Pada awalnnya Pasar Tanah Abang mau dibuka 6 April 2020, sampai kemudian Pemerintah Provinsi DKI Jakarta membatalkan dan berencana membuka lagi tanggal 19 April 2020.
Tentu pedagang yang bersorak sorai langsung manyun, karena mereka sudah membayangkan akan mendapat keuntungan menjelang bulan puasa. Sayangnya, Pemprov Jakarta belum siap terhadap risiko menyebarnya virus corona Covid-19.
Tapi prediksi saya tetap. Bahwa kemungkinan besar, akhir April nanti, berita corona sudah tidak menarik lagi bagi sebagian orang. Virus corona akan disamakan dengan demam berdarah dan TBC, berbahaya tapi tidak berpengaruh pada roda kehidupan.
Ugh, sudah mulai membulat karena tiap hari makan, tidur, bangun, makan lagi, tidur, bangun, makan lagi, tidur, bangun.
Warga beraktivitas di depan pintu masuk Pasar Tanah Abang yang tutup di Jakarta, Jumat, 27 Maret 2020. Dalam rangka pencegahan dan menekan angka penularan virus Corona Covid-19, Perumda Pasar Jaya menutup sementara Pasar Tanah Abang Blok A, B dan F mulai 27 Maret hingga 5 April 2020. (Foto: Antara/Aprillio Akbar)
Begitu pun media. Sudah tidak tertarik lagi membahas berapa yang mati. Sibuk dengan berita baru yang lebih menarik, karena masalah corona sudah tidak mengundang orang membaca lagi.
Insting dasar manusia adalah gerak. Gerak itu membangun energi, menciptakan harapan dan semangat, dan dengan itulah jiwa manusia hidup. Kalau tidak ada gerak, manusia akan mati.
Berdiam diri selama beberapa minggu akan mencapai titik puncak kejenuhan. Dan akhirnya orang pun akan keluar sarang dan mulai bekerja kembali. Tidak ada yang tahan, bahkan para pemalaspun butuh sebuah kegiatan.
Perkiraan saya, pemerintah pun akan diam-diam membebaskan warganya untuk kembali beraktivitas seperti biasa, meski tetap ada imbauan supaya tetap di rumah saja. Tapi tidak akan ada larangan. Sama seperti mudik. Diimbau tapi tidak dilarang.
Memang kelas menengah tetap akan takut terhadap virus corona. Tapi tidak dengan kelas bawah, pekerja informal seperti pedagang dan jasa. Mereka punya kemampuan adaptasi yang luar biasa dan tidak manja.
Sayapun mungkin sudah siap-siap beraktivitas kembali, meski tetap waspada. Menjaga jarak itu keharusan dan tidak berkerumun di tempat ramai. Kita-kita saja yang harus pintar menyikapi situasi.
Ugh, sudah mulai membulat karena tiap hari makan, tidur, bangun, makan lagi, tidur, bangun, makan lagi, tidur, bangun.
*Penulis buku Tuhan dalam Secangkir Kopi
Baca juga: