Dairi - Rohmalum boru Bako mendatangi kantor PT Dairi Prima Mineral (DPM) di Jalan Runding, Kelurahan Sidiangkat, Kecamatan Sidikalang, Kabupaten Dairi, Sumatra Utara, Sabtu 21 September 2019.
Ibu berusia 52 tahun, penduduk Parongil, Kecamatan Silima Pungga-Pungga, Kabupaten Dairi, itu datang ditemani anaknya, Lolo Boangmanalu, 26 tahun.
Janda istri almarhum mantan Camat Kecamatan Silima Pungga-Pungga itu mengamuk. Ia menuntut ganti rugi Rp 4,3 miliar atas biaya pengolahan lahan dan tanam tumbuh areal 6,1 hektare sejak tahun 1998, yang kini telah dikuasai PT DPM.
"Mana janji DPM. Janji kalian menang-menang, ternyata mereka yang menang. Surat-surat saya lengkap. Mereka tidak. Tapi mereka yang dibayar. Mana Zul (pihak PT DPM). Hadirkan Zul..!" teriaknya.
Pihak PT DPM yang membujuknya untuk duduk di kursi tamu, ditolak. "Saya tak mau duduk di kursi. Janji kalian mana. Jangan karena saya janda, suka-suka kalian," katanya.
Di sela aksinya, kepada wartawan, Rohmalum memaparkan kronologi tuntutannya. Disebut, mereka telah mengusahai lahan seluas 6,1 hektare itu sejak tahun 1998.
Belakangan, tanaman di atas lahan itu sudah diratakan oleh PT DPM. Ganti rugi, hingga saat ini belum mereka terima.
"Lahan kami sudah diobrak-abrik. Tanaman sudah rata dengan tanah. Sejak bulan Maret 2019 ada mediasi untuk ganti rugi. Yang dibayar justru yang tidak ada surat-surat. Kami yang lengkap surat, tidak dibayar," kata janda beranak lima itu.
Rohmalum mengatakan ia memiliki surat tanah serta bukti-bukti pengeluaran pengolahan tanah sejak tahun 1998. "Saya merasa ditipu, dikhianati. DPM tidak menepati janji," katanya.
Mediasi kita dengan keluarga Ibu Rohmalum, perusahaan bersedia memberikan ganti rugi
Ditambahkan, tiga kali DPM menyewa lahan mereka, untuk landasan helikopter, camp pekerja dan lainnya. "Tapi kenapa setelah ganti rugi tidak ke kami?" tanya Rohmalum.
Acting External Relation PT Bumi Resources Mineral (BRM), Achmad Zulkarnain, Rohmalum dan anaknya diajak berdialog di salah satu ruangan.
Zulkarnain didampingi Legal PT BRM Wiku Krisna Mukti, External Manager PT DPM, Holy Nurrachman, serta Legal PT DPM, Jefry Jonathan.
Namun, pembicaraan tidak berlangsung lama. Tidak ada titik temu. Rohmalum dan anaknya, ke luar. Ia mengatakan, akan membawa permasalahan tersebut ke jalur hukum. "Saya bawa ini ke jalur hukum!" teriaknya.
Terpisah, kepada wartawan, pihak PT DPM menyampaikan tanggapannya atas tuntutan Rohmalum.
Dijelaskan Zulkarnain, tanah seluas 6 hektare itu adalah hutan lindung. Bukan hak milik. Ganti rugi adalah untuk mengganti biaya pengolahan lahan dan tanam tumbuh.
"6 hektare yang berperkara ini, adalah bagian dari pembebasan lahan tahun 2019, sekitar 58 hektare, berada di dalam kawasan hutan lindung," katanya.
Disebut, sesuai hasil mediasi dan rapat dengan pemilik hak ulayat, tokoh masyarakat, saksi-saksi, serta analisa, disepakati bahwa 2,5 hektare adalah hak ahli waris Iskandar Boangmanalu. 1,5 hektare hak Nashrun Angkat dan 2 hektare hak Nashrun Cibro.
Akhir Mei, dilakukan pembayaran ganti rugi pada ahli waris Iskandar Boangmanalu Rp 1,2 miliar. Nashrun Angkat Rp 450 juta, Nashrun Cibro Rp 900 juta, serta untuk "perkebbas" (buruh tani) Rp 500 juta.
Zulkarnain mengakui bahwa ada surat perjanjian kerja sama pengolahan lahan antara Kadir Boangmanalu, suami Rohmalum, dengan para penerima ganti rugi itu.
"Mediasi kita dengan keluarga Ibu Rohmalum, perusahaan bersedia memberikan ganti rugi tanam tumbuh Rp 13 ribu per m2. Untuk 6 hektare, sekitar Rp 800 juta. Tapi beliau tidak terima," katanya.
Terkait pernyataan Rohmalum yang akan menempuh jalur hukum untuk memperjuangkan haknya, Zulkarnain menyebut, perusahaan tidak pernah menghambat masyarakat untuk menempuh jalur hukum.[]