Jaksa Agung Janji Jokowi

Janji Presiden Jokowi akan mengangkat jaksa agung dalam kabinet barunya mendatang bukan dari partai politik. Tulisan opini Lestantya R. Baskoro.
Presiden Jokowi bertepuk tangan saat memimpin upacara penurunan bendera Merah Putih dalam rangka HUT ke-74 Kemerdekaan RI di Istana Merdeka, Jakarta, Sabtu (17/8/2019). (Foto: Antara/Wahyu Putro A)

Oleh: Lestantya R. Baskoro*

Janji Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan mengangkat jaksa agung dalam kabinet barunya mendatang bukan dari partai politik, walau terlambat, tetap harus kita sambut gembira. Bagaimana pun ini kesempatan terakhir Jokowi memperbaiki kinerja penegakan hukum yang selama pemerintahannya bisa disebut "jalan di tempat".

Selama ini Jaksa Agung M. Prasetyo menjadi sorotan karena dinilai tidak menunjukkan prestasi dalam memimpin lembaganya. Sejumlah lembaga antikorupsi, antara lain Indonesia Corruption Watch (ICW), bahkan berkali-kali menunjuk dan mendesak Presiden mengganti Jaksa Agung. Setiap isu reshuffle kabinet, posisi Jaksa Agung menjadi sorotan dan dinilai salah satu yang harus "dicoret". Tapi, presiden rupanya tutup telinga atas usul ini.

Jika publik berharap ada pergantian, itu karena kinerja kejaksaan yang dianggap -lagi-lagi- jauh tertinggal dibanding Komisi Pemberantasan Korupsi. Kejaksaan, dengan sumber daya SDM yang besar -yang diharapkan galak dan tajam dalam mengusut kasus korupsi- ternyata tumpul. Publik tetap melihat ternyata KPK-lah yang memang pantas diharapkan sebagai lembaga pemberantas korupsi. Publik tak melihat ada kasus-kasus korupsi kakap yang dibongkar kejaksaan.

Sebagai jaksa agung berlatar belakang dari Partai NasDem, penunjukan Prasetyo sebagai jaksa agung tentu tak lepas dari "balas budi" Jokowi atas dukungan NasDem yang mengantarnya ke kursi Presiden pada 2014. Ini hal wajar dalam penyusunan sebuah kabinet di mana Presiden "membagi-bagi kursi menteri" untuk partai pendukung -kendati sebenarnya tak aturan baku dalam sebuah sistem ketatanegaraan. Hal sama dilakukan Jokowi untuk kursi Menteri Kehakiman dan HAM yang diberikan kepada PDIP yang kemudian menunjuk Yasonna Laoly mendudukinya.

Presiden Jokowi harus memilih jaksa agung yang memiliki dua syarat itu. Jika tidak, maka, kelak ia akan dikenang sebagai presiden yang sukses dalam membangun infrastuktur tapi tidak dalam penegakan hukum.

Seperti Jaksa Agung, kinerja Menteri Kehakiman dan HAM pun terbilang tak moncer. Publik melihat, misalnya, sejumlah narapidana kasus korupsi kakap, yang menjadi tanggung jawab Kementerian Kehakiman, ternyata bisa keluar penjara dan jalan-jalan di ruang publik. Yasonna juga gagal mengawasi sel para terpidana korupsi yang ternyata memiliki fasilitas yang terbilang mewah untuk ukuran penjara –yang tentu itu dibangun dengan menyuap kepala penjara dan sipir.

Untuk Kejaksaan yang paling "mengerikan" adalah isu ditekannya sejumlah kepala daerah yang bermasalah untuk pindah menjadi kader Partai NasDem jika mereka tak ingin menjadi tersangka. Penekanan, yang ujung dari semua ini adalah "menjadi sumber pendanaan parpol", memang dibantah kejaksaan. Namun, isu ini sudah meluas, apalagi memang terdapat sejumlah kepala daerah yang pindah ke Partai NasDem.

Selama hampir lima tahun kecurigaan yang tentu saja merugikan kejaksaan, dan Presiden Jokowi, tak teratasi. Padahal, sudah demikian banyak masukan untuk presiden. Publik melihat Presiden seperti "tersandera" NasDem, tersandera Surya Paloh, bos besar NasDem yang memang harus diakui, bersama Metro TV-nya, berjasa memenangkan Jokowi pada pemilihan presiden lima tahun silam.

Pernyataan Presiden pekan lalu di Istana bahwa "jaksa agung pasti bukan dari parpol", sesungguhnya menyiratkan Jokowi mengerti bahwa jaksa agung berlatar belakang parpol -seperti sekarang ini- tidak elok. Artinya, bermasalah, membawa masalah.

Undang-Undang Kejaksaan –UU No. 16/2004- tidak mengatur jaksa agung harus berasal dari internal kejaksaan –atau pernah menjadi jaksa. Sama seperti menteri kehakiman, pemilihan jaksa agung tak melewati DPR, melalui persetujuan "para wakil rakyat terhormat", yang dalam hal ini, lazimnya partai politik, kerap memiliki agenda kepentingan tersendiri. Presiden memiliki hak prerogatif untuk memilih jaksa agung dan menteri kehakiman. Yang diperlukan presiden: membuka telinga dan mata lebar-lebar untuk mendapat dan mencari masukan, siapa paling tepat menduduki dua jabatan itu.

Kita berharap Presiden Jokowi memilih jaksa agung yang tepat untuk "kabinet jilid II" –nya lima tahun mendatang. Jaksa agung yang benar-benar diharapkan publik, jaksa agung yang tak mementingkan apa pun kecuali penegakan hukum dan terciptanya aparatur pemerintahan yang bersih. Bukan jaksa agung yang melindungi bawahannya, saudaranya, anaknya, dan seterusnya. Untuk figur jaksa agung demikian, yang diperlukan hanya dua: memiliki integritas dan keberanian. Figur semacam ini, pasti ada di antara anak bangsa ini.

Presiden Jokowi harus memilih jaksa agung yang memiliki dua syarat itu. Jika tidak, maka, kelak ia akan dikenang sebagai presiden yang sukses dalam membangun infrastuktur tapi tidak dalam penegakan hukum.

*Wartawan senior, pengamat hukum

Berita terkait
Bergulir Nama Yenti Ganarsih Calon Jaksa Agung Jokowi
Nama Yenti Ganarsih disebut-sebut bakal jadi Jaksa Agung dalam pemerintahan Jokowi-Maruf Amin. Siapa dia dan apa plus minus ia menempati pos itu?
Lima Sepak Terjang Jaksa Agung HM Prasetyo
Diangkatnya HM Prasetyo sebagai Jaksa Agung, masih menyisakan tanda tanya. Sepak terjang dan prestasinya nyaris tidak terdengar.
Empat Kriteria Jaksa Agung di Kabinet Jokowi Jilid Dua
Jaksa Agung ideal dalam kabinet Jokowi jilid dua, berikut ini empat kriteria yang sebaiknya dipenuhi demi penegakan supremasi hukum.
0
Tinjau Lapak Hewan Kurban, Pj Gubernur Banten: Hewan Kurban yang Dijual Dipastikan Sehat
Penjabat (Pj) Gubernur Banten Al Muktabar meninjau secara langsung lapak penjualan hewan kurban milik warga di Kawasan Puspiptek.