Es Degan Pak Ambon, dari Krismon ke Pandemi Covid-19

Es degan Pak Ambon menjadi bukti usaha kecil di Semarang yang mampu melewati tantangan krismon 1998 hingga pandemi Covid-19.
Kios es degan atau kelapa muda Pak Ambon yang sekarang menempati ruko. Usaha kecil ini mampu bertahan dari terpaan krisis ekonomi, mulai krismon 1998 hingga pandemi Covid-19 sekarang. (Foto: Tagar/Budi Utomo)

Semarang - Es degan Pak Ambon di kawasan Jalan dr Cipto, Kota Semarang. Sebuah tempat kuliner yang tidak asing bagi warga kelahiran 1970 hingga 1980. Usaha itu menjadi potret dari sang pemilik usaha akan arti pantang menyerah menghadapi krisis, mulai krisis moneter (krismon) hingga pandemi Covid-19    

Pukul 10.10 WIB, matahari di Kota Semarang sudah hangat. Waktu dimana banyak orang berada di luar rumah untuk melakukan aktivitas yang dipercaya bisa mencegah penularan virus corona, berjemur di bawah sinar surya.

Berangkat dari kawasan Semarang atas, Tagar menyempatkan mampir ke kios es degan Pak Ambon yang terletak di seberang SD Xaverius, kawasan Jalan dr Cipto. Di hari sebelum pandemi Covid-19, pelataran depan kios biasanya dipenuhi kendaraan roda dua dan empat. Namun di waktu itu hanya terlihat tiga motor dan satu mobil.

Oh ya, bagi Anda yang belum paham atau asing dengan kata degan, Tagar coba beri penjelasan sedikit soal istilah itu. Degan adalah kelapa muda dalam bahasa Jawa. Daging dari kelapa muda dan airnya bisa diolah menjadi kuliner sehat dan menyegarkan tenggorokan.  

Cara penyajiannya, daging kelapa tersebut diparut dan dicampurkan ke air kelapa. Sudah menjadi rahasia umum, air kelapa muda dicampur sedikit dengan air biasa untuk menambah keuntungan. Agar lebih segar, ditambah es batu di dalamnya. Kuliner tersebut sangat pas dinikmati pada siang hari saat suasana terik. 

Namun tidak untuk es degan Pak Ambon. Pria bernama asli Ahmad Nur Amin ini menggaransi air degan yang dijualnya murni air kelapa alias tidak ada campuran sedikitpun dari air putih biasan. Jikapun ada kandungan air biasa itu karena mencairnya es batu.  

Biasanya, jam segini sudah ramai. Lha ini karena corona, jadi sepi.

Dan agar tidak cita rasa es degan tidak membosankan dan untuk memberi sentuhan yang berbeda, Pak Ambon berinovasi mencampur minuman itu dengan sedikit potongan buah nangka dan tape ketan.

Setelah air kelapa muda masuk tenggorokan, penikmat bisa menyendok parutan kelapa yang gurih. Saat mengunyahnya, rasa manis nangka dan tape ketan menjadi bonus yang memberi sensasi yang menyenangkan.

Pada pagi menjelang siang itu, Pak Ambon, lelaki berperawakan sedang berkulit gelap sedang duduk di luar kios. Di sampingnya, duduk agar berjarak, seorang penjual bakso yang sudah sekitar 10 tahun terakhir ikut berjualan bersamannya. Mereka memakai masker, patuh imbauan pemerintah untuk mencegah penularan virus corona.

Mereka berdua semacam partner bisnis simbiosis mutualisme atau hubungan saling menguntungkan. Pembeli es kelapa muda bisa membeli bakso dan tidak perlu mencari makan besar lagi, sedangkan penjual bakso tidak perlu bingung menyediakan minuman yang menyegarkan.

“Biasanya, jam segini sudah ramai. Lha ini karena corona, jadi sepi,” ujar Pak Ambon sembari tersenyum pada Tagar, Sabtu, 11 April 2020.

Sesekali pria yang malu diambil gambarnya itu memperhatikan dua karyawannya yang sigap melayani pembeli. Pembeli menyatakan pesanannya, dengan atau tanpa tape ketan, sepuluh detik kemudian, pesanan sudah tersaji di meja mereka.

Pak Ambon mengaku omzet penjualannya selama pandemi virus Covid-19 ini turun hampir 50 persen. Namun itu tidak mengurangi semangatnya dalam berjualan. Justru ketika agar sepi, jarak antarpembeli bisa di atur sedemikian rupa sesuai kaidah protokol kesehatan

Pindah ke Tempat Baru

Es degan pak ambon2Pegawai es kelapa muda Pak Ambon siap melayani pembeli. Protokol kesehatan, seperti mengenakan masker, tetap diterapkan di tengah pandemi Covid-19 sekarang. (Foto: Tagar/Budi Utomo)

Awal tahun 1970-an, kuliner itu mulai dirintis oleh ibunda Ambon dengan menggunakan gerobak seadanya. Ambon yang saat itu masih bocah, seringkali membantu usaha kuliner orang tuanya.

“Saya baru mulai pegang usaha ini sekitar 25 tahun yang lalu,” ujar pria 63 tahun itu.

Era tahun 1990-an beberapa pedagang mulai ikut berjualan es degan di sepanjang Jalan dr Cipto. Ada sekitar empat pedagang minuman sejenis mendirikan warung atau lapak sederhana, berderet dalam jarak sekitar 500 meter.

Seiring waktu, hanya tempat Ambon dan satu pedagang yang masih bertahan di sana. Dan Ambon sudah mempersiapkan generasi ketiga, anaknya, untuk meneruskan usaha tersebut.

