Jakarta - Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR sekaligus Wakil Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Mulyanto mengatakan, kisruh mengenai Omnibus Law bermula dari permintaan Presiden Joko Widodo atau Jokowi agar pembahasan Undang-Undang Cipta Kerja dikebut.
Sehingga, kata Mulyanto, tak heran dalam pembahasannya timbul berbagai persoalan. Beberapa di antaranya seperti munculnya drama pasal 46 UU Migas dalam RUU Ciptaker, gonta-ganti naskah, dan revisi 158 item RUU Ciptaker dalam dokumen 88 halaman sebagai upaya 'cleansing' oleh Sekretariat Negara (Setneg).
Apakah RUU Ciptaker ditujukan untuk penanggulangan Covid-19? Bukankah untuk penanggulangan Covid-19, Pemerintah sudah membuat Perpu No. 1/2020
"Rupanya kerja cepat yang diperintahkan Presiden, praktik di lapangannya berubah menjadi kerja serampangan alias ugal-ugalan," ujar Mulyanto dalam keterangannya yang diterima Tagar, Senin, 26 Oktober 2020.
Mulyanto mengatakan, pada saat awal pembahasan RUU Ciptaker, Indonesia baru saja memasuki masa pandemi Corona. Dia pun mengaku heran mengapa pembahasannya dilakukan secara tergesa-gesa.
"Apakah RUU Ciptaker ditujukan untuk penanggulangan Covid-19? Bukankah untuk penanggulangan Covid-19, Pemerintah sudah membuat Perpu No. 1/2020 yang populer dengan sebutan Perppu Corona, yang kemudian disahkan menjadi UU. No. 2/2020. Bahkan dalam UU ini hak budgeting DPR dipangkas," ucapnya.
Diketahui, DPR RI mengesahkan UU Ciptaker dalam rapat paripurna pada Senin, 5 Oktober 2020 lalu. Keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak atau dalam hal ini partai.
Adapun partai yang menyetujui di antaranya, PDI Perjuangan (PDIP), Gerindra, Partai Golkar, Partai NasDem, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Amanat Nasional (PAN).
- Baca juga: PKS: Pengadaan Vaksin Covid-19 Ngebut Seperti UU Cipta Kerja
- Baca juga: Demo Buruh Tolak UU Cipta Kerja 2 November Sasar MK dan Istana
Sementara partai politik yang menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja adalah Partai Demokrat dan PKS. []