Syahrudin Nosra, Keluarga Turun Temurun Merawat Kuda

Syahrudin Nosra, keluarga turun temurun merawat kuda diTanah Gayo. Ini kisahnya.
Syahrudin Nosra (65 tahun) mengikuti ajang pacuan kuda di lapangan Sengeda, Kabupaten Bener Meriah, Aceh. Syahrudin Nosra tinggal di Desa Tingkem Benyer, Kecamatan Bukit, Kabupaten Bener Meriah, memiliki tujuh ekor kuda dan semua kuda miliknya ikut dalam arena pacuan.(Foto: Tagar/Fahzian Aldevan)

Bener Meriah, (Tagar 2/3/2019) - Syahrudin Nosra (65 tahun) salah satu dari sekian banyak para pecinta kuda di daerah dataran tinggi tanah Gayo yang menganggap kuda adalah bagian dari hidupnya. Apalagi dirinya sudah dari kecil bersahabat dengan kuda.

Ditemui Tagar News, Minggu 13 Januari 2019 di lapangan pacuan kuda Sengeda, Bener Meriah, Pria paruh baya itu sibuk mondar-mandir ke area pacuan kuda.

“Kuda Borneo kelas D tua juara tiga,” kata Syahrudin sambil mengajak Tagar News ke tenda tempat kudanya beristirahat sebelum bertanding.

Syahrudin mengaku tidak pernah absen sekalipun kudanya ikut arena pacuan. Kata dia pertandingan pacuan kuda yang menghabiskan waktu satu minggu itu ikut memboyong keluarga termasuk anak dan cucu, juga tetangga untuk datang ke lokasi. Bukan sekadar datang, Syahrudin juga di lokasi ikut membangun sebuah warung sementara untuk mencari rezeki lebih.

“Yang jaga itu anak saya, ya sambil cari rezeki lebih, karena semua orang di sini biasanya ngumpul di arena pacuan kuda kalau sudah dibuat pertandingan,” tutur Syahrudin sambil menunjukkan warungnya yang tepat di belakang dibuat tempat istirahat kuda sebelum bertanding.

Sampai di tempat karantina kuda, Syahrudin mulai menceritakan bahwa dirinya mencintai kuda sudah turun-temurun.

“Sejak kecil sudah bersama kuda dari ayah dulu sekitar tahun 80 an sudah mulai bermain kuda, bahkan kalau dengar dari ayah sana, dari kakek pun sudah ada,” ungkapnya.

Syahrudin yang tinggal di Desa Tingkem Benyer, Kecamatan bukit, Kabupaten Bener Meriah ini memiliki sebanyak tujuh ekor kuda dan semua kuda miliknya ikut dalam arena pacuan.

“Dulunya masih rawat sendiri, tapi sekarang sudah diurus sama tim dan tukang rawat, sebab usia tak kuat lagi seperti dulu,” ujarnya.

Syahrudin  tidak tahu pasti kapan pacuan kuda mulai diberlakukan di daerahnya.  “Pokoknya sejak saya lahir sudah mulai pacuan kuda, namun hanya di Takengon saja. Sekarang sudah ada di Bener Meriah dan Blangkejeren,” imbuhnya.

Pacuan Kuda AcehKeluarga Syahrudin Nosra usai mengambil piala di Lapangan Sengeda, Kabupaten Bener Meriah, Aceh, Minggu 13 Januari 2019. (Foto: Tagar/Fahzian Aldevan)

Memang kuda sudah akrab dengan masyarakat daerah tanah Gayo sudah begitu lama, hanya saja dulunya kuda dipakai masyarakat setempat sebagai bantuan saat kepentingan di sawah, bukan sebagai pertandingan pacuan.

“Jauh sebelumnya kuda dipakai untuk ke sawah, baik menghancurkan tanah ataupun membajak sawah,” kenangnya.

Syahrudin beranggapan, tiap momen balapan kuda tiba, dirinya bersama keluarga selalu menjadi bagian terpenting untuk menghadirkan kuda jagoannya bertarung.

“Sudah rutinitas ya, bagi kami momen silahturahmi untuk mempersatukan orang Gayo, dari Gayo, Blangkejeren, Bener Meriah, Takengon semua berkumpul saat pacuan kuda,” terangnya.

Saat ditanyai biaya yang dikeluarkan untuk per ekor kuda, Syahrudin menyebutkan berkisar antara Rp 60 juta hingga Rp 150 juta.

“Kalau kuda impor mahal lagi,” sebutnya.

Ia juga mengungkapkan harga kuda juga sangat berpengaruh dalam pertandingan di arena pacuan, sebab jumlah kemenangan maupun kekalahan ikut merambah kepada nilai jual kuda.

“Harga tergantung kemenangan, kalau sudah kalah dalam arena pacuan bisa jadi turun,” sebutnya.

Sebenarnya kata Syahrudin, harga mahal maupun murahnya tidak banyak berpengaruh pada bagus atau tidaknya kuda, yang terpenting ialah bagaimana merawat kuda tersebut. Syahrudin sendiri dalam sebulan mampu menghabiskan biaya berkisar Rp 4 juta hingga Rp 5 juta untuk ongkos perawatan kudanya.

“Untuk makan 2 juta, pelatih, tukang urus, ya kalau dihitung-hitung 5 juta bisa habis satu dalam bulan,” sebutnya.

Sejak dari awal, Syahrudin hingga saat ini sangat banyak perubahan yang terjadi dalam balapan kuda, perubahan itu kata dia diikuti dengan perkembangan zaman.

“Dulu waktu saya kecil, kuda ditarik atau dijalankan sendiri kadang, kuda misal dari Bener Meriah menuju Takengon, kadang berhari-hari baru sampai ke arena pacuan, tapi kan sekarang lebih mudah sebab sudah ada mobil,” pungkasnya.

Selain itu kata dia perbedaan lainnya ialah kuda saat ini saat pertandingan tidak alami lagi.

“Bedanya dulu kuda masih alami, tapi sekarang kan sudah banyak dikasih obat-obatan agar kuat,” ungkapnya. []

Baca juga:

Berita terkait
0
Serangan ke Suharso Monoarfa Upaya Politik Lemahkan PPP
Ahmad Rijal Ilyas menyebut munculnya serangan yang ditujukan kepada Suharso Manoarfa merupakan upaya politik untuk melemahkan PPP.