Saksi Mata: Kondisi Wamena Papua Seperti Film Rambo

Kondisi di Wamena, Papua sempat mencekam, setelah sekelompok massa melakukan tindakan pembakaran terhadap ladang bisnis milik warga non-pribumi.
Dua relawan menggotong seorang pengungsi kerushan Wamena saat tiba di Lanud Hasanuddin Makassar pada Rabu 2 Oktober 2019. Foto: (Tagar/Aan Febriansyah).

Makassar - Seorang pria menggendong bocah berusia 1 tahun. Dia duduk tepat di depan meja registrasi untuk melakukan cek kesehatan. Raut wajahnya muram, jaket yang ia kenakan berlumur debu karena tidak salin berhari-hari. Dia merupakan saksi mata tragedi Wamena di Papua, saat kelompok kriminal bersenjata (KKB) melancarkan aksi.  

“Kondisinya seperti di film Rambo, hari itu yang terdengar hanya suara senjata, teriakan, dan ledakan yang berasal dari berbagai sudut di Wamena,” kata pria yang menggendong bayinya menggunakan lilitan bergaris hitam putih itu saat berbincang dengan Tagar, Rabu, 2 Oktober 2019.

Namanya Haris Eko Setiawan. Dia merupakan salah seorang pengungsi yang lolos dari kerusuhan Wamena yang terjadi pada 23 September 2019 kemarin. Haris, sapaannya, sangat bersyukur dapat kembali dengan selamat ke Sulawesi Selatan bersama istri dan kedua buah hatinya.

Dia menceritakan, saat kerusuhan pecah, tidak jauh dari tempat tinggalnya yang dekat dengan Pasar Wouma Wamena, Haris menyaksikan toko penjual bahan bakar minyak (BBM) milik warga pendatang dibakar, hingga menimbulkan ledakan yang sangat besar.

Masih teringat dengan jelas dalam benaknya, api ledakan membumbung tinggi hingga 20 meter. "Lebih tinggi dari pohon,” katanya sambil menunjuk sebuah pohon mangga di area penjemputan pengungsi di Landasan Udara Hasanuddin Makassar.

Kejadiannya pagi dan keadaannya sangat mencekam. Tidak ada masyarakat dari luar Papua yang berani keluar menampakkan diri, semua sembunyi karena takut.

Sebagai perantau, dia merasa ketakutan. Bukan hanya dia sendiri, karena banyak pendatang lain di sana yang tidak berani ke luar rumah. Salah sedikit saja, nyawa menjadi taruhan. 

“Yang jelas saat itu, kejadiannya pagi, dan keadaannya sangat mencekam. Tidak ada masyarakat dari luar Papua yang berani keluar menampakkan diri, semua sembunyi karena takut,” ujar Haris tergagap-gagap.

Pengungsi WamenaSeorang anak pengungsi kerusuhan Wamena digendong oleh seorang relamawan saat tiba di Lanud Hasanuddin Makassar pada Rabu 2 Oktober 2019. (Foto: Tagar/Aan Febriasnyah).

Menurut pria berusia 35 tahun itu, kerusuhan meletup secara tiba-tiba. Saat hendak berangkat kerja, Haris sempat singgah di rumah kawannya. Di sana ia diingatkan untuk tidak mendekat ke Kota Wamena. Bisik-bisik warga setempat menerangkan, di sana kerusuhan sudah pecah.

Mendengar kabar tersebut, Haris memutuskan kembali saja ke rumah untuk melindungi keluarga kecilnya. Langkah pertama, yang harus dia lakukan saat itu adalah menjemput putranya di sekolah dengan mengindik-indik.

“Masih sangat pagi, karena jarak saya dekat dengan sekolah anak saya dekat. Maka saya langsung menjemputnya untuk membawa ke rumah yang jaraknya tidak terlalu jauh. Namun harus masuk ke dalam lorong kecil,” ujar pria yang telah menetap di Wamena sejak tahun 2008 silam itu.

“Sampai di rumah, saya sebenarnya tidak terlalu panik, tapi istri saya panik. Apalagi dia sedang mengandung anak ketiga kami. Saya harus tetap tenang. Tapi saya bilang ke dia, biasanya kalau kita tegang hasilnya akan buruk, langsung saya mengambil segelas air untuk dia minum,” tutur pria yang mengaku bekerja di sebuah perusahaan asuransi.

Setelah dia rasa kondisi Wamena cukup kondusif, menggunakan kendaraan roda duanya, Haris mengajak anak istri untuk mengungsi ke Kodim 1202 Jaya Wijaya. 

Tidak ia sangka-sangka, di sana sudah banyak orang mengungsi. Menurut petugas keamanan setempat, saat itu ada sekitar 4 ribu pengungsi yang ingin keluar dari Wamena. 

Setibanya di pengungsian, rasa ketakutan Haris dan keluarga mulai tergerus. Hingga pada akhirnya mereka diberangkatkan ke Pulau Sulawesi. 

Hal yang terjadi beberapa hari lalu di Wamena ia pandang sudah darurat. “Sampai saat ini juga kami belum mengetahui apa sebab, sehingga terjadi kerusuhan yang besar seperti ini,” katanya seraya menggelengkan kepala.

Sempat Berkelahi di Pengungsian

Pengungsi WamenaHaris, salah seorang pengungsi kerusuhan Wamena tiba di Lanud Hasanuddin, Makassar pada Rabu 2 Oktober 2019. (Foto: Tagar/Aan Febriansyah).

Saat mendapat celah untuk keluar dari Papua, Haris mengaku sempat gontok-gontokan dengan salah satu pengungsi. Sebab, orang yang ia maksud sangat egois, tidak memedulikan wanita dan orang tua.

“Saya sempat berkelahi yang akhirnya dipisahkan oleh petugas keamanan. Saya jengkel sama orang itu karena fisiknya kuat, sementara ada banyak perempuan yang lebih membutuhkan keluar cepat keluar Wamena,” ujarnya.

Kendati demikian, Haris masih ingin kembali ke Wamena meskipun harus hidup sebatang kara. Tentu apabila kondisi di sana benar-benar sudah kondusif. 

Wamena adalah miniatur Indonesia. Sebelumnya di sana kami hidup damai sebelum adanya kerusuhan.

Yang membuatnya harus berpikir realistis ialah karena saat ini istrinya sedang berbadan dua. Pastinya Haris butuh dana tambahan untuk menutupi biaya persalinan.

Di matanya, meski sempat mencekam, Wamena dapat dikatakan miniaturnya Indonesia. Di sana, kata Haris, terdapat banyak suku dari Sabang sampai Merauke.

“Ada banyak orang yang berasal dari berbagai suku dan ras, bisa dibilang memang Wamena adalah miniatur Indonesia. Sebelumnya di sana kami hidup damai sebelum adanya kerusuhan,” kata dia.

Diteror Jeriken Bensin

Pengungsi WamenaSejumlah  pengungsi kerusuhan Wamena antrie untuk melakukan pemeriksaan kesehatan saat tiba di Lanud Hasanuddin, Makassar pada Rabu 2 Oktober 2019. (foto: Tagar/Aan Febriansyah).

Selain kisah Haris dan keluarga, pengalaman mencekam saat kerusuhan di Wamena turut dirasakan Ramadani. Lelaki asal Probolinggo, Jawa Timur itu sudah menetap selama enam tahun di Wamena. Hingga kini ia masih trauma berat karena sempat diteror. 

“Di sana (Wamena) sangat mencekam sampai hari ini. Saya pernah diteror sama orang Papua dengan membawa sebuah jeriken. Padahal sudah ada yang menjaga kita,” ucap pria berusia 23 tahun ini.

