Hikmah Pilkada DKI, Isu SARA ke Pilpres 2019

Setelah melewati masa-masa tegang dan penuh fitnah di ranah media sosial menjelang Pilkada DKI Jakarta 2017, apa yang bisa ditarik sebagai pelajaran berharga?
Calon Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (kanan) memberikan sambutan disaksikan Calon Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno (kiri) sebelum penandatangan deklarasi damai Pilkada DKI Jakarta di Jakarta, Senin (17/4). Deklarasi itu merupakan wujud tekad bersama dalam menjaga persatuan dan kesatuan selama Pilkada DKI Jakarta putaran kedua yang akan berlangsung 19 April 2017. (Foto: Ant/Akbar Nugroho Gumay)

Jakarta, (Tagar 18/4/2017) - Selalu ada hikmah di balik peristiwa-peristiwa politik yang penuh pertentangan seperti yang terjadi pada pertarungan ideologis antarkubu yang bersaing dalam Pilkada DKI Jakarta 2017.

Dalam menyongsong hari pencoblosan, pertarungan ideologis antarpasangan calon yang diusung sejumlah parpol, didukung tim sukses dan berjuta simpatisan mewarnai ruang wacana publik.

Saling ejek, sindir, fitnah terjadi di ranah media sosial dengan intensitas yang tinggi. Pertarungan itu tak hanya melibatkan orang-orang yang sengaja membuat akun dengan identitas palsu atau sengaja menggunakan nama samaran yang ganjil maupun kocak tapi juga mengikutsertakan orang-orang terkemuka.

Pada tataran formal, para politikus yang menjagokan pasangan calon masing-masing beradu argumen untuk memersuasi publik pemilih, terutama mereka yang masih berada di ambang keraguan dalam memilih calon gubernur yang layak memimpin Ibu kota.

Di ranah formal ini, pertarungan ideologis itu tak seseru yang berlangsung di media sosial yang diikuti oleh beragam orang dengan beragam watak yang lucu, konyol, sabar, pemarah, dan sebagainya.

Karena begitu kompleksnya pertarungan itu, pada akhirnya kejernihan berpikir mulai terabaikan. Kecenderungan untuk mengakui kelebihan dan memaklumi kesalahan lawan bisa dibilang minim.

Itu sebabnya, ajakan untuk kembali berpikir jernih dan rasional dalam mencoblos pasangan calon yang diidealkan begitu kuat belakangan ini. Ajakan itu dilontarkan baik oleh kubu petahana maupun penantang.

Dalam perebutan kursi kekuasaan puncak di DKI Jakarta ini, salah satu ciri paling menonjol adalah kuatnya dorongan menjadikan isu keimanan sebagai komoditas kampanye politik. Tak ada yang mengherankan dalam perkara ini sebab salah satu calon yang bersaing berasal dari latar belakang minoritas ganda.

Bisa diprediksi, bila pasangan yang bersaing semuanya dari kalangan mayoritas baik dari latar belakangan ras maupun keimanan, intensitas dalam mengeksploitasi perkara suku, agama, ras dan antargolongan tak akan seheboh ketika sosok minoritas itu terlibat.

Yang terjadi ketika salah satu kontestan itu sosok yang menyandang predikat minoritas ganda adalah bergesernya isu kampanye yang semestinya berkutat di ranah pertarungan program bergeser ke ranah yang rada-rada privat.

Agama pun menjadi bagian dari isu wacana berkampanye. Efeknya tidak saja pada kurang intensnya pertarungan program dalam mengatasi persoalan keseharian warga DKI yang riil.

Memang semua persoalan keseharian itu sudah diperbincangkan oleh masing-masing calon namun semua itu akan dikupas lebih tajam dan teknis jika persoalan keimanan tidak masuk ke dalam ranah kampanye politik.

Menyaksikan pertikaian ideologis pada Pilkada DKI Jakarta 2017 di ranah media sosial sepertinya ada semacam regresi bukan progresi karena masalah keberagaman dan intoleransi menjadi salah satu isu dominan.

Jelas semua ini merupakan fenomena yang kurang membanggakan karena sesungguhnya persoalan keberagaman mestinya sudah selesai ketika para pendiri dan tokoh bangsa telah sepakat menjadikan Pancasila sebagai ideologi dasar negara.

Munculnya wacana teokrasi dalam kampanye politik yang diusung oleh simpatisan kontestan dalam Pilkada DKI Jakarta adalah sebuah regresi politik.

Serunya pertarungan ideologis yang mengambil isu teokrasi ini menyebabkan seorang budayawan Mohammad Sobary melontarkan pernyataan yang bernada kesal. Penulis cerita anak yang kemudian beralih menjadi kolomnis itu menyatakan bahwa kemiskinan itulah persoalan riil.

Tentu Sobary menyadarkan publik dengan pernyataannya itu. Tapi juga tak ada yang salah dengan mereka yang bersitegang terseret dalam usaha penolakan teokrasi.

Setelah melewati masa-masa tegang dan penuh fitnah di ranah media sosial menjelang Pilkada DKI Jakarta 2017, apa yang bisa ditarik sebagai pelajaran berharga? Para politikus dan tim sukses masing-masing pesangan calon agaknya perlu menganalisis tentang korelasi metode dan konten berkampanye dengan hasil Pilkada DKI Jakarta 2017 itu.

Semua ini bisa digunakan untuk bekal berkampanye pada pemilihan presiden 2019, dengan catatan konstelasi politik dan kontestan yang terlibat di sana kelak tak berbeda dengan yang terjadi pada Pilkada DKI Jakarta 2017.

Artinya, dalam pilpres kelak ada unsur minoritas ganda yang menjadi kontestan dalam perebutan jabatan RI 1. Jika tak ada, kampanye dengan mengekploitasi aspek keimanan dan ras tentu tak relevan untuk dicermati.

Meski demikian, ada hal-hal fundamental lain yang bisa diambil sebagi hikmah dalam persaingan menuju DKI 1 ini. Bahwa pertarungan ideologis itu begitu tajam dan heboh di tataran media sosial dan berhenti sampai di sana dan tak berlanjut ke ranah pertarungan fisik.

Ini pertanda dua hal: kesadaran warga yang kian matang tentang hakikat berpolitik dan kemampuan aparat dalam mencegah peluang terjadinya gesekan fisik di lapangan.

Dalam beberapa kesempatan ketika massa dikerahkan secara besar-besaran, seruan-seruan provokatif memang terlontar namun tetap berhenti di tingkat seruan verbal semata. Peluang terjadinya gesekan menjadi nihil juga terutama diakibatkan oleh kehadiran sepihak massa di satu kubu.

Di situlah makna pengaturan dalam kampanye politik maupun pengerahan massa yang bermuatan politik. Aparat mencegah pertemuan dua massa yang sedang berseteru untuk bersinggungan.

Tampaknya, hari-hari yang penuh dengan perseteruan ideologis menjelang hari pencoblosan pada Pilkada DKI Jakarta segera lewat dan kebersamaan yang tercabik oleh perbedaan ideologis diharapkan segera pulih kembali siapa pun yang jadi pemenang dalam pilkada yang beraroma pilpres ini. (Fet/Ant/M. Sunyoto)

Berita terkait
0
Cara Download Lagu-lagu Viral di TikTok
Berikut cara convert YouTube MP3 download lagu TikTok yang bisa dilakukan untuk mengunduh lagu yang diinginkan.