Melbourne - Referendum kemerdekaan Bougainville dari Papua Nugini (PNG) akan berlangsung pada 23 November sampai 7 Desember 2019. Bougainville merupakan pulau seluas 9.300 kilometer persegi yang memiliki pemerintahan provinsi dengan otonomi khusus.
Referendum merupakan solusi atas perang sipil yang terjadi di Bougainville sejak 1988-1997. Nantinya, hasil referendum akan menentukan nasib kawasan tersebut apakah menjadi negara merdeka atau tetap jadi bagian dari Papua Nugini tetapi dengan otonomi lebih luas.
Ketua Komisi Referendum Bougainville, Bertie Ahern, menyebut dalam pelaksanaan referendum nanti dunia ikut mengawasi. Oleh sebab itu ia berharap seluruh tahapan pemungutan suara dapat berjalan damai dan penuh suka cita.
"Saya menyampaikan ucapan selamat kepada dua pemerintah dan rakyat Bougainville atas momen bersejarah ini. Satu langkah lagi untuk ambil bagian dalam sejarah yang diakui dunia internasional sebagai proses transisi kuasa yang damai," kata Ahern yang juga mantan perdana menteri Irlandia dalam pernyataan tertulis, Jumat, 27 September 2019, seperti dilansir Antara.
Sebelumnya, pemungutan suara untuk referendum sempat ditunda selama dua kali pada tahun ini karena penyelenggara kesulitan menghimpun daftar pemilih yang dapat dipercaya.
Pasalnya, lebih dari 202.000 rakyat Bougainville akan berpartisipasi dalam referendum itu.
Sesuai dengan kesepakatan damai yang ditandatangani setelah perang sipil berakhir pada 1998, Bougainville memiliki waktu hingga pertengahan 2020 untuk menyelenggarakan referendum.
Perang sipil antara Bougainville dan pemerintah Papua Nugini diyakini terkait dengan perebutan kuasa atas lahan tambang tembaga raksasa, Panguna.
Konflik bermula dari perdebatan atas bagaimana keuntungan dibagi, tetapi pertentangan itu justru memaksa perusahaan tambang multinasional, Rio Tinto, yang menambang di sana berhenti beroperasi.
Saat itu, tambang menjadi sumber pendapatan utama bagi Papua Nugini. Tembaga yang ditambang di Panguna mampu menguasai tujuh persen dari produksi tembaga dunia.
Perang sipil antara tentara pemberontak Bougainville dan angkatan bersenjata Papua Nugini menyebabkan 20.000 warga tewas. Insiden itu dinilai sebagai konflik terburuk sepanjang masa yang terjadi di kawasan Oceania sejak Perang Dunia II. []