Oleh: Syaiful W. Harahap*
TAGAR.id – Hari ini, tanggal 9 Februari, merupakan Hari Pers Nasional. Media, dalam hal ini media massa (surat kabar, majalah, radio dan TV) serta media online/portal berita merupakan bagian dari pers.
Dalam penanggulangan HIV/AIDS Thailand menempatkan media sebagai bagian pertama dari serangkaian program penanggulangan HIV/AIDS. Negei Gajah Putih itu memasyarakatkan informasi HIV/AIDS yang akurat di awal epidemi melalui media massa (karena saat itu belum ada media online dan media sosial).
Sosialisasi HIV/AIDS sangat penting karena sampai Desember 2023 jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS di Indonesia mencapai 729.219 yang terdiri atas 566.707 HIV dan 162.512 AIDS (Website HIV PIMS Indonesia). Jika tidak ada langkah konkret di hulu untuk menanggulangi insiden infeksi HIV baru, maka di saat ‘Indonesia Emas’ tahun 2045 kasus HIV-positif bisa mencapai 1.827.285.
Baca juga: Ini Prediksi Jumlah Kasus HIV pada Saat “Indonesia Emas” Tahun 2045 (Tagar.id, 20 Januari 2025)
Sayangnya, di Indonesia sejak pemerintah mengakui ada kasus HIV/AIDS (1987) -epidemi global sejak tahun 1981- informasi terkait HIV/AIDS yang disebarluaskan melalui media massa selalu dibalut dan dibumbui dengan norma, moral dan agama.
Akibatnya, materi tentang HIV/AIDS yang sejatinya berpijak pada fakta medis jadi mitos (anggapan yang salah), terutama tentang cara-cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS melalui hubungan seksual.
Misalnya, mengait-ngaitkan penularan HIV/AIDS dengan seks bebas, pergaulan bebas, zina, seks pranikah, perselingkuhan, pelacuran dan LGBT.
Padahal, secara empiris penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual penetrasi (vaginal atau anal) bukan karena sifat hubungan seksual (seks bebas, pergaulan bebas, zina, seks pranikah, perselingkuhan, pelacuran dan LGBT), tapi karena kondisi hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, yaitu salah satu atau keduanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki atau yang menganal tidak memakai kondom.
Jika sepasang laki-laki dan perempuan atau laki-laki dan laki-laki dengan kondisi keduanya tidak mengidap HIV/AIDS atau HIV-negatif, maka ketika mereka melakukan seks bebas, pergaulan bebas, zina, seks pranikah, perselingkuhan, pelacuran dan LGBT tidak ada risiko penularan HIV/AIDS.
Jika seks bebas adalah hubungan seksual penetrasi, dalam hal ini vaginal, di luar nikah disebut penyebab HIV/AIDS, maka:
- Semua pasangan suami-istri yang menikah karena hamil sudah jadi pengidap HIV/AIDS,
- Semua pasangan ‘kumpul kebo’ sudah jadi pengidap HIV/AIDS,
- Semua orang yang pernah zina sudah jadi pengidap HIV/AIDS.
Faktanya? Tidak!
Maka, penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual penetrasi, di dalam dan di luar nikah, bisa terjadi karena salah satu atau keduanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom.
Media juga mengumbar pergaulan bebas sebagai penyebab (penularan) HIV/AIDS. Ini merupakan misleading (menyesatkan) yang masuk kategori hoaks (informasi bohong) yang melawan hukum yaitu UU ITE. Soalnya, pergaulan bebas tidak otomatis jadi penyebab penularan HIV/AIDS.
Ada lagi yang diumbar media yaitu penyimpangan seksual. Ini bahasa moral karena dalam konteks sesualitas tidak ada seks yang menyimpang. Ini juga tidak ada kaitannya dengan penularan HIV/AIDS karena apun bentu dan sifat hubungan seksual jika dilakukan oleh pasangan yang tidak mengidap HIV/AIDS, maka tidak ada risiko penularan HIV/AIDS.
Media juga menyebut LGBT sebagai penyebab (penularan) HIV/AIDS. Ini merupakan misleading (menyesatkan) yang masuk kategori hoaks (informasi bohong) yang melawan hukum yaitu UU ITE. Seks pada lesbian yaitu L pada LGBT bukan faktor risiko (mode of transmission) HIV/AIDS karena tidak ada seks penetrasi pada lesbian.
Secara empiris kasus HIV/AIDS pada gay ada di terminal terakhir epidemi HIV/AIDS karena mereka tidak mempunyai istri.
