Medan - Pendiri Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) Profesor Dr Bungaran Antonius Simanjuntak (BAS) berbagi pengalaman memperjuangkan kawasan Danau Toba dari upaya-upaya perusakan lingkungan.
Bungaran menuturkannya saat hadir di acara diskusi publik yang digelar GMKI Cabang Medan di Aula PKM GMKI di Jalan Iskandar Muda, Kota Medan, Jumat 9 Agustus 2019 lalu.
Narasumber diskusi saat itu, antara lain Wilmar Simanjorang (Penggiat Lingkungan Kawasan Danau Toba), Erika Pardede (Dosen UHN), Suryati Simanjuntak (KSPPM), Manambus Pasaribu (Bakumsu) dan perwakilan dari Pemprov Sumatera Utara.
"Dulu kami berjuang sendiri sampai dikejar-kejar. Ada yang sampai ditangkap. Kami harus rapat berpindah-pindah," kata penulis buku "Konflik Status dan Kekuasaan Orang Batak Toba" (1994) itu.
Guru Besar Sosiologi dan Antropologi Budaya Universitas Negeri Medan (Unimed) itu berkisah, ketika masih aktif di KSPPM, tidak jarang mereka mendapat intimidasi, pengejaran dan ancaman bahkan berbagai upaya penyuapan agar mereka berhenti bersuara.
"Suatu kali seorang petinggi di perusahaan itu menelepon saya. 'Ada apa?' Kubilang. 'Amangboru, jumpalah dulu kita'. Terus disuruh datang ke kantornya. Kalau kau perlu kau yang datang ke kantorku. Besoknya dia datang ke kantor KSPPM bawa uang satu mobil. Lalu, saya bilang go to hell uangmu itu," kata Bungaran yang lalu disambut tepuk tangan mahasiswa GMKI yang hadir pada saat itu.
Perusahaan yang dimaksud Bungaran adalah perusahaan besar yang beroperasi di kawasan Danau Toba dan sampai saat ini masih dituduh sebagai salah satu perusak ekosistem lingkungan di kawasan Danau Toba.
"Mereka ini pintar, lho. Jangan salah. Kenapa pintar," katanya. "Mereka pintar mengambil hati masyarakat dan bahkan mengadu domba masyarakat di kawasan Danau Toba. Perusahaan tersebut juga mendudukkan orang-orang Batak di perusahaan tersebut dan memberi jabatan penting," sambungnya.
Bahkan mereka juga suka menyalurkan bantuan ke masyarakat dengan bentuk corporate social responsibility (CSR). Melalui CSR itulah mereka masuk ke masyarakat.
Ia mencontohkan, jika nanti Sigapiton, Kabupaten Tobasa melawan, maka mereka akan melakukan cara-cara "pintar".
"Nanti mereka bisa buat apa saja di sana karena mereka punya uang. Mereka bisa saja buat misalnya sopo (rumah) buku di sana untuk mengambil hati masyarakat," katanya.
Seperti diketahui, saat ini masyarakat Sigapiton sedang menghadapi persoalan kepemilikan tanah sejak kawasan tersebut mulai dikembangkan menjadi destinasi wisata Danau Toba.
"Kami sudah menulis kasus-kasus di Danau Toba. Bahkan, kami sudah mengadu kepada roh Bung Karno. Kami sampaikan bahwa Tao Toba menangis," katanya. []