemerintah Kota (Pemko) Banda Aceh yang sebelumnya berjanji akan menjaga situs makam sejarah .
Melihat Koleksi Sejarah Islam di Aceh Lewat Pameran
Nuansa sejarah sangat terasa di ruang sebuah bangunan di Jalan Sultan Alaidin Mahmudsyah, Kota Banda Aceh, Aceh.
MSI Aceh Berkomitmen Merawat Sejarah Aceh
Masyarakat Sejarah Indonesia (MSI) Cabang Aceh berkomitmen untuk merawat sejarah di provinsi yang berjuluk Serambi Mekkah.
0
Hasil Pertemuan AHY dan Surya Paloh di Nasdem Tower
AHY atau Agus Harimurti Yudhoyono mengaku sudah tiga kali ke Nasdem Tower kantor Surya Paloh. Kesepakatan apa dicapai di pertemuan ketiga mereka.