Pesan Terakhir Sebelum Meninggal di Kerusuhan Wamena

Kisah satu keluarga di Pesisir Selatan, mengembuskan napas terakhir bersama-sama, terjebak dalam toko yang dibakar dalam kerusuhan di Wamena.
Raulis (tengah) didampingi suami, Kasdir (memakai peci hitam), menerima santunan dari perwakilan Pemerintah Kabupaten Pesisir Selatan, Jumat, 27 September 2019. (Foto: Tagar/Teddy Setiawan)

Pesisir Selatan - Rumah berlantai keramik beratapkan seng di tepi sawah itu halamannya dipenuhi para pelayat. Seorang perempuan tua dan kurus, duduk di sofa lusuh di dekat pohon kelapa. Ia kadang terisak-isak, matanya berkaca-kaca, menangisi tiga anak dan seorang cucunya yang meninggal dalam kerusuhan di Wamena, Papua.

Perempuan itu Raulis 65 tahun. Tiga anaknya adalah Syafrianto K 36 tahun, Japriantoni 24 tahun, dan Hendra Eka Putra 22 tahun. Cucunya adalah Riski 3,5 tahun. Sementara istri Syafrianto, menantunya, bernama Putri 30 tahun, dalam keadaan kritis dan sedang menjalani perawatan di rumah sakit umum daerah di Jayawijaya.

Pada saat demonstrasi berakhir rusuh di Wamena, Senin, 23 September 2019, massa demonstran membakar toko Syafrianto. Semua terjebak di dalam, kecuali Putri yang berhasil melompati jendela. Namun sungguh tragis, dalam pelarian Putri dibacok perusuh.

Dua hari sebelum kejadian itu, Syafrianto menelepon Raulis, "Amai, kami ingin pulang."

Amai adalah Bahasa Minang, artinya ibu. Raulis menceritakan telepon terakhir anaknya itu kepada Tagar, Jumat, 27 September 2019.

Raulis, ibu 10 anak, itu menghela napas berat. Tak pernah terbayangkan olehnya, telepon itu menjadi pesan terakhir, artinya pamit untuk selamanya, berpulang menghadap Yang Maha Kuasa. 

Amai, kami ingin pulang.

Wamena(Dari kiri) Syafrianto K, Japriantoni, Hendra Eka Putra, tiga kakak beradik jadi korban kerusuhan Wamena, Papua, Senin, 23 September 2019. (Foto: Tagar/Teddy Setiawan)

Mimpi Kehilangan Tiga Ekor Ayam Jantan

Jumat sore itu cuaca sedang mendung di Padang Cupak, Lengayang, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Raulis bersama suami, Kasdir 70 tahun, tak henti-henti disalami para pelayat, tetangga dan kerabat yang turut berbelasungkawa atas tragedi keluarganya di Wamena.

Raulis masih ingat, sepekan sebelum petaka itu terjadi, ia sering bermimpi aneh. Mimpi yang sama berulang-ulang. Mimpi kehilangan tiga ekor ayam jantan, dan mimpi melihat bunga warna-warni bertebaran di dalam rumah. Bermekaran. Wangi.

"Saya berpikir itu hanya mainan tidur," ujarnya lirih dengan wajah bengkak karena terlalu sering menangis. 

Ia berusaha menahan air mata, tapi kantung matanya yang kendur itu tak sanggup. Sesekali bulir bening itu jatuh juga. 

Kecamuk batin tampak jelas di raut wajahnya. Namun apa daya. Ia hanya bisa pasrah, meski belum sepenuh hati ikhlas menerima.

Pada hari kejadian itu dia mau kirim uang, tapi yang dikirim justru jasadnya.

Pesisir SelatanJenazah Syafrianto K tiba di rumah keluarga di Pesisir Selatan, Jumat malam, 27 September 2019. (Foto: Tagar/Teddy Setiawan)

Sesaat Mobil Jenazah Datang

Pelayat tumpah ruah memadati rumah Raulis. Mereka berdatangan sejak sore. Menjelang malam, kerumunan warga kian ramai, menunggu kedatangan jenazah.

