Hari-hari Sebelum Meninggalkan Wamena

Raut lega memancar dari wajah Salamah ketika melihat suaminya telah bebas dari Wamena yang mencekam, kembali ke pelukannya, ke pelukan anaknya.
Solikhin (kiri) dan Trisno meninggalkan Wamena, tiba di rumah Trisno di Desa Yamansari, Kecamatan Lebaksiu, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, Sabtu, 5 Oktober 2019. (Foto: Tagar/Farid Firdaus)

Tegal - Raut lega memancar dari wajah Salamah 38 tahun, ketika melihat sosok lelaki yang sudah ia tunggu, berjalan di antara remang malam menuju arah rumahnya di RT 5 RW 1 Desa Yamansari, Kecamatan Lebaksiu, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, Sabtu 5 Oktober 2019. ‎Begitu langkah lelaki itu sampai di hadapannya, ia langsung mencium punggung tangan kanannya. Suaminya telah bebas dari Wamena yang mencekam. Kembali ke pelukannya.

Rona lega juga tampak di wajah lelaki itu, Trisno ‎39 tahun. Usai dicium istri, ia bergegas menggendong Prima Dwi Rejeki yang berdiri menyambutnya di depan pintu. Bocah lima tahun itu hingga pukul 22.00 WIB masih terjaga karena ikut menunggu kepulangan sang ayah.

Malam itu Trisno baru saja tiba di rumahnya setelah menempuh perjalanan belasan jam dari Kabupaten Jayapura, Papua. ‎Bersama kerabatnya, Solikhin 46 tahun, ia pulang ke Kabupaten Tegal setelah kerusuhan pecah di Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Papua.

"Di Wamena masih mencekam suasananya. Saya mengungsi di Jayapura sudah satu minggu. Karena sudah terlalu lama dan jumlah pengungsi semakin banyak, akhirnya memutuskan pulang dengan biaya sendiri," ujar Trisno.

Saat kerusuhan terjadi di Wamena pada Senin 23 September 2019 pagi sekitar pukul 08.00 WIT, ‎Trisno baru dua bulan berjualan martabak. Dia merantau ke Wamena ikut Solikhin yang sudah lebih lama berjualan martabak di kota di tengah pulau Papua itu.

"Sebelumnya sudah mengalami beberapa kali kerusuhan, tapi kerusuhan kali ini yang paling besar," ujar Solikhin.

Kerusuhan kali ini yang paling besar.

Tegal Wamena
Trisno meninggalkan Wamena yang dilanda kerusuhan, kembali pulang, menggendong anaknya dan disambut istrinya saat baru tiba di rumah di Desa Yamansari, Kecamatan Lebaksiu, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, Sabtu 5 Oktober 2019. (Foto: Tagar/Farid Firdaus)

***

Pagi hari ketika kerusuhan mulai membara, Solikhin dan Trisno hendak pergi ke Pasar Baru Jibama, pasar tradisional terbesar di Wamena, untuk membeli bahan-bahan martabak. Saat itu, mayoritas kios di Jalan Irian, tempat Solikhin dan Trisno tinggal dan berjualan martabak masih tutup.

‎Solikhin dan Trisno mulai menyadari terjadi kerusuhan ketika melihat sejumlah bangunan dan rumah di perkampungan dibakar. Massa yang membakar, menurut Solikhin, ada yang memakai seragam sekolah menengah atas namun dari postur tubuh dan wajahnya tidak terlihat seperti ‎pelajar.

Tak hanya melakukan pembakaran, massa juga melakukan penyerangan ke warga pendatang dengan berbagai senjata tajam. Suasana pagi itu yang semula tenang berubah kacau dan mencekam.

"‎Orang sudah ada yang dibakar, ada yang dibacok. Saya juga lihat mayat-mayat dipajang di jalan depan kantor polisi," ujarnya.

‎Solikhin, Trisno dan sejumlah warga pendatang lain yang berada di Jalan Irian refleks berjaga-jaga, membekali diri dengan senjata tajam. Beruntung, ada sepasukan Brimob yang sempat menghadang massa sehingga tidak menyerang kawasan tempat mereka tinggal.

"Tempat tinggal saya ada di kawasan kota, yang diserang perkampungan-perkampungan di pinggir kota. Saat kerusuhan, kami berlindung di kios. Massa sudah distop Brimob, kalau enggak ya bisa bentrok," ucapnya.

Orang sudah ada yang dibakar, ada yang dibacok. Saya juga lihat mayat-mayat dipajang di jalan depan kantor polisi.

***

Setelah kerusuhan sedikit mereda, Kamis, 25 September 2019, Solikhin dan Trisno bersama warga pendatang lain dievakuasi ke Bandara Wamena berjarak sekitar satu kilometer dari lokasi mereka berlindung. Tiga hari kemudian keduanya diterbangkan ke Jayapura menggunakan pesawat Hercules milik TNI AU bersama 120 pengungsi lain.

