Bertelepon di Kabin Pesawat Terbang Sebagai Snobisme

Sering terjadi awak kabin pesawat terbang bertengkar dengan penumpang yang ngotot tetap pakai ponsel, ini merupakan snobisme dan budaya kampungan
Banyak terjadi perselisihan antara penumpang dan awak pesawat karena ada penumpang yang menolak mematikan ponsel setelah duduk di dalam kabin pesawat terbang (Foto: scmp.com/SCMP Pictures).

Oleh: Syaiful W. Harahap*

TAGAR.id - “Cekcok dengan Wakil Ketua KPK, Mumtaz Rais: Remeh-temeh 16.” Ini judul berita di Tagar, 16 Agustus 2020. Bagi Mumtaz Rais menelepon di dalam kabin pesawat mungkin remeh-temeh, tapi bagi warga negara yang taat hukum dan mempunyai tanggung jawab moral menelepon dari kabin pesawat bukan remeh-temeh.

Bertelepon dari dalam kabin pesawat terbang, apalagi sudah di taxiway, runway dan di udara terkait dengan perbuatan yang melawan hukum. Dari aspek lain hal itu juga bisa merupakan snobisme dan ‘budaya kampungan’. Keangkuhan penumpang yang tetap ngotot pakai ponsel akan berubah 360 derajat ketika pesawat terguncang di udara.

Selama pemerintah belum mencabut larangan bertelepon dari kabin pesawat terbang, maka tidak ada alasan bagi penumpang untuk memakai telepon sejak masuk ke kabin pesawat sampai meninggalkan apron bandar udara (Bandara). Lain halnya kalau naik pesawat terbang dengan maskapai yang menyediakan Wi-Fi di kabin tentu tidak ada larangan pakai ponsel.

1. Pertengkaran Awak Kabin dengan Penumpang Ngotot Hidupkan Ponsel

Di Indonesia ada UU Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan yang melarang memakai perangkat elektronik yang memancarkan sinyal di dalam kabin pesawat terbang karena bisa mengganggu radar dan navigasi pesawat serta komunikasi pilot dengan Air Traffic Controller (ATC).Selain itu sinyal yang dipancarkan ponsel pun bisa mengganggu alaram kebarakan di bagasi. Larangan diatur pada Pasal 54 huruf f: "Setiap orang di dalam pesawat udara selama penerbangan dilarang mengoperasikan peralatan elektronik yang mengganggu navigasi penerbangan."

Tentu saja ponsel merupakan alat elektronik yang memancarkan sinyal. Disebut ‘setiap orang’, kalau tetap masih ada yang melakukan perbuatan seperti yang diatur di pasal 54 huruf f bisa jadi tidak masuk dalam ketegori pasal ini. Sanksi bagi yang melakukan pasal 54 huruf f diatur pada pasal 412 ayat 5 berupa ancaman pidana penjara selama dua tahun atau denda paling banyak Rp 200 juta rupiah.

Undang-undang No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektonik (UU ITE) juga bisa dipakai jika terjadi kerusakan pada sistem navigasi dan komunikasi pesawat. Pada pasal 33 disebutkan: ”Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan tindakan apa pun yang berakibat terganggunya Sistem Elektronik dan/atau mengakibatkan Sistem Elektronik menjadi tidak bekerja sebagaimana mestinya.” 

Ancaman pidana terhadap perbuatan yang memenuhi pasal 33 disebutkan di pasal 49: ”Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).”

Ketika akan boarding di pintu keluar bandara menuju pesawat petugas sudah mengingkan agar segera semua peralatan elektronik yang memancarkan sinyal. Di kabin pun awak pesawat berulang-ulang mengingatkan agar mematikan ponsel dan alat-alat elektronik yang memancarkan sinyal, seperti radio dan alat remote control.

Sesaat setelah mendarat pun awak kabin selalu mengingatkan agar tidak menghidupan ponsel sebelum sampai di gedung terminal. Tapi, apa yang terjadi? Begitu roda pesawat menyentuh landasan tiba-tiba terdengar bunyi nada buka ponsel berdering di berbagai tempat di kabin kapal terbang. Agaknya, mereka meng-oon-kan, maaf, meng-on-kan ponsel mereka. Ada yang mengirim pesan tapi ada juga yang langsung memulai percakapan.

Penulis sendiri beberapa kali melihat ‘pertengkaran’ awak kabin dengan penumpang yang masih saja ngotot tidak mematikan ponsel biar pun pesawat sudah di landas pacu (runway). Penumpang snob dan ’kampungan’ itu adalah orang-orang yang tidak menghargai keselamatan dirinya dan penumpang lain.

2. Kabin Kapal Terbang Berubah Jadi ‘Rumah Ibadat’

Di Bandara Sultan Hasanuddin, Makassar, misalnya ketika pesawat mulai bergerak menuju taxiway yaitu landasan menuju ke runway (landas pacu) masih saja ada penumpang yang menelepon: Beta so duduk di kursi pesawat. Yang lain: Saya sudah di dalam pesawat. Yang lain memilih mengirim pesan SMS atau WhatsApp. Tentu saja tidak sedikit yang selfie (swafoto).

Selfie ini juga perlu diperhatikan jika lensa ponsel atau kamera menangkap penumpang lain kalua disebarkan melalui media sosial bisa jadi masalah. Misalnya, seorang penumpang laki-laki duduk berdekatan dengan perempuan tentu akan menimbulkan persepsi buruk. Padahal, mereka tidak saling kenal.

Ketika terbang dari Bandara Raden Inten II, Bandar Lampung, tujuan Jakarta, sebelum lepas landas seorang cewek mendatangi pramugari sambil menunjuk-nunjuk. “Mbak, tidak usaha negur saya dengan cara itu,” kata si cewek. Rupanya, pramugari menegur cewek tadi karena terus-menerus memakai ponsel walaupun sudah diingatkan. Karena kesal pramugari itu menegur dengan suara agak keras sehingga didengar penumpang lain.

Ada juga penumpang yang menampar pragmugari karena ditegur karena tetap pakai ponsel di dalam kabin pesawat. Yang jamak terjadi penumpang yang ditegur balas menggertak dan menghardik awak kabin.

Ketika di apron dan taxiway serta di udara penumpang yang tetap memakai ponsel karena tidak taat hukum dan tidak punya rasa tanggung jawab moral kelihatan cuek (masa bodoh), tapi ketika terjadi guncangan di udara keadaan berbalik 360 derajat.

Kabin pesawat terbang tiba-tiba berubah jadi ‘rumah ibadat’. Penumpang memicingkan (memejamkan) mata. Mulut komat-kamit. Ada yang sambil memegang untaian manik-manik. Tidak sedikit yang mengeluarkan suara agar keras dengan menyebut-nyebut nama Tuhan sambil mencari pegangan. Penulis pernah didekap penumpang yang duduk di kursi sebelah ketika pesawat terguncang keras.

Perilaku sebagian penumpang pesawat terbang yang tidak mengindahkan larangan memakai ponsel bisa sebagai bentuk snobisme yaitu orang-orang yang merasa dirinya lebih pintar daripada orang lain. Dari aspek lain hal itu juga sebagai bentuk perilaku ‘budaya kampungan’ yaitu orang-orang yang melakukan sesuatu yang dilarang karena menganggap hal itu biasa dan bisa dia dilakukan di kampung tanpa dilarang. []

* Syaiful W. Harahap, Redaktur di Tagar.id

Berita terkait
Ternyata Ada Pesawat Jatuh Karena Sinyal Ponsel
Ponsel mempunyai peran besar terhadap keselamatan penerbangan
Ferdinand: Main HP di Pesawat, Apa Mumtaz Orang Bodoh?
Ferdinand Hutahaean menegaskan, putra Amien Rais, Ahmad Mumtaz Rais, di pesawat Garuda Indonesia mengancam keselamatan penumpang.
Cekcok dengan Wakil Ketua KPK, Mumtaz Rais: Remeh-temeh
Politikus PAN Mumtaz Rais meminta masalahnya dengan Wakil Ketua KPK Nawawi Pamolango tak usah dibesar-besarkan, yang ia nilai remeh-temeh.
0
Kapolri: NU Teruji Jaga Keutuhan NKRI
Ia menilai upaya menjaga kekompakan dan persatuan di antara Nahdliyin amat lah penting.