Untuk Indonesia

Industri Wisata Danau Toba: Copy Paste

Industri pariwisata Danau Toba cenderung lamban dan sulit maju karena kebanyakan copy paste produk lokal.
Patung Sigale-gale raksasa dalam Sigale-gale Carnval 2019 di Samosir, Sabtu 9 Juni 2019. (foto: dok.bpodt)

Oleh: Rismon Raja Mangatur Sirait*

Industri pariwisata Danau Toba cenderung lamban dan sulit maju karena kebanyakan copy paste produk lokal. Walau kunjungan turis turun dan naik, tapi sampai sekarang belum bisa mendongkrak kunjungan wisatawan mancanegera dari Eropa dan Amerika. 

Sekarang sudah jarang kita lihat seperti grup De Boer Belanda yang datang ke Danau Toba dua kali seminggu dengan masa stay lima hari yang sudah terprogram perjalanannya di kawasan Danau Toba.

Dengan persaingan antar pelaku pariwisata menjual produk yang sama, seharusnya pemerintah pusat, provinsi dan pemerintah kabupaten memberikan solusi atau meminta usul masyarakat apa yang sepantasnya dibuat dan dikembangkan. 

Sampai sekarang walau pemerintah sudah menggelontorkan dana puluhan miliar atau triliun buat Danau Toba, tapi dana tersebut masih dipergunakan untuk pembangunan infrastruktur.

Satu sisi memang infrastruktur adalah faktor paling utama dalam pengembangan pariwisata Danau Toba. Tapi perlu kita lihat aktivitas apa saja yang menarik di objek yang mau dilihat atau dinikmati. 

Sejak tahun 1980-an hanya satu pertunjukan Patung Sigale-gale yang dapat kita jumpai di objek wisata Tomok, Kecamatan Simanindo, Kabupaten Samosir.

Kemudian menjamur di Huta Sidauruk, Kecamatan Simanindo, Kabupaten Samosir, juga ada pertunjukan Patung Sigale-gale walau hanya bagian akhir dari pertunjukan tor-tor live karena sudah rutinitas tiap hari. 

Seiring waktu berjalan persaingan usaha bisnis pariwisata lokal menjadi momok, seperti dikarbit untuk meraih keuntungan dengan melupakan kebersamaan dan menghargai pendahulu pembuat pertunjukan Patung Sigale-gale.

Tahun 2000-an pertunjukan Patung Sigale-gale berkembang lagi menjadi tiga tempat show di Desa Tomok yang sebelumnya hanya satu tempat, dengan menjual konsep yang sama.

Sekitar Tahun 2016 sampai sekarang pertunjukan Patung Sigale-gale sudah dibuat lagi di Desa Siallagan, Kecamatan Simanindo, Kabupaten Samosir dengan menjiplak yang di Desa Tomok. 

Seharusnya kawasan Danau Toba sudah mempunyai gedung pertunjukan tertutup kapasitas 300 tempat duduk dan 2.000 tempat duduk dengan bangunan yang eksklusif

Desa Siallagan yang notabene sebelumnya hanya menjual desa wisata Rumah Batak Raja Siallagan dan stone chair (batu kursi) serta cerita pengadilan ala Batak zaman dahulu yang mendiskreditkan suku Batak pernah menjadi kanibal (pemakan manusia).

Seiring perjalanan waktu, Tahun 2000-an para pemuka agama dan perantau mencoba mengangkat satu daerah menjadi wisata rohani yaitu di Kabupaten Dairi tepatnya di Sidikalang. Padahal kita sebelumnya sudah mengetahui ada tempat wisata rohani di Kabupaten Tapanuli Utara sejak Tahun 1980-an yaitu Salib Kasih Tarutung.

Belakangan ini kembali main jiplak lagi untuk meningkatkan kunjungan wisatawan ke Danau Toba, perantau dan pemuka agama serta pemerintah di kawasan Danau Toba, sudah ada dan ada yang mau berencana membuat Patung Yesus setinggi 75-100 meter di beberapa kabupaten yaitu:

1. Kabupaten Tapanuli Utara (bangunan Patung Yesus masih mangkrak sejak Tahun 2013 sampai sekarang)

2.Kabupaten Humbahas (sudah masuk usulan rencana)

3.Kabupaten Toba Samosir (bermasalah)

4.Kabupaten Samosir (sudah peletakan batu pertama 2018 di Harian Boho tapi karena dana tidak ada sementara mangkrak)

5.Kabupaten Dairi (sudah ada di wisata rohani Sitinjo)

Apakah hanya menjiplak yang sama kemampuan suku Batak? Apakah kemampuan kita seperti penjual tuak di satu kampung. Bila kita ke kampung di Bonapasogit bisa dua sampai empat kedai tuak yang tidak berjauhan dalam satu dusun. 

Pertunjukan musik juga begitu dibuat dengan tajuk yang sama, pagelaran budaya juga semua hampir sama tidak kreatif, variatif dan inovatif.

Seharusnya kawasan Danau Toba sudah mempunyai gedung pertunjukan tertutup kapasitas 300 tempat duduk dan 2.000 tempat duduk dengan bangunan yang eksklusif. 

Tahun 2019 ada lagi kamping massal di pinggiran Danau Toba dengan 1.000 Tenda di Desa Meat, Kecamatan Tampahan, Kabupaten Samosir yang sudah terlaksana. Padahal program ini sudah ada di Kabupaten Dairi yaitu di pinggiran Danau Toba, Desa Paropo sejak enam tahun lalu dan selalu dilaksanakan tiap tahun.

Harapan saya, marilah kita lebih kreatif dan tampil beda untuk memajukan pariwisata Danau Toba. Bagaimana jadinya nanti kalau tiap objek wisata yang dijual hanya Patung Sigale-gale di seluruh kawasan Danau Toba (Patung Sigale-gale siapalah nanti yang laku).

Ibarat contoh kecil, jual mangga jangan hanya menjual mangga mentah saja, sebelum busuk dibuatlah jadi cemilan atau kerupuk mangga, atau wine mangga, agar ke depan tidak ada lagi isu di Danau Toba menjual mangga busuk. Varian itu lah yang disukai turis berkelas.

Mari hilangkan: "Asal ma jadi hepeng manang parsahalian" (Yang penting duit meski cuma sekali). Mohon maaf ini hanya sharing saja silakan komentari dengan santun dan silahkan berikan usulan yang kreatif, siapa tahu dapat membantu pengembangan pariwisata Danau Toba kita.

*Pemimpin Sanggar Seni Budaya Lusido di Parapat



Berita terkait
Dampak Ekonomi Karnaval Pesona Danau Toba ke-4
Karnaval Pesona Danau Toba ke-4 sudah selesai dilaksanakan. Digelar selama tiga hari sejak 13-15 September 2019 lalu.
Ide Unik agar Turis Ramai dan Betah di Danau Toba
Pria warga Parapat, Kabupaten Simalungun, tidak puas dengan cara pemerintah dalam mendatangkan wisatawan ke Danau Toba.
Video: Samosir Music International 2019 di Danau Toba
Walau sempat diguyur hujan, Samosir Music International (SMI) tahun 2019 sukses digelar di open stage Tuktuk Siadong, Samosir.
0
Hasil Pertemuan AHY dan Surya Paloh di Nasdem Tower
AHY atau Agus Harimurti Yudhoyono mengaku sudah tiga kali ke Nasdem Tower kantor Surya Paloh. Kesepakatan apa dicapai di pertemuan ketiga mereka.