"Tiga hari mengungsi di bandara dan menunggu didata untuk dibawa ke Jayapura. Saya dan Trisno bisa ke Jayapura karena pakai nama orang Padang. Kalau tidak, bisa lebih lama menunggu di bandara. Saat mengungsi tidak sempat bawa pakaian, ditinggal semua. Ingin cepat-cepat keluar dari Wamena," ucap Solikhin.

Di Jayapura, Solikhin dan Trisno lebih dulu dibawa ke Masjid Al Aqsha yang menjadi salah satu tempat pengungsian warga pendatang yang eksodus dari Wamena. Mereka menunggu pendataan dan jadwal untuk dipulangkan ke daerah asal masing-masing.

"Kami akhirnya membeli tiket pesawat sendiri dengan harga Rp 3,7 juta karena sudah terlalu lama berada di pengungsian," kata Solikhin.

Sabtu 5 Oktober 2019, Solikhin dan Trisno meninggalkan Jayapura dengan menaiki pesawat maskapai Batik Air. Take off pukul 06.00 WIT dari Bandara Sentani, Jayapura, mereka landing di Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Banten, pukul 13.00 WIB. ‎

"Dari Bandara kami ke Terminal Bantargebang, Bekasi dan naik bus ke Tegal. Sempat lama nyari bus. Tapi yang penting bisa pulang," ucap S‎olikhin.

Solikhin dan Trisno belum mengatahui apakah akan kembali ke Wamena atau tidak jika nanti kondisinya sudah kembali aman. Namun Salamah, istri Trisno langsung menggelengkan kepala ketika Tagar menanyakan hal itu kepadanya.

"Lebih baik tidak usah berangkat ke sana lagi. Tapi tidak tahu mau bekerja apa," ujarnya.

Salamah mengetahui terjadi kerusuhan di Wamena ketika suaminya memberi kabar melalui telepon seluler. Sejak itu ia mengkhawatirkan nasib suaminya. "Pas dikabari langsung tidak tenang. Saya suruh cepat-cepat pulang," tuturnya.

Kami akhirnya membeli tiket pesawat sendiri dengan harga Rp 3,7 juta.

***

Solikhin ‎berjualan martabak di Wamena sejak 2013. Pendapatan dari usaha itu, sebagian ia setorkan ke bosnya. "Ada bosnya. Bos saya orang Padang," katanya.

Solikhin setiap hari berjualan mulai pukul ‎16.00 hingga 21.00 waktu setempat. Waktu pagi hingga siang ia gunakan untuk membeli bahan-bahan di pasar dan menyiapkan perlengkapan berjualan.

Jika pembeli ramai, rata-rata ia bisa memperoleh penghasilan hingga Rp 500 ribu dalam sehari. Kalau sepi, pendapatannya paling sedikit Rp 300 ribu.

"Dalam sebulan, kalau lagi ramai rata-rata bisa dapat Rp 5 juta. Itu sudah dikurangi setoran ke bos," ucapnya.

‎Selama tiga tahun bermukim di Wamena, Solikhin tak pernah mengalami masalah dengan warga asli Papua. Kebanyakan dari mereka berhubungan baik dengan warga pendatang.

"Warga asli Papua ada yang baik. Tapi tetap waspada. Saat terjadi kerusuhan warga asli sana juga ada yang jadi korban. Ikut mengungsi juga," ujarnya.

‎Selain berjualan martabak seperti Solikhin atau makanan lain, warga pendatang di Papua ada yang bekerja menjadi guru, PNS, hingga buruh bangunan.

"Setiap hari kami berbaur dengan warga asli Papua. Yang beli martabak saya juga banyak warga asli Papua," ujar ayah dua anak ini.

Tinggal motor itu harapan saya. Alhamdulillah masih ada. Sudah saya jual rencana buat ongkos ke Jayapura.

***

Berbeda dengan Solikhin, Trisno baru dua bulan merantau ke Wamena untuk berjualan martabak bersama kakak iparnya itu. Ia sebelumnya bekerja sebagai penjaga malam di sebuah dealer sepeda motor.

"Katanya biar dapat uang banyak, jadi ikut kakaknya jualan martabak di Wamena. Kalau saya ya maunya kerja di sini saja," kata ibu Trisno, Sukinah, saat ditemui Tagar Sabtu 5 Oktober 2019.

Trisno merupakan anak kelima dari delapan bersaudara. Selain Trisno, anak Sukinah yang lain, Prasojo juga berjualan martabak di Wamena. Ia dibantu seorang karyawan bernama Cahyo. "Istri Prasojo juga ikut ke Wamena. Namanya Wulan. Baru dua bulan menikah," tutur Sukinah.

‎Jika Trisno dan Solikhin sudah pulang ke Kabupaten Tegal, Prasojo, Wulan, dan Cahyo hingga Minggu 6 Oktober 2019 masih berada di Wamena. Mereka tengah berupaya untuk keluar dari Wamena dan pulang ke Kabupaten Tegal.