Celakanya, media juga mengumbar LSL terkait kasus HIV/AIDS. Padahal, yang disebut media sebagai LSL itu adalah laki-laki heteroseksual karena mereka mempunyai istri, tapi dengan perilaku LSL yaitu lelaki suka seks lelaki.
Di tahun 1990-an ada kecenderungan pengidap HIV/AIDS mengaku sebagai penyalahguna Narkoba (narkotika dan bahan-bahan berbahaya) dengan jarum suntik secara bersama-sama dengan bergantian untuk menghindari disebut tertular melalui hubungan seksual.
Nah, sekarang yang muncul adalah pengakuan sebagai LSL karena lebih aman daripada disebut tertular melalui jarum suntik Narkoba atau seks bebas.
Mengaitkan seks bebas secara telanjang dengan penularan HIV/AIDS justru mendorong stigmatisasi (cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan berbeda) terhadap pengidap HIV/AIDS di Indonesia karena mereka dianggap tidak bermoral.
Padahal, seks bebas tidak otomatis sebagai faktor risiko penularan HIV/AIDS. Jika sepasang laki-laki dan perempuan dengan kondisi tidak mengidap HIV/AIDS atau HIV-negatif melakukan seks bebas, maka tidak ada risiko penularan HIV/AIDS.
Sejatinya, media menyampaikan informasi yang akurat terkait dengan cara-cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS. Salah satu langkah yang arid dan bijaksana adalah memasyarakatkan jenis-jenis perilaku seksual dan nonseksual yang akurat yang berisiko jadi faktor risiko penularan HIV/AIDS.
Misalnya, melakukan seks penetrasi dengan pekerja seks komesial (PSK) langsung (kasat mata) atau PSK tidak langsung (tidak kasat mata) tanpa memakai kondom merupakan perilaku seksual yang berisiko tinggi tertular HIV/AIDS. Sekarang lokalisasi pelacuran sudah pindah ke media sosial dengan transaksi dalam jaringan (Daring) memakai Ponsel.
Baca juga: Pelacuran dari Lokalisasi dan Jalanan Pindah ke Media Sosial (Tagar.id, 1 Oktober 2023)
Studi Kemenkes mencatat hingga akhir tahun 2012 ada 6,7 juta pria Indonesia yang menjadi pelanggan PSK, sehingga pria menjadi kelompok yang paling berisiko tinggi untuk menyebarkan HIV/AIDS (bali.antaranews.com, 9/4/2013). Yang bikin miris 4,9 juta di antara 6,7 juta pria itu mempunyai istri. Itu artinya ada 4,9 juta istri yang berisiko tertular HIV/AIDS dari suaminya.
Sementara itu data Laporan Tahunan dan Triwulan HIVPIMS 2023 menunjukkan dari tahun 2019-2023 dari estimasi 27.170.887 ibu hamil (Bumil) terdeteksi 26.642 Bumil yang HIV-positif (0,10%) dan 28.149 Bumil yang positif sifilis (0,10%).
Ibu dengan HIV-positif melahirkan 511 bayi dengan HIV/AIDS dan 1.859 bayi lahir dari Bumil positif sifilis (Lihat Tabel).

Celakanya, media lebih memilih berita yang sensasional dan bombastis yaitu LGBT atau LSL daripada risiko istri hamil dengan HIV/AIDS karena tertular dari suaminya serta anak lahir dari ibu dengan HIV/AIDS.
Ketika 1 bayi terdeteksi lahir dengan HIV/AIDS, maka secara empiris ada 3 (tiga) kasus HIV/AIDS, yaitu: 1 bayi yang lahir dengan HIV/AIDS + 1 ibu (istri) yang mengidap HIV/AIDS yaitu yang melahirkan bayi + 1 ayah (suami) yang menularkan HIV/AIDS ke ibu (istri). Sayang, dinas-dinas kesehatan dan wartawan mengabaikan fakta ini dan memilih isu seksi yang bombastis tapi tidak menyentuh akar persoalan penyebaran HIV/AIDS di masyarakat.
Selama media hanya menyebarluaskan mitos dan hoaks, maka selama itu pula insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi dengan rantai penyebaran bagaikan silent disaster (bencana terselubung) ibarat ‘bom waktu’ yang kelak bermuara pada ‘ledakan AIDS.’ []
* Syaiful W Harahap adalah penulis buku: (1) PERS meliput AIDS, Pustaka Sinar Harapan dan The Ford Foundation, Jakarta, 2000; (2) Kapan Anda Harus Tes HIV?, LSM InfoKespro, Jakarta, 2002; (3) AIDS dan Kita, Mengasah Nurani, Menumbuhkan Empati, tim editor, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2014; (4) Menggugat Peran Media dalam Penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia, YPTD, Jakarta, 2022.