Jakarta - Industri asuransi di Tanah Air bakal mendapat tantangan baru seusai penetapan virus corona (COVID-19) sebagai pandemi oleh organisasi kesehatan dunia World Health Organization (WHO), Rabu, 11 Maret 2020.
Pasalnya, selama ini industri asuransi cenderung hanya mau mengcover klaim nasabah berdasarkan gejala epidemi (lokal) dan bukan pandemi (wabah).
Presiden Direktur PT Tugu Reasuransi Indonesia Adi Pramana mengatakan pelaku usaha industri perlu mencermati kembali wording atau perjanjian asuransi yang disepakati antara perusahaan dengan nasabah.
“Kalau sudah pandemi ini harus diperhatikan dengan cermat, kadang-kadang ada yang secara spesifik bilang pandemi atau tidak," kata Adi Pramana kepada Tagar di Jakarta, Kamis, 12 Maret 2020.
Baca juga: Prudential Cover WNI yang Terinfeksi Virus Corona
Menurut Adi jika beberapa perusahaan asuransi tetap memasukan virus corona sebagai pertanggungan dalam klausul perjanjian, maka diperkirakan besaran premi bakal ikut melonjak.
Hal ini seiring dengan proyeksi pertumbuhan jumlah nasabah yang akan terus naik seiring dengan pembelian produk. “Kalau corona ini tidak recovery cepat dan memang ternyata dicover juga oleh perusahaan asuransi, besaran preminya pasti akan naik,” tutur dia.
Kalau sudah pandemik ini harus diperhatikan dengan cermat.
Sebagai contoh, Adi membandingkan kasus corona saat ini dengan peristiwa kekacauan pada 1998 lalu. Saat itu, belum ada ketentuan baku dari industri asuransi dalam negeri yang mengatur pertanggungan atas dampak kerusuhan.
Dia berkeyakinan bahwa pandemi COVID-19 setidaknya dapat menjadi acuan tersendiri dalam menyusun peta biru penanganan klaim nasabah.
“Kejadian riot 1998 lalu itu kan tidak ada aturannya di industri, bagaimana pelaku usaha bisa mengganti aset nasabah. Namun, kemudian dibuatlah wording baru,” katanya.
Sepanjang 2019 pertumbuhan industri keuangan nonbank (IKNB), khususnya sektor asuransi, tergolong cukup terjaga. Mengutip data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), piutang pembiayaan industri asuransi naik 3,66 persen menjadi Rp 452 triliun dari sebelumnya Rp 436 triliun pada 2018.
Selain itu, rasio solvabilitas kesehatan finansial (risk based capital/RBC) perusahaan asuransi jiwa diketahui tumbuh dari sebelumnya sebesar 441 persen pada 2018 menjadi 789 persen pada 2019. Adapun, RBC asuransi umum juga naik dari 332,5 persen menjadi 345 persen pada tahun lalu. []