Denny Siregar: BPJS Naik, Hatiku Meringkik

Saya menganggap iuran BPJS adalah sedekah. Dengan begitu saya akan merasa ringan dan tidak pernah berpikir untung rugi. Tulisan Denny Siregar.
Ilustrasi - Pengguna BPJS Kesehatan. (Foto: BPJS Kesehatan)

Oleh: Denny Siregar*

"Di mana negara?"

Tanya kita dengan berisik ketika membaca berita seorang bapak mendorong mayat anaknya dalam gerobak karena tidak mampu membayar biaya pengobatan. Itu sekian tahun lalu sebelum BPJS menjadi asuransi yang diwajibkan pemerintah.

Saya teringat seorang teman yang dengan gembira datang dari RS karena almarhum bapaknya habis cuci darah dengan biaya 0 rupiah. "Cuman habis 60 ribu untuk fotokopi dokumen doang," katanya.

Suka tidak suka, BPJS sangat membantu. Mungkin bukan buat kita karena kita tidak sakit parah. Tetapi buat banyak orang yang sedang dalam ujian kesehatan berat, seperti temanku itu, BPJS adalah malaikat yang turun dari langit. Bayangkan, berapa ratus juta yang harus dia keluarkan untuk membayar cuci darah bapaknya? Dari mana uangnya?

Sejak 2013, BPJS adalah bukti kehadiran negara terhadap masalah rakyatnya, terutama yang tidak mampu. Apalagi masyarakat miskin dibantu pemerintah dalam pembayaran asuransinya dengan konsep Penerima Bantuan Iuran atau PBI.

Tetapi dampak dari hadirnya negara, negara akhirnya tekor setiap tahun. Tahun 2018 saja BPJS defisit di angka lebih dari 19 triliun rupiah.

Saya selalu menganggap bahwa iuran BPJS adalah sebuah "sedekah". Dengan begitu saya akan merasa ringan dan tidak pernah berpikir untung ruginya.

Kenapa BPJS selalu defisit?

Ini pertanyaan klasik dan yang selalu disalahkan tentu adalah para direksi, yang kabarnya menerima gaji sampai 150 juta per bulan. Padahal ada dua penyebab kenapa BPJS tekornya begitu besar.

Pertama, para peserta mandiri atau peserta BPJS yang tidak ditanggung pemerintah, selalu menunggak iuran. Kedua, dan ini yang terbesar, penyakit katastropik seperti jantung, ginjal, dan kanker, pasiennya terus meningkat dan ini memakan biaya yang sangat besar. Pengurangan gaji direksi tentu tidak signifikan dengan angka defisit yang begitu besar.

Karena itulah ada rencana pemerintah untuk menaikkan iuran BPJS sampai 100 persen. Dan yang namanya "naik" tentu membuat banyak orang menjerit. Kenyamanan mereka harus dikurangi banyak karena setiap bulan mereka harus menanggung penyakit banyak orang.

Padahal pada waktu mereka dulu bertanya, "di mana negara?" pertanyaan mereka sudah dijawab dengan hadirnya negara. Dan ketika negara juga meminta partisipasi mereka, mereka juga yang menjerit-jerit.

Saya selalu menganggap bahwa iuran BPJS adalah sebuah "sedekah". Dengan begitu saya akan merasa ringan dan tidak pernah berpikir untung ruginya. Kalau kemudian saya merasa berat dengan iuran untuk kelas I yang tentu mahal, ya saya turunkan sesuai kemampuan di kelas III saja.

Tapi pada intinya, saya ikut partisipasi membantu orang-orang seperti teman saya itu. Dan selalu bersyukur tidak diberikan cobaan seberat dia.

Entah apa jadinya jika negara tidak ikut campur dalam masalah penting seperti kesehatan, dan wilayah ini dikuasai swasta yang hanya berpikir untung rugi saja.

Tentu saya juga berharap banyak terhadap masalah teknis di internal BPJS mulai manajemen sampai efisiensi. Apalagi ada oknum yang malah beli Alphard dari uang sumbangan BPJS itu. Tapi kalau belajar dari banyak negara yang sudah memulai duluan program seperti BPJS, merekapun memperbaiki setahap demi setahap sistemnya, termasuk menaikkan iuran subsidinya.

Hanya kadang yang saya sesalkan adalah komunikasinya.

Program pemerintah selalu punya model komunikasi yang buruk pada rakyatnya.

Seharusnya sejak awal mereka membangun emosi dengan menunjukkan betapa BPJS membantu banyak orang yang membutuhkan, sehingga orang akhirnya rela menyumbang. Bukan pas naik aja tiba-tiba merasa semua orang harus bersimpati padanya.

BPJS, kembalilah pada pepatah lama, "Tak kenal maka tak sayang."

Semoga hati kita tidak lagi meringkik mendengar kata "IURAN BPJS NAIK".

Bersyukurlah kita karena kita masih hanya membayar iurannya, bukan sebagai penggunanya.

Seruput kopinya.

*Penulis buku Tuhan dalam Secangkir Kopi

Berita terkait
BPJS, Bisanya Pakai Jurus Sontoloyo
Pemerintah akhirnya memakai jurus paling mudah untuk mengatasi keruwetan defisit BPJS Kesehatan, yakni dengan menaikkan iuran. Tulisan LR Baskoro.
Bamsoet Sebut Kenaikan Iuran BPJS Bebani Rakyat
Ketua DPR RI Bambang Soesatyo meminta agar rencana kenaikan biaya iuran BPJS Kesehatan dapat dipertimbangkan.
Metamorfosis SJSN Hingga Menjelma BPJS
Ternyata jaminan kesehatan sudah ada sejak zaman kolonial Belanda. Kemudian dilanjutkan pemerintah Indonesia.
0
Dua Alasan Megawati Belum Umumkan Nama Capres
Sampai Rakernas PDIP berakhir, Megawati Soekarnoputri belum mengumumkan siapa capresnya di Pilpres 2024. Megawati sampaikan dua alasan.