Denny Siregar: Pak Jokowi, Suruh Ahok Urus BPJS

Pak Jokowi, pindahkan Ahok dari tempat nyaman di Pertamina ke tempat yang sulit di BPJS. Dia pasti lebih berguna di BPJS. Denny Siregar.
Presiden Jokowi bertemu Komisaris Utama PT Pertamina Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok di Kilang TPPI. (Foto: Instagram/basukibtp)

Sebenarnya, apa pun yang berkaitan dengan kata 'biaya naik' pasti akan diprotes banyak orang. Dulu juga kita selalu ribut kalau BBM naik, meski hanya Rp 100 saja. Tapi sekarang sudah tidak lagi karena pengelolaannya sudah diperbaiki dan pemerintah sudah memotong mata rantai pembelian BBM yang panjang itu menjadi ringkas dan efektif. Masih mahal memang buat sebagian orang, tapi isunya sudah tidak lagi seksi.

Sekarang kita juga ribut ketika Jokowi menaikkan iuran BPJS. Ributnya sampai ke mana-mana mulai dari yang mencerca, mencaci, sampai yang lebih halus, "Kenapa dinaikkan saat kondisi ekonomi lagi enggak bagus?"

Kalau yang terakhir ini jawabannya mudah, "Apa pun yang namanya kenaikan, pasti tidak enak dan tidak punya waktu yang bagus. Nanti kalau dinaikkan sesudah corona, ada lagi keluhannya."

Sebenarnya, kalau kita mau mendengar keluhan pemerintah, kita pasti ngeri mendengar BPJS masih berutang ke banyak rumah sakit sebesar Rp 14 triliun.

Bulan Mei ini saja, pemerintah harus bayar utang jatuh tempo sebesar Rp 5 triliun ke banyak rumah sakit.

Bagaimana sih hitung-hitungannya sampai BPJS merugi begitu? Kita coba lihat ya hitungan BPJS di pertengahan tahun 2019 biar kita bisa dapat sedikit gambaran.

Pertengahan tahun lalu, pendapatan BPJS dari iuran hanya sebesar Rp 82 triliun. Tapi BPJS harus keluar uang hampir Rp 95 triliun. Dari hitung-hitungan sederhana itu saja kita tahu dalam waktu setengah tahun, BPJS minus Rp 13 triliun.

Ini yang disebut dengan defisit. Kenapa BPJS selalu defisit? Banyak faktor sebenarnya. Mulai dari nilai iuran yang rendah, banyak orang yang enggak disiplin bayar iuran, sampai administrasi di internal BPJS sendiri yang masih bolong-bolong.

Dan yang menarik dari BPJS di Indonesia ini, dia enggak pilih-pilih penyakit dan usia. Semua penyakit dan semua usia, bisa berobat pakai BPJS.

Bagaimana kalau Ahok saja yang jadi Direktur BPJS? Dia kan jago banget di manajemen kayak ginian. Ngapain Ahok dikasih tempat yang nyaman di Pertamina. Kasih dia tempat yang sulit, pasti dia akan lebih berguna di sana.

BPJS KesehatanPetugas menata kartu peserta BPJS Kesehatan, di kantor pelayanan BPJS Kesehatan Cabang Bekasi, di Bekasi, Jawa Barat, Rabu, 30 Oktober 2019. (Foto: Antara/Risky Andrianto)

Saya punya pengalaman, seorang teman dari keluarga kurang mampu, bapaknya yang sudah berumur 70 tahunan harus cuci darah seminggu tiga kali. Sekali cuci darah harus keluar biaya minimal Rp 600 ribu.

Bayangkan, berapa belas juta rupiah sebulan mereka harus bayar untuk cuci darah? Tapi semua itu ditanggung BPJS. Semuanya. Teman saya bahkan tidak keluar uang sedikit pun. Paling cuma biaya fotokopi berkas-berkas doang, kata dia.

Apakah bapak teman saya itu bisa dapat asuransi swasta? Enggak mungkin. Karena pasti ditolak waktu mengajukan. Selain faktor usia yang sudah tua, penyakitnya juga parah, dan kalaupun diterima bayar preminya juga mahal banget. Temanku yang dari keluarga tidak mampu itu enggak mungkin sanggup. Dia hanya sanggup membayar BPJS puluhan ribu rupiah per bulan. 

Itulah kelebihan BPJS sekaligus kekurangannya. Kelebihannya, program ini sangat merakyat sehingga orang kurang mampu bisa mendapatkan pengobatan. Dan kekurangannya, biayapun menjadi bengkak. Makanya BPJS selalu tekor setiap tahunnya.

BPJS ini seperti Sinterklas untuk orang yang tidak mampu. Tapi bagi yang sedikit mampu, kenaikan iuran menjadi masalah besar.

Dan sejak awal, program BPJS ini memang dikonsep dalam bentuk gotong-royong. Yang mampu membantu yang tidak mampu. Yang kelebihan membantu yang kekurangan.

Inilah program mulia dari pemerintah sebagai pemberi fasilitas. Dan dari konsep BPJS inilah, kita baru merasakan sebenar-benarnya kehadiran negara.

Saya sendiri, alhamdulillah, diposisikan oleh Tuhan sebagai orang yang sedikit mampu, sehingga bagi saya membayar BPJS seperti sedekah saja. Dan saya selalu berdoa supaya tidak diberikan kesempatan menggunakan BPJS. Karena bagi saya kesehatan itu sangat mahal harganya.

Jangankan dibandingkan iuran per bulan, bahkan seluruh harta saya tidak akan sanggup membayar kesehatan yang saya punya. Ketika mendengar cerita teman saya yang bapaknya cuci darah dan ditanggung BPJS, di mana saya punya andil membantu dia dengan selalu membayar tepat waktu, saya pun selalu bersyukur. Saya lebih sanggup membayar iuran gotong-royong ini, daripada berada pada posisi seperti bapak teman saya itu.

Inilah seharusnya pola pikir yang harus kita pelihara dalam membayar iuran BPJS setiap bulan. Karena kalau kita tidak punya pola pikir seperti ini, iuran itu pasti akan jadi beban.

Tapi bukan berarti juga pemerintah hanya punya solusi menaikkan iuran. Lama-lama kalau semakin besar iuran, kita juga enggak akan sanggup bayar. Kalau kita tidak sanggup bayar, yang susah ya orang yang sakit dan tidak mampu yang harus kita tolong itu.

Menurut KPK, permasalahan defisit BPJS bukan selalu masalah iuran yang kurang. Tapi ada faktor-faktor lain, misalnya banyak rumah sakit yang nakal yang memainkan biaya kesehatan. Di sini seharusnya pemerintah harus lebih cerdik dan kreatif, sehingga tidak selalu solusinya adalah menaikkan iuran.

Selain itu menurut KPK, BPJS juga harus membatasi diri dalam memberikan bantuan. Penyakit karena gaya hidup seperti jantung dan diabetes seharusnya dibatasi pembiayaannya, jadi BPJS tidak selalu defisit. Selain itu, BPJS juga harus berbagi dengan asuransi swasta, sehingga beban BPJS menjadi lebih ringan.

Saya tidak mempermasalahkan Jokowi menaikkan iuran BPJS yang naik sampai 100 persen itu. Toh yang kelas tiga masih disubsidi pemerintah sampai Rp 3 triliun. Jadi bagi masyarakat kurang mampu, mereka masih tertolong.

Tapi, mbok ya pemerintah lebih kreatif lah. Masa solusinya cuma naik doang, enggak ada cara-cara lain yang bisa dilakukan supaya yang mampu bisa bayar dan yang tidak mampu bisa terbantu. Kalau manajemen sekarang enggak bisa, ya dirombak saja. Habis perkara.

Atau gini saja deh, Pakde Jokowi. Bagaimana kalau Ahok saja yang jadi Direktur BPJS? Dia kan jago banget di manajemen kayak ginian. Ngapain Ahok dikasih tempat yang nyaman di Pertamina. Kasih dia tempat yang sulit, pasti dia akan lebih berguna di sana. Ahok butuh tantangan. Apalagi dia senang model sosial seperti ini.

Pada setuju kan, Ahok yang jadi Direktur BPJS? 

*Penulis buku Tuhan dalam Secangkir Kopi

Baca juga:

Berita terkait
Jokowi Naikkan Iuran BPJS Kesehatan, AHY Beri Nasehat
Ketum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) memberikan nasehat kepada Presiden Jokowi terkait kebijakannya menaikan iuran BPJS Kesehatan.
KSPI Ancam Jokowi Jika Tak Batalkan Kenaikan BPJS
KSPI meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) segera membatalkan kenaikan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
Iuran BPJS Naik, Amien Rais ke Jokowi: Tega sama Rakyat
Politikus senior PAN Amien Rais beranggapan Presiden Jokowi tega terhadap rakyatnya sendiri menyusul kembali menaikkan iuran BPJS Kesehatan.
0
Serahkan Alat Dukung Penyandang Disabilitas, Mensos Minta Tingkatkan Kepedulian Terhadap Sesama
Menteri Sosial (Mesos) Tri Rismaharini memuji konsistensi jemaat dan pimpinan Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP).