Hampir 240 Ribu Orang di Dunia Tewas Akibat Konflik Global Tahun 2022 Lalu

Jumlah kematian akibat konflik pada tahun 2022 mencapai 238.000 orang, hampir dua kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya
Ilustrasi - Perang di Ukraina (Foto: dw.com/id - Valentin Sprinchak/TASS/dpa/picture alliance)

TAGAR.id - Jumlah kematian akibat konflik tahun 2022 catat rekor tertinggi abad ke-21. Ini menurut laporan terbaru Global Peace Index yang dirilis pada 28 Juni 2023. Biaya perang menelan sekitar 13 persen PDB global. Ben Knight melaporkannya untuk DW.

Jumlah kematian akibat konflik pada tahun 2022 mencapai 238.000 orang, hampir dua kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya. Hal ini menurut Global Peace Index (Indeks Perdamaian Global) yang dirilis hari Rabu, 28 Juni 2023, oleh Institute for Economics and Peace (IEP). Konflik dan perang juga menyebabkan hilangnya 13% dari Produk Domestik Bruto (PDB) global.

Survei terbaru tersebut menyebutkan, tingkat rata-rata "kedamaian global" telah merosot selama sembilan tahun berturut-turut. Peningkatan dramatis dalam angka kematian tahun lalu sebagian besar didorong oleh perang di Ukraina, di mana 83.000 orang tewas dalam satu tahun terakhir. Namun konflik paling berdarah terjadi di Etiopia, di mana sekitar 100.000 orang kehilangan nyawa.

Global Peace Index (GPI) mengevaluasi hampir setiap negara di dunia berdasarkan 23 indikator, yang dipecah menjadi tiga domain: "Konflik Domestik dan Internasional yang sedang berlangsung", "Keselamatan dan Keamanan Masyarakat", dan "Militerisasi", yang mencerminkan situasi perdamaian sosial (statistik kejahatan, jumlah pembunuhan) dan konflik di suatu negara. Secara keseluruhan, tingkat rata-rata "kedamaian global", yang diukur dengan indeks acuan, telah merosot sebesar 0,42 persen.

Kecenderungan yang paling jelas adalah bahwa konflik menjadi lebih internasional, kata Steve Killelea, pendiri dan ketua eksekutif Institute for Economics and Peace (IEP), dan salah satu penulis laporan tersebut. Saat ini 91 negara di dunia terlibat dalam berbagai jenis konflik, naik drastis dibandingkan dengan 58 negara pada tahun 2008, menurut GPI.

Ini mungkin bisa dilihat sebagai perkembangan mengejutkan, mengingat intervensi militer Barat telah diperkecil dalam dekade terakhir. "AS dan NATO kini telah menarik diri dari Irak dan Afghanistan, misalnya", kata Steve Killelea. Tapi AS masih sering terlibat dalam konflik bersenjata, misalnya sekarang menjadi pendukung terbesar Ukraina.

Pengungsi RohingyaIIlustrasi - Pengungsi Rohingya menuju Bangladesh (Foto: amnesty.org.au)

Perang makin sulit dimenangkan

Killelea mengatakan, satu hal yang ditunjukkan oleh indeks baru ini adalah bahwa "perang sangat sulit untuk dimenangkan". Konflik di Yaman dan Suriah sekarang telah berkecamuk masing-masing selama 9 dan 12 tahun, dan tidak ada prospek kemenangan militer yang nyata.

"Bahkan militer dengan peralatan terbaik di dunia merasa sulit untuk mengalahkan penduduk lokal yang tidak ingin diserang dan memiliki sumber daya yang baik," jelas Steve Killelea. Hal itu tak lepas dari kecanggihan dan ketersediaan persenjataan modern yang membuat peperangan asimetris semakin mudah untuk dilanjutkan. "Hampir setiap orang, dengan pelatihan teknik dasar, sekarang dapat meledakkan bom dari jarak jauh, sementara senjata memiliki akurasi yang jauh lebih tinggi,” katanya.

Laporan GPI juga menunjukkan bahwa jumlah kelompok non-negara yang menggunakan drone dalam konflik meningkat dua kali lipat antara 2018 dan 2022, dan jumlah total serangan drone hampir tiga kali lipat selama periode yang sama.

pengungsi eithopiaIlustrasi - Pengungsi berlindung di bangunan kampus Universitas Axum yang masih setengah jadi di Shire, Tigray, Etiopia, 23 Februari 2021 (Foto: voaindonesia.com/AP)

Perkembangan positif di Timur Tengah

Namun Steve Killelea juga menegaskan ada tren positif yang besar. "Saya pikir, salah satu perkembangan yang lebih positif terjadi di Timur Tengah dan Afrika Utara – selama tiga tahun terakhir, 13 negara benar-benar meningkatkan indeks kedamaian mereka, dan hanya 7 yang memburuk,” katanya. "Sekarang ada tren mapan untuk meningkatkan perdamaian di Timur Tengah. Jadi tidak semua dinamikanya selalu buruk."

Hal ini terutama dicontohkan oleh Libya, yang selama dua tahun berturut-turut menunjukkan peningkatan terbesar dalam peringkat kedamaiannya. Meski situasi keamanan masih rapuh di Libya, gencatan senjata yang ditandatangani pada 2020 antara Pemerintah Kesepakatan Nasional dan Tentara Nasional Libya telah menstabilkan negara secara signifikan.

Catatan positif lainnya adalah banyak negara menjadi lebih aman secara internal: Beberapa negara di Karibia dan Amerika Tengah, misalnya, mencatat penurunan tingkat terorisme dan pembunuhan domestik selama setahun terakhir.

Salah satu temuan paling mencolok dari laporan tersebut adalah besarnya biaya ekonomi perang. Secara total, perang dan kekerasan merugikan dunia sebesar 17,5 triliun dolar AS tahun lalu, atau 12,9 persen dari PDB global. Bagi negara-negara yang paling terpengaruh oleh konflik, dampaknya jelas sangat menghancurkan: Ukraina misalnya, menghabiskan 63% dari PDB-nya untuk pertahanan melawan invasi Rusia.

Tentu saja, banyak perusahaan senjata juga menghasilkan uang dari perang, tetapi menurut GPI, keuntungan ekonomi itu dibayar tinggi oleh biaya yang ditimbulkan oleh perang dan militerisasi. "Jika saya membangun sebuah kapal induk, mungkin membutuhkan biaya 20 miliar dolar AS, dan 500 juta dolar AS per tahun untuk mengoperasikannya,” kata Steve Killelea. "Yang terbaik yang bisa saya harapkan adalah, saya tidak perlu mengerahkannya. Padahal uang sebanyak itu dapat digunakan untuk merangsang bisnis, atau investasi pada sistem kesehatan, yang akan memberikan manfaat jauh lebih produktif bagi perekonomian," pungkasnya. (hp/as)/dw.com/id. []

Berita terkait
Sekjen PBB Sebut Dunia Gagal Lindungi Warga Sipil dari Konflik
Dunia telah gagal melindungi warga sipil karena jumlah rakyat yang terjebak dalam konflik dan dampak bencana setelahnya terus melonjak