‎Saat dihubungi Tagar melalui pesan WhatsApp Minggu malam, Prasojo mengatakan situasi di Wamena masih belum sepenuhnya aman.

"Saya masih mengungsi di rumah dinas kantor agama Wamena. Masih waswas karena ada isu mau ada gerakan lagi. Makanya tidak pernah bisa tidur nyenyak," katanya.

‎Prasojo yang sudah berjualan martabak selama empat tahun di Wamena mengaku tengah berupaya mencari tiket ke maskapai Trigana Air agar bisa ke Jayapura Senin 7 Oktober 2019. Uang untuk membeli tiket ia dapatkan dari menjual sepeda motor yang ia amankan di Mapolres Wamena saat terjadi kerusuhan.

"Tinggal motor itu harapan saya. Alhamdulillah masih ada. Sudah saya jual rencana buat ongkos ke Jayapura. Biarpun jual murah uang tak seberapa yang penting bisa turun ke Jayapura," ujarnya.

Saat terjadi kerusuhan warga asli sana juga ada yang jadi korban.

***

‎Kepala Dinas Sosial Kabupaten Tegal, Nurhayati membenarkan ada lima warga Kabupaten Tegal yang berada di Wamena saat terjadi kerusuhan. "Total ada lima orang. Dua orang sudah dalam perjalanan pulang. Tiga orang masih dicari keberadaannya di Wamena," katanya, Sabtu 5 Oktober 2019.

‎Menurut Nurhayati, Bupati Tegal Umi Azizah sudah memerintahkan untuk memfasilitasi pemulangan warga Kabupaten Tegal yang mengungsi setelah terjadi kerusuhan di Wamena. Namun pemulangan itu ditangani langsung oleh tim dari Pemerintah Provinsi Jawa Tengah karena pertimbangan kondisi keamanan dan legalitas penjemputan.

"Kami sudah kontak Dinas Sosial provinsi kami siap memfasilitasi. Kalau dari sana butuh biaya tiket pemulangan. Tapi dari provinsi mereka yang akan memulangkan dari Jayapura ke Jawa. Nanti kota dan kabupaten menjemput setelah tiba di Jawa," ujarnya.‎

Sementara itu, Kepala Biro Kesejahteraan Rakyat Sekretariat Daerah Provinsi Jawa Tengah, Imam Masykur, mengatakan pemerintah akan memfasilitasi warga Jawa Tengah yang ingin pulang ke daerah asalnya.

‎Menurut Imam yang menjadi ketua tim penjemputan, pengungsi yang eksodus dari Wamena terbagi di empat titik pengungsian di Jayapura. Yakni di Resimen Induk Kodim XVII Cenderawasih, masjid Al Aqsha Sentani, Markas Batalyon 751 dan Pangkalan TNI AU (Lanud) Silas Papare.

"Warga Jateng di Rindam‎ ada 5 orang, Batalyon 751 ada 17 orang, masjid 3 orang di posko lanud ada 5 orang," tuturnya saat dihubungi Sabtu 5 Oktober 2019.

Terkait tiga warga Kabupaten Tegal yang masih berada di Wamena‎, Imam mengungkapkan kendala yang dihadapinya untuk menjemput mereka ke Wamena.

"Saya tidak bisa masuk Wamena karena tidak ada pesawat. Pesawatnya cuma bisa pakai hercules. Kalau tiga orang ini sudah sampai di Jayapura nanti akan saya komunikasikan ke Pemkab agar segera dipulangkan," ujarnya.

Sedangkan warga Jawa Tengah yang sudah berada di Jayapura dan ingin pulang ke daerah asalnya, menurut Imam akan dipulangkan secara bertahap mulai Senin 7 Oktober 2019.‎

"Sejumlah Pemkab dan Pemkot juga sudah membelikan tiket pulang untuk warganya. Yang lain ada yang tidak mau pulang ke Jawa, mintanya sementara di Jayapura menunggu Wamena aman,‎" ujarnya. []

Cerita orang-orang yang 'terusir' dari Wamena:

Berita terkait
Foto: Wamena Kondusif, Warga Masih Mengungsi
Kota Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Papua, berangsur kondusif setelah terjadi kerusuhan. Namun, sebagian warga masih tinggal di tempat pengungsian.
Warga Diminta Doakan Aktor Rusuh Wamena Ditangkap
Kapolda Papua Irjen Pol Paulus Waterpauw meminta masyarakat Papua mendoakan agar aktor intelektual kerusuhan Wamena segera tertangkap.
Cerita Warga Gowa Selamatkan Keluarga dari Rusuh Wamena
Tak ada hal lain yang bertahan lama di pikiran Nurul, kecuali harus menyelamatkan dua orang anak dan istrinya.
0
JARI 98 Perjuangkan Grasi untuk Ustadz Ruhiman ke Presiden Jokowi
Diskusi digelar sebagai ikhtiar menyikapi persoalan kasus hukum yang menimpa ustaz Ruhiman alias Maman.