Jakarta - Wakil Ketua Dewan Pers Ahmad Djauhar mengatakan tidak ada Kode Etik Jurnalistik (KEJ) yang dilanggar Najwa Shihab ketika mewawancarai kursi kosong sebagai pengganti absennya Menteri Kesehatan (Menkes) Terawan Agus Putranto.
"Menurut saya ga ada pasal Kode Etik Jurnalistik yang dilanggarnya, itu ga ada," ujar Ahmad saat dihubungi Tagar, Rabu, 7 Oktober 2020
Kendati demikian, Achmad mengatakan kegiatan Najwa Shihab tersebut lebih tepat dikatakan bukan produk jurnalistik. Oleh karena itu, Ahmad menyarankan permasalahan itu diselesaikan melalui Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
Itu kan acara hiburan. Kalau yang acara jurnalistik, yang mengandung aspek-aspek jurnalisme, barulah ke Dewan Pers.
Baca juga: Dewan Pers ke Najwa Shihab: Narasumber Berhak Enggan Diwawancarai
"Loh itu kan sebenarnya kalau acaranya itu lebih tepatnya talk show, variety show, harusnya ke KPI. Itu kan acara hiburan. Kalau yang acara jurnalistik, yang mengandung aspek-aspek jurnalisme, barulah ke Dewan Pers," tuturnya lagi.
Sebelumnya, Ketua Umum Relawan Jokowi Bersatu Silvia Dewi Soembarto melaporkan Najwa Shihab ke Kepolsian Daerah Metro Jaya. Kendati begitu, laporan tersebut ditolak dan polisi mengarahkan Silvia untuk melaporkan perkara itu ke Dewan Pers.
Sehingga, nantinya Dewan Pers akan menindaklanjuti laporan Silvia itu sesuai dengan UU Pers yang berlaku.
"Jadi tadi diarahkan oleh polisi ke Dewan Pers karena kasus ini ada hukum yang berlaku di luar hukum perdata dan pidana. Diminta rekomendasi dan referensi (Dewan Pers). Contohnya Dewan Pers punya UU Pers mana saja pasal yang dilanggar. Kode etik mana yang dilanggar, gitu," kata Silvia, Selasa, 6 Oktober 2020.
Diketahui, Silvia melaporkan Najwa Shihab atas dugaan cyber-bullying atau perundungan siber. Ia tidak menyebut secara spesifik pasal-pasal yang dimaksud menjerat Najwa itu. Ia khawatir kejadian serupa akan berulang.
Baca juga: Profil Najwa Shihab, Diperkarakan Karena Kursi Kosong Terawan
Menurut Silvia, aksi Najwa Shihab wawancarai kursi kosong itu merupakan tindakan cyber bullying.
"(Tindakan yang dipersangkakan) cyber bullying karena narasumber tidak hadir kemudian diwawancarai dan dijadikan parodi. Parodi itu suatu tindakan yang tidak boleh dilakukan kepada pejabat negara, khususnya menteri," tutur dia.