Sesekali terdengar suara berbisik. Penasaran kapan datangnya. "Informasinya, kini sudah sampai di mana mobil jenazahnya?" kata seorang laki-laki paruh baya pada teman di sebelahnya.

Tak berselang lama, lamat-lamat terdengar sirine mobil jenazah. Makin lama semakin jelas. Saat mobil pengangkut empat jenazah itu sampai, tangis pun pecah.

Sanak saudara, karib kerabat, handai taulan, dan para kerabat berduyun mendekati mobil jenazah. Membantu mengangkat peti. 

Tapi, Raulis dan Kasdir justeru menjauh.

Raulis tak tahan, seluruh tubuhnya lemas, tulang-belulang seperti lolos dari tubuh. Ia mendekap anak-anaknya yang lain, seakan tak mau ditinggalkan lagi.

Dengan perasaan berat, Kasdir mengatakan berkomunikasi terakhir dengan Syafrianto, pada hari kejadian.

"Pada hari kejadian itu dia mau kirim uang, tapi yang dikirim justru jasadnya," kata Kasdir di antara sedu sedan menahan tangis. 

Kasdir tak sanggup melihat peti mati yang baru saja datang.

Saya kenal baik dengan almarhum. Dia suka bergaul dan tak suka mengganggu.

Pesisir SelatanRumah duka, tempat persemayaman Syafrianto K dan kedua adiknya di Pesisir Selatan, Jumat, 27 September 2019. (Foto: Tagar/Teddy Setiawan)

Merantau ke Wamena

Syafrianto K merantau ke Wamena lima tahun silam, mengikuti jejak kakaknya, Eman 42 tahun. Beruntung, Eman selamat dari aksi brutal Wamena.

Ia anak ke-5 dari 10 bersaudara. Jafriantoni dan Hendra Eka Putra anak ke-9 dan ke-10. Sejak kecil ia sudah merasakan beratnya beban hidup sebagai keluarga petani miskin.

Masa mudanya, sepulang sekolah, membantu sang ayah menggarap sawah dan ladang yang tidak seberapa luas.

Kasdir ingat, suatu ketika usai bekerja di sawah, anaknya itu berbisik lirih kepadanya.

"Ambo cukuik tamat SMP sajo, Ayah. Bialah adiek nan sikolah. Ambo manolong Ayah (Saya cukup tamat SMP ini saja, Ayah. Biarlah adik yang sekolah. Saya membantu Ayah," Kasdir menirukan ucapan Syafrianto kala itu. Ia melihat kesungguhan dan ketulusan pada raut wajah anaknya itu.

Syafrianto paham benar kondisi ekonomi keluarga. Orang tuanya bekerja keras demi menghidupi 10 anak. Sebagai petani kecil, itu bukan perkara mudah. 

Hati Kasdir seperti disayat mendengar ucapan anaknya itu.

Tapi apa daya, memang begitu adanya. Sejak saat itu Syafrianto menjadi tulang punggung keluarga. Tanpa pernah mengeluh, tak kenal lelah, ia bekerja di sawah dan ladang demi masa depan keempat adiknya. Membahagiakan kedua orang tua menjadi tujuannya.

Ambo cukuik tamat SMP sajo, Ayah. Bialah adiek nan sikolah. Ambo manolong Ayah.

Hari terus berlalu. Bulan berbilang. Tahun berganti. Beban hidup kian berat. Hasil dari bertani dirasa tidak cukup lagi untuk biaya sekolah dan kebutuhan sehari-hari.

Pendek kata, Syafrianto memberanikan diri meninggalkan kampung halaman. Ia bertekad mengadu untung di rantau orang. Menyusul kakaknya ke Tanah Papua.

Terngiang di telinganya sebuah filosofi di Minang, Krakatau Madang di Hulu. Babuah, Babungo Balun. Marantau Bujang Dahulu. Di Kampuang Paguno Balun. (Krakatau Madang di Hulu. Berbuah, Berbunga Belum. Merantau Bujang Dahulu, di Kampung Berguna Belum.

Syafrianto berpikir, jika tetap bertahan di kampung, kemungkinan adik-adiknya akan bernasib sama dengannya. Tidak bisa lanjut sekolah. 

"Dari dulu sudah jadi tulang punggung keluarga," ujar Kasdir.

Berbekal tekad yang kuat, ketekunan dan kejujuran, Syafrianto terbilang sukses di perantauan. Usaha warung kelontong yang dikelolanya berkembang pesat.

Sekolah adik-adiknya dapat diselesaikan. Rumah yang dulu semi permanen, berubah menjadi permanen. Ia kemudian mulai memboyong adik laki-lakinya ke Bumi Cendrawasih itu.

Dia terkenal sebagai penjemput yang jauh, pemanggil yang dekat.

Pesisir SelatanPara pelayat di rumah keluarga Raulis di Pesisir Selatan, Jumat, 27 September 2019. (Foto: Tagar/Teddy Setiawan)

Anak yang Baik

Semasa kecil, Syafrianto dikenal sebagai anak yang baik. Berkepribadian kuat dan sangat berbakti pada kedua orang tuanya, sanak saudara maupun lingkungan sekitar.

Ia tak segan membantu sesama, aktif dalam beberapa kegiatan sosial dan keagamaan di lingkungannya. Terkenal alim, rajin beribadah.

Hal itu diungkapkan Aidil 29 tahun, warga yang tinggal dekat keluarga Kasdir.

"Saya kenal baik dengan almarhum. Dia suka bergaul dan tak suka mengganggu," kata Aidil.

Wali Nagari Lakitan Utara, Afrizal, mengatakan hal serupa. Afrizal kebetulan adalah paman Syafrianto.

Afrizal menyebut Syafrianto adalah anak yang sangat penurut.

"Dalam kekerabatan di keluarga kami, dia terkenal sebagai penjemput yang jauh, pemanggil yang dekat. Amanah. Tidak ada urusan yang tidak diselesaikannya," ujar Afrizal.

Namun apa hendak dikata, ujar Afrizal. "Takdir berkata lain. Ia telah mendahului kita semua. Kinantan panaiak (orang yang rajin silaturahmi) itu sudah tiada. Menyisakan luka mendalam bagi keluarga."

Selamat jalan Syafrianto. Selamat jalan Riski. Selamat jalan Hendra Eka Putra, Japriantoni. Semoga Husnul Khotimah. Mudah-mudahan diberi tempat yang mulia di sisi-Nya. Aamiin ya robbal alamain. Demikian doa Afrizal saat mengantar mereka di peristirahatan terakhir. []

Sebelumnya:

Berita terkait
Ujung Perjalanan Ari Murdani, Perantau Pessel di Wamena
Ari Murdani dari kampung halaman di Pesisir Selatan merantau ke Wamena Papua, jadi mekanik di sebuah bengkal. Tempat kerjanya dibakar massa pedemo.
Luka Wamena di Pesisir Selatan
Isak tangis masyarakat Pesisir Selatan menyambut 10 jenazah korban kerusuhan Wamena, Papua.
Nama 11 Perantau Passel Menjadi Korban Kerusuhan Wamena
Bukan 5, tapi 11 perantau Pesisir Selatan jadi korban kerusuhan Wamena Papua. 8 meninggal, 1 kritis, 1 luka ringan, 1 belum diketahui. Ini datanya.
0
Elon Musk Sebut Pabrik Mobil Baru Tesla Rugi Miliaran Dolar
Pabrik mobil baru Tesla di Texas dan Berlin alami "kerugian miliaran dolar" di saat dua pabrik kesulitan untuk meningkatkan jumlah produksi