Bungaran Antonius Simanjuntak Mengadu ke Roh Bung Karno

Agustus 1960 di Pelabuhan Belawan, dari atas kapal, anak muda itu melambaikan tangan entah pada siapa. Anak muda itu Bungaran Antonius Simanjuntak.
Bungaran Antonius Simanjuntak dan buku kumpulan puisinya berjudul 'Kepada Bung Karno', Senin, 13 Agustus 2019. (Foto: Tagar/Tonggo Simangunsong)

Medan Awal Agustus 1960 di Pelabuhan Belawan, dari atas kapal KM Kangean No 1, anak muda itu melambaikan tangan. Anak muda itu Bungaran Antonius Simanjuntak.

Tapi entah kepada siapa ia melambaikan tangan pada saat itu, sebab tidak seorang pun yang mengantarkannya menuju tanah rantau untuk menimba ilmu. 

Ia tetap berangkat meski orangtuanya melarang. Yogyakarta adalah tujuannya. Daerah istimewa itu dipilihnya karena di sana berdiri universitas, tempat menempah orang-orang hebat, cendekiawan, bangsawan bahkan pemimpin negara yang disegani.

“Ketika orang goodbye, aku ikut melambaikan tangan, tapi tak tahu melambaikan ke siapa. Karena tidak ada yang mengantarkanku saat itu,” ujar Prof Dr Bungaran Antonius Simanjuntak, yang lebih akrab dikenal Prof BAS kepada Tagar, Senin, 13 Agustus 2019.

Tekad harus ke Yogyakarta bermula ketika ia masih duduk di bangku kelas satu SR (Sekolah Rakyat) Taman Siswa di Kiman, Tebingtinggi. 

Pidato Bung Karno saat menerima gelar Honoris Causa bidang ilmu hukum dari UGM pada 19 September 1951 di Siti Hinggil Keraton Yogyakarta, begitu membekas dalam ingatannya.

Sejak itu ia bertekad ingin mengikuti jejak Sang Proklamator, setidaknya meraih gelar doktor dari universitas impiannya.

“Sebagai tokoh penggali Pancasila, sejak saat itu saya begitu mengagumi pemikirannya,” kata BAS.

Tak seperti anak-anak umumnya yang bisa mengubah cita-citanya sewaktu-waktu, bocah itu pun menjadikan Bung Karno sebagai panutan. Maka, ketika tamat dari SMA Negeri II Pematangsiantar pada 1960, ia pun memutuskan merantau dari Medan ke Yogyakarta.

Tidak ada famili di Jawa. Itulah alasan larangan orang tuanya saat itu.

"Tapi aku tidak peduli. Tekadku sudah bulat harus berangkat ke Yogya. Padahal waktu itu saya tidak tahu seperti apa itu UGM dan Yogyakarta, tapi saya tetap ingin berangkat,” kisahnya.

Awal perjalanan itu ia rekam dalam puisi berjudul Di Atas KM Kangean.

Mereka yang di geladak kapal masih menyeka air mata

Tapi aku tidak menyeka apa-apa

karena aku tidak diantar oleh ayah bunda

walau negeri tujuanku adalah kota yang lama kudambakan

Jauh di sana katanya di kaki Gunung Merapi.

Puisi itu mengawali kumpulan puisi dan prosa berjudul Kepada Bung Karno.

Ditulis dalam rentang waktu tahun 1960-2014 dan diterbitkan oleh Penerbit Obor.

Di sana ia menuliskan setiap peritiswa yang membekas di hati, refleksi alam pemikiran hingga pengaduannya ke roh Bung Karno atas kegelisahannya terhadap situasi bangsa yang masih dijajah dengan gaya baru (neo colonialism).

Suruh pulang, itu mau nyogok kita.

Bungaran SimanjuntakProf Dr Bungaran Antonius Simanjuntak menerima Anugerah Pagari dari Yayasan Pelestari Kebudayaan Batak (YPKB). Ia dinilai sebagai antropolog yang berjasa terhadap kajian budaya masyarakat Batak. (Foto: Tagar/Tonggo Simangunsong)

Mengejar Mimpi

Impian anak muda kelahiran Sipahutar, Tapanuli Utara, 24 Juni 1941 itu akhirnya tercapai. Pada 1967 ia berhasil menyelesaikan pendidikan di Jurusan Sosiologi FISIPOL UGM, Pumasarjam Sosiologi UGM tahun 1976, Post Graduate Culutural Anthropology Universitas Leiden Belanda tahun 1978, dan Program Doktor Sosial Politik/Sosiologi UGM tahun 1995.

Ketika kembali ke Medan, 1969, ia menjadi Dosen di IKIP Medan, sekarang Universitas Negeri Medan. Ia ikut mendirikan Fisipol Universitas Sumatera Utara bersama Prof Drs Adam Nasution dan pengajar luar biasa sejak 1980-1985.

Namun, profesi sebagai akademisi tak cukup baginya untuk mengaplikasikan ilmunya. Sejak awal tahun 1980-an, Guru Besar Emeritus Sosiologi dan Antropologi Universitas Negeri Medan itu aktif sebagai aktivis.

Ia ikut mendirikan NGO Kerabat Pencinta Alam dan Peradaban (Batara) 1980 di IKIP Medan, Lembaga Silsilah Indonesia (LSI) thn 1979 di Medan, Lembaga Studi Kebudayaan Indonesia (LSKI) di Medan 1985 dan Kelompok Studi Penyadaran Hukum (KSPH) 1983 yang kemudian berganti nama menjadi Kelompok Studi Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) pada tahun 1985.

Melalui lembaga inilah ia berjuang bersama rakyat melawan pejabat dan perusahaan yang dituduh merampas tanah milik rakyat di Tanah Batak.

Fernando Mati Ditembak

Kematian Fernando Sitorus, warga Sirait Uruk, Porsea, merupakan salah satu titik puncak perjuangan BAS di KSPPM bersama rakyat di Tanah Batak. 

Ketika itu rakyat meradang menuntut tanah mereka yang dikuasai perusahaan yang memproduksi rayon dan serat.

Ketika aksi, polisi turun dengan memegang senjata. Anak muda, anak salah satu warga itu menjadi sasaran timah panas. 

“Dia mati di tempat,” cerita BAS.

Selanjutnya gerak-gerik KSPPM diintai. Intel mengikuti setiap gerakan yang mereka lakukan. Setiap rapat dimata-matai. Bahkan polisi pernah membubarkan rapat mereka.

Mereka dilaporkan ke polisi dengan tuduhan penghasut rakyat. 

“Waktu itu diadukan Gubernur Sumatera Utara EWP Tambunan, kami pun harus berhadapan dengan gubernur, terutama dari Dinas Sosial Politik. Kebetulan marga Simanjuntak, Edward Simanjuntak. Masih saudara saya. Saya lawan dia terus,” ceritanya.

Ketika mereka mengkritik lembaga gereja yang menerima bantuan dari perusahaan itu melalui skema CSR, muncul tuduhan komunis dan anti agama kepada mereka.

“Ketika kami aksi, kami ajak polisi berdoa,” cerita BAS untuk menunjukkan bahwa kritikan yang mereka sampaikan tidak berarti mereka anti gereja atau agama.

Bungaran SimanjuntakProf Dr Bungaran Antonius Simanjuntak di perpustakaan pribadinya. (Foto: Tagar/Tonggo Simangunsong)

Ada kalanya perjuangan mereka seperti dalam sunyi saat sosok yang mereka ajak sebagai guru, malah ikut membelot, mengajak moratorium perlawanan. Ia kecewa ketika SAE Nababan, ketika sebelum Ephorus HKBP mengajari

KSPPM melawan. Namun, ketika menjadi Ephorus mengajak moratorium.

“Mr. Bill bagaimana kamu mencuci otak dia? Dulu dia mengajari kami melawan, sekarang kok jadi pro ke kamu,” ujar BAS lantang dalam sebuah seminar yang dihadiri langsung SAE Nababan dari Mr. Bill, petinggi Indorayon saat itu.

Mereka paham bahwa perjuangan tak mudah ketika yang dihadapi adalah perusahaan yang memiliki kekuatan uang raksasa.

Godaan itu pun pernah menghampiri mereka. Satu bagasi mobil uang pernah ditunjukkan, tanpa memberi maksud apa-apa. Namun, BAS menyuruh sekretarisnya agar si pembawa uang balik kanan.

“Suruh pulang, itu mau nyogok kita,” katanya saat itu.

Ia terus melawan dan menyerukan perlawanan.

“Tidak boleh TPL angkat kaki sebelum dia bayar sewa pinjam pakai tanah rakyat selama 30 sekian tahun. Bayar! Harus ganti rugi rakyat karena jalan jadi rusak. KSPPM menyuarakan itu terus, makanya mereka benci saya,” katanya.

Kegelisahan Tak Berakhir

Saat ini, kegelisahan dan perlawanan tidak hanya kepada PT Toba Pulp Lestari (TPL) yang dulu bernama PT Inti Indorayon Utama, perusahaan yang dituduh menguasai lahan-lahan masyarakat di tanah Batak dan merusak ekosistem lingkungan di kawasan Danau Toba.

Belakangan, muncul PT Aquafarm (Regal Springs Indonesia), Allegrindo, Japfa dianggap sebagai musuh baru perlawanan. Menurut BAS kehadiran perusahaan ini muncul setelah “belajar” dari TPL yang masih berdiri.

Perjuangan yang dibangun sepertinya masih menghadapi jalan yang panjang. Ia tidak tahu perjuangan akan usai.

“Itu tergantung pemerintahnya,” kata BAS ketika ditanya kapan semua perusahaan itu bisa ditutup.

