Hati-Hati, Sekarang Ada Patroli Siber WhatsApp Grup

Polisi kerja sama dengan Kominfo dan BSSN melakukan patroli siber di dunia maya guna menangkal penyebaran hoaks,
Seorang wanita memegang tanda dengan gambar calon presiden Jair Bolsonaro yang berbunyi, "Dia berbohong di WhatsApp," saat protes di São Paulo, Brasil. 20 Oktober 2018. (Foto: Nacho Doce/Reuters)

Jakarta - Kepolisian akan bekerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) dan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) untuk melakukan patroli siber di dunia maya. Langkah itu dilakukan guna menangkal penyebaran konten hoaks. 

Evolusi teknologi informasi di Indonesia pada era digital saat ini memiliki sisi plus dan minus bagi konsumen pengguna internet. Salah satu sisi minusnya adalah banyak berita bohong atau hoaks yang disebarkan melalui WhatsApp Grup (WAG). 

Wacana patroli siber tentu saja menuai pro dan kontra dari elemen masyarakat. Langkah itu dianggap akan mengganggu privasi orang lain. Namun perlu digarisbawahi, gagasan tersebut bertujuan mengamankan WAG dari pihak-pihak yang bermaksud kriminal.

Menurut Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Mabes Polri, Brigjen (Pol) Dedi Prasetyo, dalam melakukan tugasnya patroli siber tak akan sewenang-wenang menyadap semua percakapan di WAG. Sebab hampir 150 juta masyarakat di Indonesia menggunakan ponsel genggam. Dan, sekitar 330 juta masyarakat memakai media sosial WhatsApp. 

"Tidak mungkin juga kita cukup tenaga. Cukup teknologi yang memantau seluruh WA yang dimiliki oleh hampir 150 juta manusia Indonesia yang menggunakan handphone. Tapi pengguna handphone aktif sekarang ini sudah 330 juta manusia di Indonesia. Artinya beberapa orang menggunakan 2 handphone. Itu impossible (mustahil) untuk kita lakukan," kata Dedi di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Rabu, 19 Juni 2019.

Ia menyatakan, patroli siber ke WAG baru dapat dilakukan apabila ada laporan dari masyarakat mengenai peredaran informasi palsu alias hoaks. Polisi, lanjutnya, baru bisa melakukan penyelidikan jika ada satu alat bukti informasi hoaks yang disebarkan oleh pelaku di WAG. 

Pengguna handphone aktif sekarang ini sudah 330 juta manusia di Indonesia. Artinya beberapa orang menggunakan 2 handphone.

"Jadi kalau tersangkanya sudah jelas dan ada satu saja alat bukti, dia (pelaku) menyebarkan hoaks melalui handphonenya baru tim patroli kita bergerak. Tapi kalau belum ada laporan, kami juga belum bisa bergerak," tutur dia.

Dedi menegaskan, salah satu alasan Polri, Kominfo, dan BSSN melakukan tindakan tersebut untuk melakukan mitigasi atas maraknya peredaran hoaks yang semakin masif melalui WAG ketimbang media sosial lainnya.

Rekam jejak pelaku penyebar hoaks di media sosial nantinya akan digali melalui Laboratorium Forensik Digital. Dari penyelidikan itu, kata dia, penyidik akan mengetahui berapa banyak tersangka yang menyebarkan konten hoaks di dalam WAG.

Menkominfo Beri Lampu Hijau

Menkominfo Rudiantara menyatakan akan mendukung penuh langkah patroli siber oleh polisi di WhatsApp. Menurut dia, itu adalah langkah yang tepat untuk menekan peredaran hoaks Pada masyarakat. Patroli yang dilakukan oleh polisi, lanjutnya, tidak sembarangan, karena pasti ada dasar hukumnya.

"Ini bukan patroli suka-suka. Polisi akan memeriksa grup (WA) jika anggota grup tersebut yang berbuat kriminal. Saya dukung, dengan catatan bahwa memang harus ada yang berbuat kriminal," kata Rudiantara di Gedung DPR/MPR di Senayan, Jakarta, Selasa, 18 Juni 2019.

Dia menilai WhatsApp berada di antara ranah pribadi dan publik. Selagi ada dasar hukumnya, kominfo menyetujui penuh langkah polisi yang melakukan patrol siber.

Pengamatan polisi sejauh ini menyebut peredaran hoaks di media sosial perlahan menurun. Namun, penyebar hoaks beralih memanfaatkan WhatsApp yang lebih tertutup dibandingkan media sosial lainnya.

Dewan Pers Setuju Perangi Hoaks

Secara terpisah, Ketua Dewan Pers, Yosep Adi Prasetyo mengakui saat ini berita bohong semakin marak beredar melalui media daring. Banyak pengaduan mengenai hal itu, contohnya dari Kantor Staf Presiden.

“Hoaks bagian dari abal-abalisme. Kita harus perangi. Dewan Pers pernah menerima pengaduan dari Kepala Kantor Staf Presiden, Teten Masduki bahwa dia diberitakan menerima uang 200 miliar rupiah dari Panglima TNI. Kita cek alamatnya, ternyata rumah kosong,” kata Yosep.

Dia menjelaskan, pers harus bisa menjadi alat untuk mensterilisasi berita-berita hoaks serta membantah kebohongan-kebohongan yang dimunculkan melalui media daring dan media sosial. Hal itu harus dilakukan guna merebut kembali kepercayaan publik kepada pers.

“Kita tahu pasca Pemilihan Presiden 2014 dan kita lihat Pilkada 2017 DKI Jakarta, pers kehilangan kepercayaan dari publik karena masyarakat lebih mempercayai berita-berita yang beredar di medsos,” ujar dia.

Menurut Yosep, hoaks sama bahayanya dengan ajakan untuk radikalisme. Itu bisa membuat orang bertindak ekstrim dan bahkan melakukan bom bunuh diri hanya dari informasi yang sebetulnya menyesatkan. []

Baca juga:

Berita terkait