Ramadani pulang ke kampung halaman bersama istri tercinta, Sri Hariyati. Usia pasutri ini hanya terpaut satu tahun. Kini, istrinya sedang mengandung buah cinta di antara mereka berdua. 

Ternyata yang duluan dibakar itu di daerah pinggiran. Jaringan komunikasi tidak bisa.

Di Wamena, Ramadani membuka bisnis dengan membuka gerai ponsel. Di sana ia tinggal satu atap bersama istri, kedua orang tuanya, dan seorang keponakan di sebuah bangunan yang terletak di Jalan Hom Hom, Distrik Hubikiak, Kota Wamena, Jayawijaya. 

Dia menuturkan, saat kerusuhan pecah, jaringan komunikasi sempat lumpuh, pemandangan sekitar mengerika, beberapa bangunan sudah ambrol dijilati si jago merah.

"Saat kejadian, saya di tempat kerja di kota dan kita sudah siaga di kota, karena dipikirnya di kota biasanya yang duluan ribut tapi ternyata yang duluan dibakar itu di daerah pinggiran. Jaringan komunikasi tidak bisa. Saya pasrah saja. Keluarga diselamatkan oleh tetangga rumah yang asli Papua dan dievakuasi polisi," ujarnya.

Rumah Ramadani di Wamena tidak dibakar, harta benda dia tinggal di sana. Namun karena masih trauma, dia memilih kembali ke kampung halaman dengan membawa pakaian dan surat-surat berharga lainnya. Hingga kini ia masih ragu untuk menginjakkan kaki di Bumi Cenderawasih.

Trauma Tokonya Dibakar

Pengungsi WamenaAnak Haris (baju hijau) saat memeriksa kesehatan setelah tiba di Lanud Hasanuddin Makassar, pada Rabu 2 Oktober 2019. (Foto: Tagar/Aan Febriasnyah).

Sementara itu, Nani, warga pendatang di Wamena, menjadi salah satu korban yang toko kelontongnya menjadi sasaran amukan massa yang beringas. 

Sebelum lapak tempat ia mendulang nafkah dibakar massa, wanita berusia 50 tahun itu terlebih dahulu menutup toko untuk menghindari pembakaran. Namun kenyataan berkata lain.

“Toko yang sudah saya rintis sejak 17 tahun lalu juga ikut dibakar oleh massa. Selain toko kami, toko tetangga kami terlebih dahulu dibakar,” tutur Nani.

Saat mengetahui tokonya dibakar, Nani bergegas lari ke belakang rumah dengan memanjat pagar tembok, kemudian ia bersembunyi di salah satu rumah milik pribumi. 

Nani ingat betul, sekelompok massa yang membakar rumahnya adalah orang-orang berseragam SMA. Dia sangat berharap pemerintah dapat mengambil peran aktif untuk meneduhkan kembali situasi di Wamena, Papua agar kembali kondusif. []

Berita terkait
NU Siapkan Sekolah Anak Perantau Jatim dari Wamena
PWNU Jawa Timur siap menampung anak dari keluarga perantau asal Jatim yang pulang dari Wamena.
Dijemput Kapolda Sulsel, Berikut Nama Pengungsi Wamena
Kapolda Sulsel Mas Guntur Laupe menjemput langsung pengungsi korban kerusuhan Wamena, di Lanud Sultan Hasanuddin Makassar.
Belasan Ribu Orang Eksodus dari Wamena Pasca Kerusuhan
Sebanyak 7.467 orang meninggalkan Wamena dengan penerbangan Hercules TNI AU dan 4.179 orang menggunakan penerbangan komersil.
0
Jawaban Jokowi Saat Ditanya Pilih Puan Maharani atau Ganjar Pranowo Capres 2024
Apa jawaban Presiden Jokowi ketika wartawan bertanya kepadanya: pilih siapa capres untuk Pilpres 2024, Puan Maharani atau Ganjar Pranowo.