“Sepanjang pemerintahnya tidak punya kemauan, perusahaan itu akan tetap berdiri bahkan akan bertambah,” kata antropolog yang sudah menulis lebih dari 30 buku itu.

Itulah kegelisahan BAS yang terus membuncah hingga semua rambutnya memutih. Tak sebentar, rasanya perjuangan belum selesai. 

Selama 30 tahun lebih ia melawan bersama rakyat di Tanah Batak, namun sepertinya tidak ada yang mendengar.

Kegelisahan itu menambah catatan yang ia tuliskan dalam bukunya Kepada Bung Karno, sang panutan. Ia adalah roh yang ia anggap masih bisa dijadikan pengaduan. Sosok yang ia rindukan untuk mengubah bangsa ini yang ternyata masih dalam penjajahan gaya baru.

Kegelisahan itu ia tuliskan dalam prosa, ibarat doa yang diharapkan dapat menjadi harapan. Ia mengadu kepada Bung Karno, sosok panutan yang rasanya tidak seorang yang mengikuti jejaknya.

Bungaran SimanjuntakProf Dr Bungaran Antonius Simanjuntak hadir dalam diskusi publik Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) di Medan. (Foto: Tagar/Tonggo Simangunsong)

Pengaduan itu ia tuliskan dalam prosa Laporan Kepada Bung Karno.

….

Bung Karno, maaf

mereka pengkhianat bangsa

pengkhianat cita-cita kamu !!

terkutuk mereka

demi darah rakyat miskin

yang mati untuk merdeka

merdeka !!

Puisi lain, Suksesi di Atas Danau Toba ikut menggambarkan kegelisahan BAS. Puisi ini bercerita tentang seorang ayah dan putranya. Dia mewariskan kehidupan di Danau Toba kepada anaknya sebagai penangkap ikan.

Dia serahkan sampan, hole (dayung), mandar (sarung), tahuluk (kupiah) dan pesan-pesan menyanyikan O Ale Alogo supaya dapat ikan. Tidak lebih dari sebuah pesan kepada anak.

“Ini perahuku, naiklah warisan oppungku dari oppungnya,” BAS membacakan potongan puisi itu.

Sudah kuberi semua,

Terimalah demi moyang kita

Aku dan kau

Tugasku sudah selesai

Sekarang giliranmu

“Ini bisa dikatakan sebagai pesan kepada generasi muda. Tugasku sudah selesai soal Indorayon, Aquafarm, Japfa, Allegrindo. Perjuangan ini sekarang diwariskan untuk generasi berikutnya. Sekarang giliranmu,” katanya.

Warisan yang sangat berat, yaitu sebuah perjuangan menyelamatkan orang Batak. Tidak mengutus, tapi memberi semangat. Tujuannya menyelamatkan Tanah Batak dan Danau Toba.

“Semua persoalan ada di sini, jadi saya mengadu ke Bung Karno. Ini sebenarnya sudah saya tulis sejak masih SMA. Saya tulis, karena tidak saya tulis bisa lupa. Tulisan prosa,” katanya.

Mengadu kepada roh Bung Karno adalah jalan kegelisahan atas perjuangan yang tidak pernah didengar. Sekaligus kerinduan terhadap sosok pemimpin yang berani mengatakan go to hell with your aid.

“Bung Karno yang mengajari saya lewat tulisan-tulisannya. Buku Di Bawah Bendera Rovolusi jilid 1 dan 2 sudah saya baca semua. Juga pidato-pidatonya, saya pelajari,” ujarnya.

Ketika berkunjung ke makam Soerkarno di Blitar, BAS meninggalkan buku itu di atas batu nisannya. “Saya letakkan di makamnya di Blitar.”

Kini, harapannya ada pada Presiden Jokowi. Jika harapannya itu juga tak didengar, maka tidak ada lagi harapan. 

“Saya akan kecewa berat. Sekarang saya sedang buat puisi untuk dia. Mumpung saya masih hidup,” BAS masih berharap suaranya kelak akan didengar. []

Berita terkait
Profesor Ini Tolak Uang Satu Mobil dari Perusak Danau Toba
Guru Besar Sosiologi dan Antropologi Budaya Unimed itu ketika masih aktif di KSPPM, tak jarang mendapat intimidasi.
Kondisi Ekosistem Danau Toba Sedang Menuju Kehancuran
Saat ini ekosistem Danau Toba mengalami gangguan (disturbance), sehingga jasa ekosistem yang diperoleh tidak lagi maksimum.
Usaha menyelamatkan Danau Toba dari Sampah Plastik
Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Tapanuli Utara bekerja sama dengan Gereja Cleve Jerman gelar seminar pengelolaan sampah yang benar.
0
Video Jokowi 'Menghadap' Megawati Sangat Tidak Elok Dipertontonkan
Tontonan video Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) yang sedang bertemu dengan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarno Putri, sangat tidak elok.