Jakarta - Ketua Komisi X DPR Syaiful Huda mendukung usul Forum Seniman Peduli Taman Ismail Marzuki (TIM) menghentikan sementara atau moratorium revitaliasi TIM. Menurut dia, Komisi X melihat adanya pelanggaran prosedural yang terjadi.
Syaiful mengatakan tindakan ini dilakukan sebagai bagian kepedulian DPR terhadap TIM yang tidak hanya icon bagi DKI Jakarta tetapi juga bagi masyarakat Indonesia.
"Ada beberapa regulasi yang tidak terpenuhi, seperti yang disampaikan oleh teman-teman dari Forum Seniman Peduli TIM. Karena itu Komisi X setuju dan mendukung suara revalitisasi TIM ini dimoratorium dulu, dihentikan dulu, sampai ada kejelasan terkait dengan prosedur dan terkait dengan adanya kompromi tehadap pelaku yang selama ini ada di sana, yaitu para seniman dan budayawan," kata Syaiful dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) di Komisi X DPR, Senayan, Jakarta, Senin 17 Febuari 2020.
Kita akan lakukan secepatnya. Kita akan jadwalkan secepatnya, karena kita menghendaki moratorium.
Hasil rapat ini juga memutuskan Komisi X DPR bakal memanggil Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan PT Jakarta Propertindo (Jakpro) selaku pelaksana pembangunan untuk menjelaskan revitalisasi TIM yang memicu perdebatan.
"Hari ini saya sudah tanda tangan. Langsung dilayangkan ke Mas Anies, semoga secepatnya bisa direspons oleh gubernur. Kita akan lakukan secepatnya. Kita akan jadwalkan secepatnya, karena kita menghendaki moratorium. Artinya, kita berharap dengan sidang kita tahu situasi seperti apa di sana. Kedua, supaya publik juga memberikan dukungan terhadap moratorium ini," ujarnya.
Pekerja memindahkan sejumlah barang ke atas kendaraan di depan bioskop XXI Taman Ismail Marzuki (TIM) yang per 19 Agustus 2019 sudah tidak beroperasi lagi, Senin (19/8/2019). (Foto: Antara/Aprillio Akbar)
Secara pribadi, Syaiful mengaku tidak setuju dengan aturan yang membuka kesempatan pemerintah daerah (pemda) dapat menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk revitalisasi bertujuan komersial.
"Di mata saya, secara pribadi, saya tidak setuju ketika pemda manapun ingin menjadi bagian dari melakukan kemajuan kebudayaan, membangun pusat-pusat sentral kebudayaan dengan cara APBD diberikan BUMD Badan Usaha Milik Daerah dan sifatnya komersial. Dari situ BUMD lalu penyertaan modal untuk membangun atau merevitalisasi," kata dia.
"Jadi, pengalokasian anggaran itu lebih baik APBD langsung dikerjakan sebagai proyek pembangunan. Kasus DKI ini tidak, dia berikan kepada Jakpro dan sampai diberikan 28 tahun mengelola TIM, lalu mereka membangun, ini artinya mendekati pusat kebudayan dengan cara pandang komersial," ucapnya.
Selanjutnya, dia juga berharap agar kasus di Gelora Bung Karno (GBK) Jakarta tidak terulang kembali. Di mana, pada saat itu, para atlet yang hendak berlatih malah dikenakan biaya.
"Saya khawatir seniman tidak akses untuk tampil dan bekarya di sana. Ini kasus yang kami catat GBK. saya tidak ingin terjadi lagi kasus GBK di mana atlet-atlet kalau mau berlatih di situ harus bayar dia. Jangan sampai kejadian di TIM gara-gara komersial demi memenuhi BEP (Break Even Point). Secepat-cepatnya PT Jakpro menarif kepada seniman ketika mau pentas di sana. dan apakah mungkin ke sana. hampir pasti mungkin sebagaimana terjadi GBK," ujarnya.

Dia menegaskan, sentral kebudayaan dipadukan dengan komersialisasi tidak cocok. Ditambah, kata Syaiful, skema APBD diberikan kepada perusahaan BUMD seperti di Jakarta, yaitu Jakpro.
"Jakpro baru bangun itu sudah cacat politik di mata saya. Itu cacat etika di mata saya. Itu poin penting yang bisa saya sampaikan. Dari situ saja kurang pas. lebih-lebih kalau ini melanggar regulasi yang lain," kata Syaiful.
Lebih lanjut, Syaiful mengatakan ketika TIM ingin direvitalisasi dan disayembarakan, pada desainnya tidak ditemukan adanya bangunan hotel.
"Hotel ini ada ketika skema APBD katanya alokasinya terbatas. Karena terbatas lalu diberikan ke Jakpro. Ketika Jakpro karena semangatnya komersial dia pasti bikin hotel supaya ini bagian investasi. Nah, ini tidak boleh, lebih lebih saya menolak pendirian hotelnya. Ini betul-betul semangat kepentingan komersial tidak ada yang bisa kita lihat sisi mana ketika ini dibangun hotel kalau diisi komersial," tutur dia. []