Diskusi di Siantar: Korupsi Musuh Kita Bersama

Kota Pematangsiantar dikepung kasus korupsi. Aparat hukum melakukan pengusutan yang menyeret sejumlah pejabat.
Netty Simbolon (kiri) Daulat Sihombing, Kristian Silitonga, dan Rado Damanik, saat mengikuti diskusi "Korupsi Musuh Kita Bersama" di Patarias Cafe, Jalan Sang Naualuh, Kota Pematangsiantar, Sumatera Utara, Senin 29 Juli 2019. (Foto: Tagar/Anugerah Nasution)

Pematangsiantar - Kota Pematangsiantar dikepung kasus korupsi. Aparat hukum melakukan serangkaian pengusutan yang menyeret sejumlah pejabat penting pengelola pemerintahan. Hal ini kemudian menyita perhatian masyarakat.

Namun hal ini bukan fenomena baru. Karena itu perlu pengenalan lebih jauh kepada masyarakat soal korupsi serta penegakan hukum yang preventif.

Hal tersebut disampaikan Ketua Sumut Watch Daulat Sihombing dalam acara diskusi bertema "Korupsi Musuh Kita Bersama" yang dilaksanakan oleh Mata Publik, di Patarias Cafe, Jalan Sang Naualuh, Kota Pematangsiantar, Sumatera Utara, Senin 29 Juli 2019.

 Hanya menggantikan pelaku utama, bukan menghentikan tindakan korupsi

"Masalah korupsi bukan masalah hukum, tetapi kultur karakter orang. Ada sela-sela yang memungkinkan sesorang melakukan tindakan korupsi melalui kekuasaannya," sebutnya.

Menurut Daulat, kalau hanya mengandalkan hukum untuk mengatasi korupsi tidak akan menyelesaikan masalah. Aturan sebenarnya dibuat hanya untuk mengingatkan ada hukum yang menjerat seorang terpidana korupsi.

"Kalau mengenai aturan kita sudah tahu, akan bertindak normatif. Karena ada aturan untuk menjerat seorang terduga korupsi. Namun soal orientasinya pada penegakan hukum atau law enforcement, bukan hal yang utama, perlu pembentukan karakter. Karena sejauh ini penegakan hukum hasilnya tidak memuaskan, hanya menggantikan pelaku utama, bukan menghentikan tindakan korupsi," jelas Daulat.

Selain itu, pengamat politik Sumatera Utara Kristian Silitonga, menyampaikan penting pengenalan lebih jauh tentang korupsi. Dengan demikian ada kepastian tindakan untuk mencegah dan menganulir tindakan-tindakan koruptif.

"Law enforcement dalam kasus kita tidak banyak menghasilkan efek yang terlalu luas. Kadang seseorang tidak menyadari telah melakukan tindakan koruptif. Apalagi ketika pemimpin gagal dalam menjalankan kepemimpinan maka korupsi hanya menggantikan tersangka lainnya," ucap Kristian.

Pemerintah Gagal dan Penegakan Hukum Nomatif

May Luther Dewanto Sinaga selaku Ketua GMKI Pematangsiantar-Simalungun, berpendapat maraknya praktik korupsi merupakan salah satu bukti kegagalan Pemerintah Kota (Pemkot) Pematangsiantar. Menurutnya, pejabat Pemkot Pematangsiantar gagal menata pemerintahan yang bersih.

Jadi hukum harus bertindak tegas

"Yang memilih pejabat pemko di kedinasan adalah wali kota. Hefriansyah selaku Wali Kota Pematangsiantar belum mampu menata kota ini dengan baik (belum mampu menciptakan good governance). Sehingga watak koruptif masih terjadi di Kota Pematangsiantar ini," sebutnya.

Selain itu, banyaknya kasus yang mangkrak di kejaksaan menjadi ambigu dari keseriusan pemberantasan korupsi. Daulat mengatakan, beberapa dugaan korupsi malah menunggak tanpa kepastian di kejaksaan.

"Seperti kasus korupsi Herowhin, soal PD PAUS, itu kasus tiga tahun lalu, baru saat ini diusut kembali. Ada kasus Badri Kalimantan, mantan Dirut PDAM pernah diadukan ke Polda Sumut dan Kejati Sumut atas dugaan korupsi dan sudah SP3 namun tidak satupun kasus dugaan tersebut selesai sebagai proses perkara," tuturnya.

Oleh karenanya, Daulat menegaskan perlu ada upaya hukum yang preventif. Artinya di sini bukan saja soal pelaku, namun juga cara dan pencegahan tindak korupsi.

"Jadi hukum harus bertindak tegas. Karena biasanya ketika proses penyidikan selesai tak menjerat pelaku utama, melainkan orang yang berjalan di bawah arahan atasan atau melalui celah yang diatur regulasi. Perlu ada upaya-upaya pembaharuan dalam mengatasi modus tindak korupsi birokrasi," tukasnya.

Pendidikan dan Peran Penting Masyarakat

Pendidikan menjadi hal penting sebagai upaya pencegahan korupsi. Rado Damanik, aktivis Pemuda Simalungun menyampaikan, institusi pendidikan adalah reformasi pemberantasan korupsi sejak dini. Sayangnya, institusi pendidikan menurut dia belum dapat mengedukasi secara baik.

Korupsi itu tindakan kolektif kolegial. Artinya tidak bekerja sendiri

"Karena pendidikan di Indonesia belum menghasilkan karakter individu yang jauh dari perilaku korupsi. Sehingga budaya budaya lokal yang mengajarkan budaya jujur tidak melekat. Sapangambei Manotok Hite, Habonaron do Bona, sebagai moto daerah ini tidak terwarisi masyarakat, padahal filosofi itu mengajarkan samangat bergotong royong untuk melakukan kebenaran," tutur pria yang juga seorang guru ini.

Selain itu Kristian Silitonga, menyampaikan pentingnya partisipasi masyarakat dalam menyikapi dan mencegah kasus korupsi. Dia berharap masyarakat lebih cerdas dalam memilih pemimpin dan mengawasi proses hukum tindak pidana korupsi.

"Korupsi itu tindakan kolektif kolegial. Artinya tidak bekerja sendiri. Karena itu perlu peran masyarakat khusus anak muda untuk menyuarakan dan mengawasi penegakan hukum. Dan terakhir masyarakat harus cerdas, proses politik yang baik akan mencegah lahirnya koruptor, karena ikan busuk dari kepala hingga ekornya," tutupnya.[] 

Baca juga:

Berita terkait