Denpasar -Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Bali, Trisno Nugroho mengatakan bank sentral mempertahankan suku bunga acuan dengan pertimbangan menjaga stabilitas eksternal. Hal ini di tengah ketidakpastian pasar keuangan global yang saat ini masih relatif tinggi.
"Keputusan mempertahankan suku bunga kebijakan ini adalah yang pertama dalam tiga bulan terakhir, setelah penurunan suku bunga pada Februari dan Maret 2020, masing-masing sebesar 25 bps (basis poin)," ujar Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Bali, Trisno Nugroho, saat dikonfirmasi Tagar, Rabu 15 April 2020.
BI tetap melihat adanya ruang penurunan suku bunga dengan rendahnya tekanan inflasi dan perlunya mendorong pertumbuhan ekonomi.
Baca Juga: Bunga Acuan Tetap, Rupiah Terkoreksi Tipis
Sebelumnya Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 13-14 April 2020 memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 4,50 persen, suku bunga Deposit Facility sebesar 3,75 persen, dan suku bunga Lending Facility sebesar 5,25 persen.
Meskipun demikian, ucap Trisno, stance kebijakan moneter Bank Indonesia masih longgar. BI tetap melihat adanya ruang penurunan suku bunga dengan rendahnya tekanan inflasi dan perlunya mendorong pertumbuhan ekonomi.
Ia menambahkan BI juga mengambil langkah-langkah kebijakan lainnya. Untuk stabilisasi dan penguatan nilai tukar rupiah, bank sentral meningkatkan intensitas kebijakan triple intervention baik melalui spot, Domestic Non-Deliverable Forward (DNDF), maupun pembelian SBN dari pasar sekunder.
“Saat ini instrumen Quantitave Easing (QE) diperlukan untuk menjaga stabilitas di pasar dan mendukung upaya pemulihan ekonomi nasional dari dampak Covid-19.”, tutur Trisno.
Beberapa langkah akan dilakukan BI untuk meningkatkan pelonggaran moneter melalui instrumen kuantitas (quantitative easing). Pertama, ekspansi operasi moneter melalui penyediaan term-repo kepada bank-bank dan korporasi dengan transaksi underlying SUN/SBSN dengan tenor sampai dengan 1 (satu) tahun.
Kedua, menurunkan Giro Wajib Minimum (GWM) Rupiah masing-masing sebesar 200 bps untuk bank umum konvensional dan 50 bps untuk bank umum syariah/unit usaha syariah, mulai berlaku 1 Mei 2020.
Ketiga, tidak memberlakukan kewajiban tambahan giro untuk pemenuhan Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM) baik terhadap bank umum konvensional maupun bank umum syariah/unit usaha syariah untuk periode satu tahun, mulai berlaku 1 Mei 2020.
Menurut Trisno, untuk memperkuat manajemen likuiditas perbankan dan sehubungan dengan penurunan GWM Rupiah tersebut, BI akan menaikkan Rasio Penyangga Likuiditas Makroprudensial (PLM) sebesar 200 bps untuk bank umum konvensional dan sebesar 50 bps untuk bank umum syariah/unit usaha syariah, mulai berlaku 1 Mei 2020.
Kenaikan PLM tersebut wajib dipenuhi melalui pembelian SUN/SBSN yang akan diterbitkan oleh pemerintah di pasar perdana. BI juga meningkatkan berbagai instrumen kebijakan sistem pembayaran untuk semakin memperluas penggunaan transaksi pembayaran secara non tunai dalam memitigasi dampak Covid19.
Antara lain dengan mendukung akselerasi elektronifikasi penyaluran program-program sosial pemerintah seperti Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), Kartu Prakerja, dan Kartu Indonesia Pintar (KIP).
BI juga melonggarkan kebijakan kartu kredit terkait dengan penurunan batas maksimum suku bunga.
Selain itu bank sentral bersama Perusahaan Jasa Pembayaran (PJSP) juga meningkatkan sosialisasi kepada masyarakat agar lebih banyak menggunakan transaksi pembayaran non-tunai baik melalui digital banking, uang elektronik, dan perluasan akseptasi QRIS.
Baca Juga: Bunga Acuan BI Turun, Tapi IHSG kok Masih Loyo
BI juga melonggarkan kebijakan kartu kredit terkait dengan penurunan batas maksimum suku bunga, nilai pembayaran minimum, dan besaran denda keterlambatan pembayaran serta mendukung kebijakan penerbit kartu kredit untuk memperpanjang jangka waktu pembayaran bagi nasabah.
Bauran kebijakan bank sentral tersebut merupakan bagian dari sinergi kebijakan yang terkoordinasi sangat erat dengan pemerintah maupun melalui Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) serta otoritas terkait untuk menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan serta dalam upaya pemulihan ekonomi nasional dari dampak Covid-19.[]