Cerita Pacuan Kuda Tradisional di Tanah Gayo Sejak Turun-temurun

Ini cerita pacuan kuda tradisional di Tanah Gayo sejak turun-temurun.
Joki cilik mengikuti balapan pacuan kuda di lapangan pacuan kuda Sengeda, Bener Meriah, Minggu 13 Januari 2019. Saat ini pacuan kuda tradisional di tanah Gayo digelar empat kali dalam setahun, masing-masing dua kali di kabupaten Aceh Tengah, dan satu kali di Kabupaten Bener Meriah dan Gayo Lues. (Foto: Tagar/Fahzian Aldevan)

Bener Meriah, (Tagar 2/3/2019) - Selain terkenal dengan citra rasa kopi dan pesona alamnya dataran tinggi tanah Gayo juga menyimpan segudang sejarah dan budaya yang tidak kalah menarik untuk ditelusuri. Salah satunya ialah atraksi pacuan kuda tradisional ikut menghiasi daya tarik destinasi wisata berkunjung ke tanah Gayo.

Hidup di areal perbukitan yang menjulang dan cuaca yang sejuk berselimut kabut, rupanya sejak dahulu masyarakat di tanah Gayo larut dalam budaya memelihara kuda. Kebiasaan inilah pada akhirnya membawa dan juga menempatkan kuda menjadi simbol harga diri, gengsi, serta silaturahmi.

Untuk menyalurkan hobi berkuda, orang-orang di wilayah ini pun  menggelar lomba pacuan kuda tradisional menjadikan pesta rakyat dan ajang silaturahmi di tanah Gayo yang meliputi daerah Kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah dan Gayo Lues. Sebab bagi masyarakat setempat merawat kuda tak lagi sekadar hobi. Dan, pertarungan menjadi ajang pembuktian kuda-kuda jagoan dan menjadikannya sebagai event sakral.

Saat ini pacuan kuda tradisional di tanah Gayo digelar empat kali dalam setahun, masing-masing dua kali di Kabupaten Aceh Tengah, dan satu kali di Kabupaten Bener Meriah dan Gayo Lues.

Pacuan kuda tradisional ini konon sudah dilakukan sebelum Belanda menjajah Indonesia, dan digelar setelah musim panen yang biasa bertepatan dengan bulan Agustus yang saat itu cuacanya sangat cerah.

Dalam catatan sejarahnya seperti dikutip dari buku Permainan Tradisional di Dataran Tinggi Gayo yang ditulis Piet Rusydi dari Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Banda Aceh tahun 2011, yang ditulis di lintas Gayo, pacuan kuda tradisional digelar sekitar tahun 1850 dengan arena pacuan melintasi Wekef hingga Menye berjarak kurang lebih 1,5 kilometer, rutenya waktu itu memanjang, bukan memutar seperti saat ini.

Sebelum masyarakat Gayo mengenal sarana transportasi modern, kuda memiliki peran penting dalam banyak hal di Gayo terutama sebagai sarana transportasi barang dan manusia serta kegiatan olah tanah di sawah waktu itu.

Pacuan Kuda AcehPemilik kuda melakukan pemanasan terhadap kuda sebelum bertanding di arena pacuan kuda Sengeda, Bener Meriah, Minggu 13 Januari 2019. (Foto: Tagar/Fahzian Aldevan)

Sementara itu versi lainnya yang ditulis AR Hakim A Pinan dalam buku Pesona Tanoh Gayo, pacuan kuda sudah ada sebelum kedatangan Belanda ke daerah itu. Belanda mulai masuk ke Dataran Tinggi Gayo sejak tahun 1903, ketika ekspansi Overstee van Daelan ke Gayo Lues.

Pelaksanaan pacuan kuda di masa itu berlangsung sejak matahari terbit (sekitar pukul 08.00 pagi) sampai matahari sepenggalahan (sekitar pukul 10.00 WIB). Setelah itu, peserta istirahat makan siang dan salat Zuhur. Bakda Asar, sekitar pukul 16.00 WIB, pacuan kuda dilanjutkan kembali sampai menjelang Magrib (sekitar pukul 18.00 WIB).

Menariknya saat itu salah satu persyaratannya pacuan kuda ini, joki tidak dibenarkan menggunakan baju (telanjang dada). Kemudian, kepada para pemenang tidak disediakan hadiah. Lantas untuk apa mereka ikut serta memacu kudanya di arena itu? Mencari prestise atau gah (dalam bahasa Gayo) dari kampung asal kuda yang ikut berpacu itu.

Pihak Belanda memandang pacuan kuda bisa dijadikan wahana pengikat persatuan warga. Oleh karena itu, pada tahun 1912, pemerintah Kolonial Belanda memindahkan arena pacuan kuda dari Pante Menye, Bintang, ke Blang Kolak Takengon.

Pacuan kuda di era pemerintah Kolonial Belanda tidak sepenuhnya mengacu kepada konsep pesta rakyat, tetapi ditujukan untuk memperingati Hari Ulang Tahun Queen Wilhelmina. 

Supaya warga bersedia mengikutsertakan kudanya dalam acara pacuan itu, pihak Belanda menyediakan beragam hadiah mulai dari uang makan kuda, hadiah, piagam, dan tropinya adalah jam weker yang khusus diberikan kepada sang jawara.

Semasa pacuan kuda berlangsung di Pante Menye, arena pacuan sebentang garis lurus dari Selatan ke Utara. Saat lomba pacuan kuda dipindahkan ke Blang Kolak Takengon, arena pacuannya dibuat oval yang dipagari dengan batang rotan besar. Para joki penunggang kuda tidak lagi bertelanjang dada, tetapi disediakan pakaian berwarna sebagai penanda asal agar mengenali pemilik kuda.

Kuda-kuda yang diperbolehkan berlomba adalah yang berasal dari seluruh wilayah onder-afdeling Takengon dan sekitarnya. Penonton juga tidak dibatasi, ada anak-anak, remaja, orang dewasa, pria dan wanita. []

Baca juga:

Berita terkait
0
Setahun Bekerja Satgas BLBI Sita Aset Senilai Rp 22 Triliun
Mahfud MD, mengatakan Satgas BLBI telah menyita tanah seluas 22,3 juta hektar atau senilai Rp 22 triliun setelah setahun bekerja