Oleh: Denny Siregar*
Rumpian paling hangat pasca pencoblosan ini sudah bukan masalah Prabowo ternyata, tetapi justru masalah reshuffle kabinet Jokowi.
Kubu Jokowi sudah tidak fokus lagi pada permasalahan narasi kecurangan pemilu yang selalu digaungkan oleh kubu Prabowo. Mereka merasa itu urusan Prabowo yang tidak akan selesai, dan tidak mau menari di gendang tari yang selalu diketukkan BPN untuk mencuri perhatian.
"Untuk apa? Jokowi sudah pasti menang," kata seorang teman di kubu Jokowi.
Yang menjadi pusat perhatian sekarang adalah siapa menteri yang akan diganti dan siapa yang menempati posisi baru di sana. Lobi-lobi sudah dilakukan baik oleh partai koalisi dan sebagian oposisi yang mencoba membelot seperti PAN.
Dengan AHY menjadi menteri, maka moral kader akan terjaga dan bagus bagi suara Demokrat sebagai modal untuk 2024 nanti.
Dan kabar hangat terbaru adalah kubu Jokowi ingin menggandeng Demokrat sebagai bagian dari koalisi untuk memperkuat suara di parlemen nanti. Salah satu nama yang masuk adalah Agus Harimurti Yudhoyono atau AHY.
Kenapa AHY?
Merunut sejarah sebelum penentuan koalisi, dikabarkan SBY pernah bertemu Jokowi. Ia menawarkan partainya sebagai bagian dari koalisi Jokowi, dengan membawa AHY untuk duduk dalam posisi menteri. SBY punya kepentingan panjang untuk partai Demokrat supaya tidak kehilangan suara dalam pemilu yang barusan terjadi.
Dengan AHY menjadi menteri, maka moral kader akan terjaga dan bagus bagi suara Demokrat sebagai modal untuk 2024 nanti.
Jokowi juga dikabarkan menerima lamaran itu. Kursi Menpora disediakan untuk AHY. Tapi SBY ternyata "berkhianat". Ia juga menemui Prabowo dan menawarkan AHY sebagai calon wakil presidennya. Maka pecahlah koalisi dengan Demokrat.
Nah, Jokowi perlu menggandeng Demokrat kembali sesudah menang dengan menggandeng AHY. Ini demi suara di parlemen kelak jika ingin mengambil keputusan berdasarkan voting. Semakin besar koalisi, maka akan semakin mudah mengambil keputusan apa pun.
Pertanyaannya, maukah AHY?
Pertanyaan yang salah. Harusnya, maukah SBY? Karena meski AHY yang selalu dimajukan ke depan, tetapi pengendali keputusan tetap bapaknya. Dan situasi ini makin menarik sebagai keputusan politik yang lebih besar.
Pada posisi yang kurang strategis, memang kursi menteri selalu ditawarkan pada partai pendukung. Dan ini sah-sah saja, karena politik bukan masalah hitam putih, tetapi masalah bagaimana membangun bangsa.
Kecuali dengan PKS. Kalau itu sudah harga mati. Jangan beri kesempatan mereka ada di kabinet, karena nanti malah meracuni kementerian dengan segala konsep kaderisasi mereka.
Seruput.
*Denny Siregar penulis buku Tuhan dalam Secangkir Kopi
Baca juga:
- Hasil Quick Count, AHY Tunggu Data Resmi KPU
- Di Bilik Suara, AHY Coblos Jokowi atau Prabowo?
- Jokowi Presiden Lagi, AHY Menteri Pemuda dan Olahraga?
- Prabowo Masih Yakin Menang Pilpres 2019
- Disebut Jadi Menteri Jokowi, Ini Kata Mahfud MD