Para anggota DPR, yang disebut-sebut sebagai wakil rakyat terhormat itu, sebaiknya segera membaca kembali dokumen pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi. Jika malas, atau tak ada waktu karena sibuk lobi sana-sini, bisa memerintahkan rombongan staf ahli dan staf khusus mereka mencari notulen, khususnya sepanjang November 2002, saat-saat akhir persetujuan pembentukan KPK.
KPK lahir sebagai amanat gerakan reformasi untuk memberantas praktik KKN –korupsi, kolusi, dan nepotisme- yang sudah berurat akar. Gerakan menumbangkan Orde Baru, rezim yang sarat KKN itu, dipelopori para mahasiswa, dengan puncaknya menduduki gedung DPR pada 1998. Sejumlah aktivis gerakan itu kini menjadi anggota DPR. Berjas, berkantor dan menikmati empuknya kursi di gedung tempat mereka unjuk rasa, berpanas-panasan, 20-an tahun silam.
Para wakil rakyat, saat itu, akhirnya sepakat membentuk KPK, lembaga super kuat untuk memberantas tindak pidana korupsi yang masuk kategori kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Kejaksaan dan kepolisian dinilai belum mampu melakukan fungsi itu. Maka lahirlah UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK. DPR memberi lembaga baru itu sejumlah wewenang ekstra pula untuk menjalankan tugas mahaberat tersebut, memberantas -maknanya menurut Kamus Bahasa Indonesia “memusnahkan”- kejahatan korupsi, dengan antara lain, melakukan penyadapan.
Untuk mencegah lembaga ini berhati-hati menjalankan tugasnya, dibuat sejumlah rambu-rambu, antara lain, KPK itu tak memiliki mekanisme SP3 (Surat Penghentian Penyidikan Perkara). Konsekuensinya para penyidik KPK dituntut benar-benar memiliki bukti kuat sebelum mengajukan tersangka koruptor ke pengadilan. Begitu bukti itu gagal, reputasi mereka hancur. Kita tahu sejauh ini komitmen KPK memerangi korupsi tak turun sedikit pun –kendati berpuluh teror dan ancaman dibidikkan kepada mereka.
Sebagai lembaga yang telah membuktikan kinerjanya, bukan hal mengejutkan jika upaya merevisi UU KPK mendapat tentangan dari banyak pihak.
Dibentuk dengan tugas berat –juga konsekuensi berat- seperti itu, lembaga antirasuah ini kemudian menata dirinya, antara lain, dengan belajar ke sejumlah lembaga sejenis di dunia, termasuk “KPK” Hong Kong, salah satu lembaga antikorupsi terbaik di dunia. KPK juga membuat sejumlah mekanisme untuk mengontrol internal mereka. Misalnya, penyadapan mesti sepengetahuan dan seizin pimpinan, siapa pun yang menerima hadiah atau bingkisan dari luar, misalnya cinderamata sebagai pembicara, mesti melapor. Juga terlarang pimpinan atau penyelidik, menemui seseorang –yang berkaitan perkara yang diperiksa KPK- seorang diri. Semua demi menjaga integritas.
Publik tahu selama sekitar 13 tahun KPK berdiri, lembaga ini sudah menangkap puluhan koruptor dan mengirimkannya ke bui. Dari berbagai kalangan: bupati, wali kota, gubernur, anggota DPR, jaksa, petinggi polisi, hakim, dan lain-lain. Hal-hal yang sulit dibayangkan bisa dilakukan lembaga lain, polisi atau kejaksaan sekalipun. Apalagi terjadi pada rezim Orde Baru.
KPK memaksimalkan kewenangan mereka, termasuk penyadapan, untuk melakukan penangkapan terhadap para pelaku korupsi –jenis kejahatan kerah putih yang modusnya senantiasa makin canggih -- yang “memakan” uang rakyat. Uang yang semestinya bisa untuk membangun puskesmas, memperbaiki sekolah yang mau ambruk atau membangun jembatan.
Dalam hal inilah semestinya DPR bangga: lembaga yang dilahirkannya, tumbuh seperti yang mereka inginkan dan sepakati tujuh belas tahun silam. Kejaksaan dan polisi semestinya juga senang upaya mereka memerangi kejahatan korupsi mendapat bantuan KPK, kecuali jika lembaga atau sejumlah orang penting dan berkuasa di dalamnya korup dan waswas disapu KPK.
Sebagai lembaga yang telah membuktikan kinerjanya, bukan hal mengejutkan jika upaya merevisi UU KPK mendapat tentangan dari banyak pihak. Sebaliknya, juga tidak mengejutkan jika mereka yang melakukan kejahatan korupsi, atau berencana melakukan korupsi, geram terhadap keberadaan lembaga ini.
DPR yang melahirkan KPK, seharusnya menjaga KPK, tidak justru melemahkannya. DPR semestinya mengikuti publik, yang menimang -menyayangi, menjaga- KPK, tidak justru menendangnya, menjadikannya lembaga tak bergigi.
Jika itu terjadi, itu sama saja berarti DPR mengkhianati semangat reformasi.
*Lestantya R. Baskoro, wartawan senior dan pengamat hukum