Cirebon - Federasi Pekerja Metal Seluruh Indonesia (FSPMI) Cirebon Raya akan ikut dalam aksi unjuk rasa dan mogok nasional menolak pengesahan RUU Cipta Kerja Omnibus Law. Hal ini disampaikan Sekjen FSPMI Cirebon Raya Machbub.
Di Cirebon aksi unjuk rasa dan mogok nasional akan digelar para buruh di beberapa titik tepatnya di depan perusahan yang ada di Cirebon dari tanggal 6 sampai 8 Oktober 2020.
"Buruh tidak akan pernah berhenti melawan sepanjang masa penolakan RUU Cipta Kerja Omnibus Law merugikan buruh dan rakyat kecil," kata Machbub di Cirebon, Minggu, 4 Oktober 2020.
Machbub mengatakan ada 10 poin yang diusung oleh buruh dalam menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja. Kesepuluh isu tersebut adalah berkaitan dengan PHK, sanksi pidana bagi pengusaha, tenaga kerja asing, UMK dan UMSK, pesangon, karyawan kontrak seumur hidup, outsourcing seumur hidup, waktu kerja, cuti dan hak upah atas cuti, serta jaminan kesehatan dan jaminan pensiun bagi pekerja kontrak outsourcing.
“Sepuluh poin tersebut telah dibahas oleh pemerintah bersama Panja Baleg RUU Cipta Kerja DPR RI selama 5-7 hari lalu dan sudah menghasilkan kesepakatan kedua belah pihak. Dan semalam sudah diputuskan oleh pemerintah dan DPR RI untuk dibawa ke dalam rapat Paripurna DPR RI untuk disahkan menjadi Undang-Undang," kata Machbub.
Karena kalau diambil rata-rata nilai UMK secara nasional, justru UMK di Indonesia jauh lebih kecil dari upah minimum di Vietnam.
Dari 10 poin yang disepakati oleh pemerintah dan DPR, KSPI mencermati, ada tiga poin yaitu PHK, sanksi pidana bagi pengusaha dan TKA dikembalikan sesuai dengan isi UU 13/2003. "Tapi terhadap tiga poin ini, harus diperiksa kembali kalimat yang dituangkan ke dalam pasal RUU Cipta Kerja ersebut, apakah merugikan buruh atau tidak," ujar Machbub.
Namun, terhadap tujuh hal yang lainnya, buruh Indonesia menolak keras dan tidak menyetujui hasil kesepakatan tersebut. Ketujuh isi yang telah disepakati pemerintah bersama DPR yang ditolak oleh buruh diantaranya UMK bersyarat dan UMSK dihapus.
Baca juga : Tolak RUU Ciptaker, Serikat Buruh Surabaya Temui Risma
Lanjut Machbub UMK tidak perlu bersyarat dan UMSK harus tetap ada. Karena UMK tiap kabupaten/kota berbeda nilainya. "Jadi tidak benar kalau UMK di Indonesia lebih besar dari negara Asean lainnya. Karena kalau diambil rata-rata nilai UMK secara nasional, justru UMK di Indonesia jauh lebih kecil dari upah minimum di Vietnam," kata Machbub.
Karena itu, sambung Machbub, UMSK harus tetap ada dengan perhitungan penetapan nilai kenaikan dan jenis industri yang mendapatkan UMSK dilakukan di tingkat nasional untuk beberapa daerah dan jenis industri tertentu. Sehingga UMSK tidak lagi diputuskan di tingkat daerah dan tidak semua industri mendapatkan UMSK, agar adanya bentuk keadilan.
Sedangkan perundingan nilai UMSK dilakukan oleh asosiasi jenis industri dengan serikat pekerja sektoral industri di tingkat nasional. Di mana keputusan penetapan tersebut hanya berlaku di beberapa daerah saja dan jenis sektor industri tertentu saja sesuai kemampuan sektor industri tersebut.
“Jadi tidak harus sama rata sama rasa, karena faktanya setiap industri berbeda kemampuannya. Karena itu masih dibutuhkan UMSK,” ujar Machbub. []