Menurut laporan terbaru, kasus malaria global pada tahun 2022 melampaui tingkat sebelum pandemi COVID-19 pada tahun 2019. Laporan ini menyoroti berbagai ancaman terhadap respons global terhadap malaria, termasuk perubahan iklim. Dalam laporan tahunan ini, diperkirakan terjadi 249 juta kasus malaria di 85 negara endemik malaria pada tahun 2022, dengan insiden 58 kasus per 1000 populasi berisiko. Ini merupakan peningkatan signifikan dibandingkan dengan 233 juta kasus pada tahun 2019, dengan insiden 57 kasus per 1000 populasi berisiko.
Sebagian besar kasus, sekitar 94%, terjadi di Wilayah Afrika WHO, dengan Nigeria, Republik Demokratik Kongo, Uganda, dan Mozambik menyumbang hampir 50% dari semua kasus. Pakistan mencatat peningkatan kasus yang paling signifikan, dari sekitar 500.000 kasus pada tahun 2021 menjadi sekitar 2,6 juta kasus pada tahun 2022, sebagian besar disebabkan oleh banjir besar yang terjadi antara Juni dan Oktober 2022. Negara-negara yang sebelumnya tidak melaporkan kasus endemik, seperti Iran, juga mencatat lebih dari 1.000 kasus pada tahun 2022.
Secara global, diperkirakan terjadi 608.000 kematian akibat malaria pada tahun 2022, dengan tingkat mortalitas 14,3 kematian per 100.000 populasi berisiko. Lebih dari 50% kematian terjadi di empat negara: Nigeria, Republik Demokratik Kongo, Niger, dan Tanzania. Sekitar 70% beban malaria global terkonsentrasi di 11 negara: Burkina Faso, Kamerun, Republik Demokratik Kongo, Ghana, India, Mali, Mozambik, Niger, Nigeria, Uganda, dan Tanzania.
Meskipun ada peningkatan kasus, laporan ini juga mencatat beberapa kemajuan. Peluncuran vaksin malaria pertama, RTS,S/AS01, di Ghana, Kenya, dan Malawi telah mengurangi kasus parah dan menurunkan kematian pada anak-anak usia dini sebesar 13%. Vaksin malaria kedua, R21/Matrix-M, direkomendasikan oleh WHO pada tahun 2023 dan diharapkan dapat meningkatkan pasokan vaksin di daerah dengan beban tinggi. Selain itu, Azerbaijan, Belize, dan Tajikistan mendapatkan sertifikasi bebas malaria dari WHO pada tahun 2022.
Namun, laporan ini juga menyoroti berbagai tantangan yang menghambat upaya respons malaria, termasuk akses kesehatan yang terbatas, konflik dan keadaan darurat, dampak berkelanjutan dari COVID-19 terhadap pelayanan kesehatan, pendanaan yang tidak memadai, dan implementasi tidak merata dari intervensi malaria inti. Perubahan iklim juga dianggap sebagai risiko substansial, dengan peristiwa cuaca ekstrem seperti banjir dan gelombang panas yang terkait dengan peningkatan kasus malaria dan transmisi. Meskipun bukti untuk mendukung interaksi ini masih terbatas, para ahli menekankan pentingnya penelitian lebih lanjut dan pendanaan yang lebih baik untuk mengatasi tantangan ini. (Sumber: WHO)/Foto: Dok/Ist). []