Setiap pelaku usaha pasti paham, mulai pengusaha besar hingga kecil, untuk mempertahankan suatu usaha selama puluhan tahun butuh perjuangan, perlu kristalisasi keringat, ketabahan, dan kesabaran. Apalagi, bisa berlanjut sampai generasi ketiga.

Awalnya, Ambon mempertahankan gerobak usahanya. Pembeli duduk menikmati minuman sajiannya di beberapa kursi panjang yang telah disediakan. Saat itu jualan pria dengan pembawaan ramah itu hanya fokus pada es degan saja.

Saat banyak orang mengeluh pekerjaan atau usahanya sekarat, dia masih bertahan, tetap melayani pembeli dengan ramah.

Masih pada tahun 1990-an, pria asli Semarang itu mulai menambahkan meja panjang di depan pembeli untuk menaruh aneka makanan kecil. Bermacam gorengan dan makanan yang dibungkus ukuran kecil menemani pembeli menikmati es degan.

Beberapa tahun kemudian gerobak tersebut berganti dengan mobil pikap yang bak belakangnya disulap menjadi outlet es degan. Dengan mobil itu, Ambon tidak perlu repot mendorong gerobak pulang pergi.

Sekitar tiga bulan yang lalu, Ambon memberi tahu Tagar kalau usahanya akan pindah ke rumah toko (ruko) tidak jauh dari tempat jualannya semula.

“Di tempat jualan lama enggak enak sama petugas Satpol PP,” katanya beralasan. 

Di ruko tersebut, usaha jualan es degan yang dikelola Ambon jadi naik kelas, menjadi semacam usaha kelas menengah dengan meja dan kursi yang ditata rapi. Di atas meja juga masih tersaji aneka makanan kecil.

Sekarang, saat masuk ke ruko, pembeli langsung dimanjakan kesegaran air conditioner (AC) yang berhembus kencang di tengah ruang ruko. Hawa dari pendingin ruangan tersebut bisa menjadi penawar cuaca kala Kota Semarang tengah terik. 

Selain itu, pengunjung juga dihibur dengan aneka musik populer yang berasal dari mini speaker. Semua layanan yang di-upgrade tersebut bisa didapatkan tanpa ada kenaikan harga sama sekali. Segelas es degan yang dilengkapi tape ketan hanya dibanderol Rp 7.000 saja.

Bertahan dari Krisis ke Krisis

Es degan pak ambon3Segelas es kelapa muda campuran nangka dan tape ketan dengan latar belakang aneka makanan ringan. Kuliner itu sangat cocok dinikmati kala berbuka puasa atau di teriknya siang hari. (Foto: Tagar/Budi Utomo)

Pembeli generasi milenial biasanya datang untuk menikmati minuman itu dan langsung pulang. Sedangkan pembeli yang berusia di atas 40 tahun, tak jarang yang menyempatkan menyapa Ambon karena sudah akrab dengannya sedari kecil.

“Suami saya sudah beli di sini sejak kecil. Dulu dia diajak orang tuanya ke sini, sekarang kami makan sama anak-anak,” ujar Santi, 42 tahun, yang hari itu datang dengan suaminya dan dua anaknya yang sudah remaja.

Bambang, 43 tahun, suami Santi, kagum dengan semangat wirausaha Pak Ambon. Di saat suasana perekomomian jadi serba sulit akibat merebaknya penyakit mematikan dari Wuhan, China, pria itu tetap semangat berjualan.

“Pak Ambon itu tipe pedagang yang tahan banting. Saat banyak orang mengeluh pekerjaan atau usahanya sekarat, dia masih bertahan, tetap melayani pembeli dengan ramah,” ujar pria yang tinggal di Banyumanik, Semarang atas itu.

Sikap optimisnya, lanjut Bambang, bisa menginspirasi pembeli agar tetap bersemangat menghadapi suasana sulit seperti sekarang ini. “Dia bisa bertahan dari satu krisis ke krisis lain. Saat krismon 1998 usahanya malah berkembang. Jadi saya yakin dia bisa melewati krisis ekonomi akibat corona ini,” ujar pria yang berprofesi sebagai sekuriti gudang itu.

Setelah selesai makan dan minum, keluarga Bambang beranjak meninggalkan kios dan membayar. Mereka berempat cukup membayar Rp 45.000 untuk mengobati dahaga dan mengenyangkan perut.

Bambang pun menyempatkan mengobrol satu menit dengan Ambon. Keduanya tetap mengenakan masker. Topik pembicaraannya selalu sama setiap mereka ketemu, tentang nostalgia dari masa ke masa. Keduanya saling melambai saat berpamitan untuk menerapkan social distancing. []

Baca juga: 

Berita terkait
Es Degan Pak Ambon, Legenda Kuliner Semarang
Jika berkunjung ke Semarang, tidak lengkap jika tidak mampir ke Es Kelapa Muda Pak Ambon, salah satu legenda kuliner Semarang.
Segarnya Berbuka dengan Es Buto Ijo Khas Semarang
Anda warga Semarang? Silakan merasakan sensasi kesegaran es buto ijo di waktu buka puasa.
Ketangguhan Pedagang Semarang di Tengah Wabah Corona
Santi, sosok pedagang kuliner di Semarang yang bertahan dari terpaan badai ekonomi imbas pandemi virus corona.
0
Usai Terima Bantuan Kemensos, Bocah Penjual Gulali Mulai Rasakan Manisnya Hidup
Dalam hati Muh Ilham Al Qadry Jumakking (9), sering muncul rasa rindu bisa bermain sebagaimana anak seusianya. Main bola, sepeda.