Dampak Setelah Premi BPJS Kesehatan Batal Naik

MA membatalkan kenaikan premi BPJS Kesehatan. Pakar UGM Yogyakarta menyebut, dampaknya kemungkinan besar defisit susah tertutup.
Ilustrasi BPJS Kesehatan. (Foto: blog.netray.id/Tagar/Ridwan Anshori)

Yogyakarta - Mahkamah Agung (MA) yang membatalkan kenaikan premi Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) atau sektor pekerja informal dalam Peraturan Presiden (Perpres) No.75/2019 pada awal bulan ini menyebabkan upaya untuk mengurangi defisit melalui kenaikan tarif BPJS untuk premi PBPU menjadi terhambat.

Padahal, sejak 2014 telah terjadi pola defisit dan surplus yang berbeda antara segmen anggota BPJS. Defisit terjadi pada segmen Bukan Pekerja dan Penerima Bantuan Iuran (PBI) Daerah. Hal ini kemudian ditutup dengan menggunakan dana tidak terpakai PBI APBN (masyarakat miskin dan tidak mampu), dan PPU (Pegawai Negeri), serta dana dari APBN.

Suplus atau dana tidak terpakai selalu terjadi dalam segmen PBI APBN (masyarakat miskin dan tidak mampu). Jumlah dana itu tidak terpakai pada PBI APBN sekitar Rp 41 triliun dalam kurun waktu 2014 sampai 2019. Sementara itu, segmen PBPU (masyarakat yang seharusnya mampu) mengalami defisit sejak 2014-2019 sebanyak Rp 93 triliun.

Kebijakan menutup defisit PBPU (masyarakat mampu) dari segmen PBPU dan PPU merupakan diskresi yang telah BPJS Kesehatan lakukan selama enam tahun dengan dasar kebijakan single pool. Kebijakan ini terutama merugikan peserta PBI APBN (masyarakat miskin dan tidak mampu). 

Dana tidak terpakai PBI APBN seharusnya digunakan untuk menjalankan kebijakan kompensasi oleh BPJS untuk memperbaiki akses pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin dan tidak mampu di daerah tertinggal, khususnya Papua, Papua Barat, NTT, dan daerah-daerah lainnya.

Ketua Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FKKMK) UGM, Profesor Laksono Triantoro menilai jika hal ini masih tetap terjadi maka akan membawa beberapa akibat. 

Dana PBI APBN yang naik tinggi akibat Perpres No.75/2019 akan semakin dipakai oleh PBPU yang tetap defisit, BPJS tidak mempunyai dana untuk kebijakan kompensasi bagi masyarakat yang kekurangan fasilitas kesehatan, mutu pelayanan akan semakin sulit dijamin dan penambahan dana akan menjadi tanggung jawab APBN yang sudah melemah.

Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia setiap tahun mengalami peningkatan, tetapi penerimaan pajak masih rendah dengan Tax Ratio sekitar 10-11 persen.

Laksono mengatakan, terdapat dua hal yang terlihat telah diabaikan dalam keputusan MA. Pertama, kemampuan negara (APBN) sangat terbatas untuk mendanai program kesehatan akibat sistem pajak yang lemah. “Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia setiap tahun mengalami peningkatan, tetapi penerimaan pajak masih rendah dengan Tax Ratio sekitar 10-11 persen,” katanya, Selasa, 17 Maret 2020.

Kedua, putusan MA mengabaikan kemampuan masyarakat untuk mendanai pelayanan kesehatan. Peserta PBPU tidak semuanya tidak mampu. Seharusnya peserta PBPU didorong dengan kebijakan agar membelanjakan pendapatannya untuk kesehatan yang tidak bersandar pada APBN yang lemah.

Dengan kondisi tersebut, ia menduga telah terjadi sistem kebijakan populis yang menguntungkan sekelompok rakyat (khususnya PBPU). Sementara itu, sekelompok lain (khususnya yang PBI-APBN) dirugikan karena tidak pernah mendapat kebijakan kompensasi sesuai amanah UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).

“Pasca keputusan MA, kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang single pool dikhawatirkan semakin tidak mencerminkan penerapan sila kelima Pancasila, yakni Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia di JKN,” katanya.

Peneliti PKMK FKKMK UGM, Muhammad Faozi Kurniawan menyatakan, perlunya revisi UU SJSN dan UU BPJS agar dana PBI APBN tadi hanya difokuskan untuk masyarakat miskin dan tidak mampu. “Revisi ini diperlukan karena situasi saat ini telah menyimpang dari nilai-nilai Pancasila yang telah disepakati sebagai ideologi negeri ini,” ujarnya.

Selain itu, Faozi juga mengimbau agar masyarakat mampu (peserta PBPU yang tidak jadi naik premi) untuk tidak menggunakan fasilitas BPJS. Hal ini perlu dilakukan untuk mengurangi tekanan pengeluaran BPJS.

“Saya harapkan peserta PBPU yang mampu agar menggunakan askes komersial atau dana langsung mandiri. Kemudian, bagi hampir separuh peserta PBPU yang menunggak, diharapkan agar tertib membayar,” ujarnya. []

Baca Juga:

Berita terkait
KPCDI Minta Pemerintah Patuhi MA Soal BPJS
KPCDI meminta pemerintah mematuhi putusan MA yang menurunkan kembali iuran BPJS.
Pengembalian Iuran BPJS Tunggu Rakor Menko PMK
Dirut BPJS Kesehatan Fachmi Idris mengungkapkan akan ada rakor dengan Menko PMK dan Menkeu terkait pembatalan kenaikan iuran pasca putusan MA.
Ini Kata BPJS Mamuju, Pembatalan Kenaikan Iuran
BPJS kantor cabang Mamuju, hingga saat ini belum menerima salinan putusan dari Mahkama Agung (MA) terkait pembatalan kenaikan iuran BPJS.
0
Video Jokowi 'Menghadap' Megawati Sangat Tidak Elok Dipertontonkan
Tontonan video Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) yang sedang bertemu dengan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarno Putri, sangat tidak elok.