Edy Rahmayadi Dianggap Tak Paham Soal Kasus Tanah di Sumut

Persoalan tanah di Sumatera Utara rumit, di antaranya melibatkan mafia tanah, tanah ulayat (adat) yang belum bersertifikat.
Calon gubernur Sumatera Utara Edy Rahmayadi. (Foto: Istimewa)

Medan, (Tagar 27/4/2018) - Pernyataan calon gubernur Sumatera Utara Edy Rahmayadi soal hak guna usaha (HGU) PT Perkebunan Nusantara menuai polemik. 

Edy menyatakan akan mengusir warga  yang menempati lahan eks HGU PT Perkebunan Nusantara II yang tidak memiliki surat kepemilikan apabila dirinya terpilih pada pemilihan gubernur Sumut  2018. 

Mantan Pangdam Bukit Barisan itu akan melakukan penertiban atas lahan eks HGU yang sebagian besar telah dikuasai masyarakat.

"Untuk eks HGU akan kita beritahu saja, siapa yang punya hak, ya dia punya. Yang tidak punya, minggir," kata Edy mengenai konsep penyelesaian lahan eks HGU PTPN II di Sumut, Kamis (26/4/2018).

Anggota DPRD Sumut Sarma Hutajulu menyebut calon gubernur yang berpasangan dengan Musa Rajeckshah (Ijeck) itu tak paham persoalan tanah yang terjadi di Sumut. 

"Konflik lahan di Sumut ini sudah lama, dengan banyaknya mafia tanah, dan persoalan tanah itu bukan sekadar sertifikat kepemilikan. Tetapi, ada proses-proses selama ini yang terjadi di BPN dengan melegalisasi tanah untuk mengambil hak orang lain. Itu kan banyak terjadi di Sumut," ujar Sarma kepada wartawan di Medan, Kamis (26/4/2018).

Sarma sejak lama terkenal aktif membela hak masyarakat atas kepemilikan tanah, bahkan sebelum ia duduk di DPRD Sumut. Kemudian ia ditugaskan partainya di komisi yang salah satu bidangnya  memang menangani konflik agraria.

Ia mengatakan, seharusnya Edy Rahmayadi yang kerap kali menyatakan dirinya putra daerah dan pernah sebagai Pangdam hingga menjadi salah seorang calon gubernur paham, bahwa persoalan tertinggi di Sumut itu adalah konflik pertanahan.

"Konflik pertanahan itu bukan hanya persoalan sengketa kepemilikan, tapi juga bagaimana tanah masyarakat dirampas oleh para pemilik modal, BUMN dan BUMD yang selama ini terjadi di masyarakat," katanya.

Ia menyarankan, khusus masalah eks HGU PTPN II, agar Edy Rahmayadi  mempelajari secara detail mengenai rekomendasi tim pansus tanah DPRD Sumut hingga memahami persoalan eks HGU PTPN II. 

"Masyarakat adat, mana ada yang punya surat tanah, tapi jelas itu menjadi rekomendasi yang harus dihormati. Makanya kita minta kepada para calon gubernur dalam memberi pernyataan harus hati-hati. Jangan sampai menimbulkan polemik baru," ujarnya.Ia menyebutkan dalam rekomendasi tim pansus dari 5.873 hektar eks HGU PTPN II yang berada di Kabupaten Deli Serdang, Langkat dan Binjai seluas 400 hektar diberikan kepada masyarakat adat.

"Masyarakat adat, mana ada yang punya surat tanah, tapi jelas itu menjadi rekomendasi yang harus dihormati. Makanya kita minta kepada para calon gubernur dalam memberi pernyataan harus hati-hati. Jangan sampai menimbulkan polemik baru," ujarnya.

Lebih lanjut ia menjelaskan persoalan eks HGU PTPN II sedang ditangani DPRD Provinsi maupun tim tanah yang dibentuk oleh Gubernur bersama BPN dan PTPN II, agar semua pihak menghormati proses tersebut, termasuk para calon gubernur.

Sedangkan dalam kasus yang terjadi di Desa Ramunia, Sarma menjelaskan, merupakan HGU yang diberikan kepada Pusat Koperasi Angkatan Darat (Puskopad) itu berbeda dengan kasus yang terjadi dengan eks HGU PTPN II. 

Ia mengatakan, persoalan yang terjadi di Ramunia disebabkan karena lamanya lahan yang ditelantarkan, sehingga oleh masyarakat ditempati dan dijadikan lahan pertanian, umumnya pengungsi asal Aceh.

"Jadi itu persoalan HGU yang berbeda. Ada tanah Puskopad di Ramunia yang kemudian tanah itu tak lagi digunakan untuk perkebunan setelah ada Bandara Kualanamu. Mungkin dikerjasamakanlah dengan pihak ketiga untuk membangun sesuatu. Namun, masyarakat sudah lama dan banyak tinggal di sana kemudian mereka bertani di sana sehingga terjadi konflik itu," jelasnya.

Dalam penyelesaian persoalan sengketa tanah, Sarma berharap agar pemerintah segera mencari solusi bagi masyarakat yang memang memanfaatkan lahan atas dasar tidak punya tempat tinggal dan memang digunakan untuk bertahan hidup. 

Dan, lanjutnya, tentu saja tindakan yang berbeda bagi para mafia tanah dengan menyeretnya ke ranah hukum. (wes)

Berita terkait