Untuk Indonesia

Revisi UU KPK Bukan Sangkakala Menuju Kiamat

Mengapa perubahan tata kelola KPK harus dianggap seperti bunyi terompet sangkakala menuju kiamat. Lebay ah. Tulisan opini Putut Trihusodo
Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Kuningan, Jakarta Selatan. (Foto: Tagar/Nurul Yaqin)

Oleh: Putut Trihusodo

Mohon izin, mau bilang eneg sama KPK Show. Malas nengok-nengok atraksi di sana.

Lakon sinetronnya membosankan. Perspektifnya begitu-begitu saja: angel versus devil. Di sana, para angels tampil di depan kamera, kadang dengan memperlihatkan wajah begitu letih, akibat kerja keras yang melampaui panggilan tugas, lalu memberikan konfirmasi, meski sebelumnya telah dibocorkan, betul laskar Tuhan telah melakukan penangkapan. Lalu deretan fakta dibeberkan: jam, tanggal, lokasi, volume barang sitaan, barang bukti, inisial para devils yang dicokok dan seterusnya.

Scene berikutnya, pengumuman setan-setan sebagai TSK, dan jejak kejahatan mereka mengarah pada setan besar lainnya. Lanjutannya, scene pemanggilan saksi-saksi, dengan klimaks melodramatik: setan besar di-TSK-kan dan ditahan pada hari Jumat. Jumat keramat bukan mitos bukan gosip.

Begitu-begitu saja alurnya. Toh, para malaikat itu begitu yakin dan pede atas gaya narsisnya, dan menyangka rating lakonnya selalu tinggi, selalu viral dan trending topic.

Mohon izin bicara sebagai penonton: lakon KPK sudah seperti sinetron biasa saja. Tak usah dibawakan dengan acting senarsis itu karena script-nya tak sehebat Hamlet atau Macbetb. Hanya reality show, atau sinetron ringan tentang polantas menangkap sopir truk yang kelebihan muatan, sementara penonton tahu banyak truk kelebihan muatan lain berseliweran di jalan yang sama.

Cara kerja KPK enggak canggih-canggih amat. Pelaku potensialnya pejabat pemerintah. Mitranya adalah politisi, pengusaha dan calo. Titik-titik rawan ada di urusan perizinan, pengawasan, kuota impor, lelang jabatan, dan proyek APBN.

Tinggal sadap saja nomor telepon aktor-aktornya, rekam pembicaraan mereka (verbal maupun tertulis). Selanjutnya, banyak aplikasi untuk mengolah data voice itu menjadi petunjuk ke arah transaksi. Kalau sudah dekat ke transaksi, tinggal tunggu waktunya. Begitu ada delivery barang, tangkap. Sesederhana itu.

Mengapa perubahan tata kelola KPK harus dianggap seperti bunyi terompet sangkakala menuju kiamat. Lebay ah.

Lebih 70 persen kasus itu masuk lewat operasi tangkap tangan (OTT). Enggak ada kisah disclosure yang canggih atau penyidikan yang epik. Lebih sulit meringkus perampok toko emas di Balaraja Tangerang yang menuntut kecermatan langkah forensik.

Biar nggak kehabisan cerita, lokasi syuting mesti berpindah-pindah. Dari Medan ke Makassar, Malang, dan seterusnya. Dari BUMN yang satu ke yang lain. Kecuali Pemprov DKI. Belakangan, Pemprov DKI tak tersentuh KPK. Mungkin sudah akhlaqul karimah di semua jajarannya, mungkin juga karena sebab lain. Who knows.

KPK bilang, lebih dari 1.000 kasus korupsi ditanganinya selama 17 tahun ini. Pertanyaannya, apakah korupsi berhenti? Apakah korupsi berkurang? Apakah pejabat lebih taat hukum? Kalau tidak, KPK tak beda dengan kepolisian dan kejaksaan. Tangkap sana-sini tapi kondisi tak berubah, ketaatan hukum tak membaik.

Untuk melihat kondisi di lapangan, survei saja para caleg yang terjun dalam Pileg 2019, para balon kepala daerah yang terjun di Pilkada 2018, juga timses Pilpres. Apakah biaya politk semakin murah? Banyak yang mengeluhkannya semakin mahal. Artinya, ada potensi besar, KPK akan menangkap tangan lebih banyak lagi. Tapi, tetap saja urusan korupsi tidak akan bisa disetop.

KPK hanya menari-nari di muara. Di hulu sana, budaya koruptif berkembang dengan polanya sendiri. Sebagian rakyat merasa perlu di-entertain setiap kali pileg/pilkada. Biaya politik yang mahal jadi pendorong korupsi, selain budaya korupsi itu sendiri masih hidup di masyarakat. Sinetron KPK bisa membuat budaya korupsi terkikis? Masih jauh panggang dari api.

Jadi, mengapa perubahan tata kelola KPK harus dianggap seperti bunyi terompet sangkakala menuju kiamat. Lebay ah. Mengapa rukun-rukun KPK harus dimutlakkan – hal yang mengingatkan pada narasi pada ustaz salafi-jihadi yang memutlakkan skema surga-nerakanya. Pendapatnya harus dianggap benar. Pihaknya harus dinilai paling mulia dan bijak bestari.

Santai saja. Kalau perubahan tata kelola itu bermuara pada konsolidasi politik yang merugikan rakyat, ya ntar di-omelin saja. Kalau di bawah rezim baru itu show-nya mengecewakan ya di-bully saja.

Tapi, mengeramatkan KPK sebagai zona yang harus bebas dari checks and balances, ya seperti narasi salafi jihadi itu. Kembali saja ke realitas, bahwa semua manusia itu punya bawaan curang, jahat, jail, mau bener sendiri, mau menang sendiri, curang dan seterusnya. Karenanya perlu dikoreksi, dikontrol, lewat aksi checks n balances.

Lagian, buat apa bertengkar. Demo versus demo (ini memalukan). Tapi ya begitulah kalau KPK dibawa berayun-ayun di zona politik.

Lebih pas kalau mereka yang peduli KPK itu kongkow bareng. Sisir masalahnya dari arah hulu: mengapa (sebagian) masyarakat toleran pada korupsi/gratifikasi? Mengapa biaya politik mahal, Mengapa orang suka main terabas asal kaya? Bagaimana mendorong birokrasi lebih bersih dan melayani? Mengapa rasa malu menghilang.

Nggak ada jalan pintas. Perlu kerja panjang dan terus-menerus. Masih ada waktu, dunia belum akan kiamat.

*Penulis Lepas, mantan Redaktur Pelaksana Tempo, mantan Pemimpin Redaksi Gatra, mantan Wakil Pemimpin Redaksi SCTV

Berita terkait
Firli Bahuri: Ketua KPK, Tanggung Jawab Dunia-Akhirat
Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Sumatera Selatan Inspektur Jenderal Firli Bahuri mengungkapkan jabatan Ketua KPK merupakan tanggung jawabnya.
Gonjang-ganjing KPK
Mengapa dulu mencalonkan diri menjadi pimpinan KPK, kalau akhirnya hanya ngambek dan mundur? Dagelan paling lucu di abad milenial.
KPK Makin Ngaco
Dan mulai kebablasan. Novel Baswedan menuding Jokowi prokoruptor, hanya karena Presiden setuju revisi UU KPK. Tulisan opini Eko Kuntadhi.