Pertarungan opini pada saat penetapan Capim KPK dan revisi UU KPK ini begitu gencar.
Ada dua kubu dalam pertarungan itu, yaitu kubu media sosial dan media besar.
Kubu "media besar" ini seperti menjadi corong kuat dari KPK. Mereka menjadi pembela penuh dengan framing-framing tulisan dan opini juga memanfaatkan kepercayaan dari para pembacanya yang sudah menganggap mereka sebagai acuan berita.
Ada simbiosis mutualisme antara KPK dengan media besar. KPK butuh pencitraan, media besar butuh kedalaman dan kecepatan berita yang bisa menaikkan oplah mereka. Dan ini sudah berlangsung bertahun-tahun tanpa ada kecurigaan.
Sedangkan media sosial bersifat perlawanan tanpa terorganisir.
Sulit untuk bisa dilihat mana yang benar dan mana yang salah, karena yang terjadi adalah propaganda versus propaganda.
Mereka bergerak karena terpicu beberapa influencer - yang selalu di-framing negatif sebagai buzzer atau orang bayaran. Situasi ini bisa terlihat ketika ada gerakan masif untuk melakukan uninstall terhadap aplikasi sebuah media besar yang akhirnya anjlok bintangnya
Pertarungan opini ini benar-benar mengasyikkan untuk diamati. Sulit untuk bisa dilihat mana yang benar dan mana yang salah, karena yang terjadi adalah propaganda versus propaganda.
Pertarungan ini terjadi selama beberapa bulan, terutama terlihat saat media sosial mulai bergerak untuk mementahkan opini yang sudah dibangun bertahun-tahun oleh media besar bahwa KPK itu lembaga suci.
Pada akhirnya hasil survei dari Kompas, terlihat bagaimana narasi media sosial memenangkan opini sehingga banyak orang mendukung revisi UU KPK dan mendukung keberadaan Ketua KPK yang baru.
Sedangkan media besar cenderung menolak Ketua KPK baru dan revisi UU KPK.
Apakah ini era baru dalam model pemberitaan kita sehingga media besar yang dibangun dengan biaya dan operasional besar, harus mengalah pada media sosial yang biasanya dikelola oleh akun-akun independen?
Kita bisa melihat ke depan, apa kelak yang akan terjadi nanti. Media besar yang biasanya dikuasai oleh korporasi dengan kapital besar, bisa jadi kelak akan mati dan tergantikan oleh opini dari mereka yang bahkan tidak punya pendidikan jurnalistik tetapi masih punya hati nurani.
Seruput kopinya, kawan.
*Penulis buku Tuhan dalam Secangkir Kopi
Baca juga: